Dirjenku juga
Sombong
Penugasan itu (selalu) datang mendadak. Hari sudah
petang ketika aku mendapat secuil kabar dari ajudan, besok sore Dirjen akan
berkunjung ke Kanwil DJP Bali berlanjut ke Kanwil DJP Nusa Tenggara. Aku rada
panik meski ini bukan penugasan pertama meliput kegiatan dia. Yang membuatku
panik adalah jadwal perjalanannya. Menginap semalam di Bali lantas terbang
besok sorenya ke Lombok dengan Merpati Airlines dan pulang esok lusa dari
Lombok dengan Lion Air.
Tiket Jakarta Bali tidak terlalu menyulitkan, karena
banyak alternatif penerbangan. Yang memusingkan adalah tiket penerbangan Bali
Lombok. Tidak banyak penerbangan, itupun menggunakan pesawat kecil, MA-60 yang
beberapa bulan sebelumnya nyemplung di Kaimana, Papua. Meski ini juga bukan
kali pertama terbang dengan pesawat kecil, ingatan akan kecelakaan itu terus
terang membuatku grogi.
Segera kuakses internet mencari info penerbangan ke
Lombok. Benar saja, tidak ada fasilitas pemesanan tiket on line utk perusahaan
penerbangan itu. Harapanku tinggal satu, memesan langsung ke agen perjalanan
esok hari, karena jam segini sudah tutup. Aku heran, kenapa perjalanan dinas
Dirjen ini selalu mendadak. Aku yakin sekelas dia jadwal sudah tersusun rapi
jauh hari sebelumnya. Aku juga heran, sepasaran apa wajahku ini sehingga aku
tidak pernah disapanya meski sudah berpuluh kali menyertainya. Bahkan sesekali
aku juga membawakan tentengannya manakala ajudan sedang kerepotan. Ah, mungkin
dia sedang memikirkan hal-hal besar di negeri ini. Tentang pencapaian target
penerimaan, tentang DJP yang terseret pusaran politik kekuasaan, tentang
pegawainya yang bandel-bandel, dan banyak lagi. Jadi wajar saja mukaku terlewat
oleh tegur sapanya.
Syukurlah nasib baik sedang berpihak denganku. Masih
ada sisa dua kursi di penerbangan Bali-Lombok. Segera kupesan dan kubayar tiket
itu, dengan uang sendiri. Seharusnya aku tidak perlu keluar uang sendiri untuk
membeli tiket, karena ada SPPD, tetapi prakteknya hal itu susah dilakukan.
Pencairan uang SPPD adalah soal waktu, artinya waktunya tidak bisa dipastikan,
sementara tiket harus dibayar tunai. Jadilah aku menalanginya terlebih dahulu.
Pesawat MA-60 (aku sering membacanya dengan MAGO) sudah
menunggu di apron sore itu. Kami beriringan bahkan sempat berfoto sebelum
menaikinya. Pintu masuknya hanya ada satu, di bagian belakang dekat ekor.
Kabinya sempit, demikian juga kompartemen bawaan tangan. Jadi jangan pernah
membawa tas travel berukuran besar ke dalam kabin, karena pasti tidak akan muat
dan merepotkan. Aku kembali berdesir ketika baling-baling pesawat mulai
berputar, tanda sebentar lagi kami akan mengangkasa. Kebetulan tempat dudukku
berada di bagian belakang sayap sehingga bisa melhat dengan jelas posisi
baling-baling. Aku hanya berdoa semoga baling-baling itu tidak ngambek di atas
sana...
Saat tinggal landas pun tiba. Aku merasa mesin pesawat
ini terseok-seok menggendong badan pesawat seisinya. Suaranya bak hembusan
nafas yang tersengal-sengal ketika air borne. Pesawat segera menikung ke kanan,
melewati pantai Benoa. Sekumpulan awan putih tebal menyergap kami, membuat
pesawat berguncang-guncang hebat. Degup jantungku berpacu kencang. Ya Tuhan,
kuserahkan jiwa ragaku.... Untunglah itu tidak berlangsung lama. Kami segera
lepas dari sergapan awan putih itu. Ku lihat Alpha, teman seperjalananku sesama
awak Humas juga menarik nafas lega. Kami terbang tipis di atas kumpulan awan,
selat Lombok tak kelihatan, sehingga kami seolah terbang amat rendah. Hanya
perlu waktu 1 jam untuk menempuh perjalanan ini. Saat mendaratpun tiba.
Syukurlah kami mendarat dengan sempurna.
Selamat datang di bandara Bandara Internasional Praya.
Kami disambut pejabat sana. Satu minibus berukuran
sedang telah menunggu kami untuk melanjutkan perjalanan ke kota Mataram. Jarak
bandara ke kota Mataram memang jauh, sekitar 30 kilometer. Aku duduk di bangku
kondektur, menenteng kamera dan sesekali menjepret Dirjen dan beberapa pejabat.
Tidak ada reaksi apa-apa darinya, bahkan meski sekedar seutas sapa. Ah, sombong
sekali bapak ini, pikirku.. Sembari duduk, aku menguping pembicaraan mereka.
Mereka sedang ngobrol ringan tentang Diklat Bela Negara yang sedang berlangsung
di Mako Paspampres Group C, Bogor.
"Met, kamu sudah meliput teman-teman yang sedang
diklat?" tanya dirjen tiba-tiba.
"Siap Pak, belum. Sepulang dari sini saya liput, Pak,
" jawabku tergagap.
"Iya, liput sana. Ajak anak buahmu si Arief."
"Baik, Pak"
Itulah sapa pertama setelah sekian puluh kali aku
menyertai perjalanannya. Aku kaget, ternyata dia cukup mengenaliku, bahkan
menyebut namaku dengan fasih.
Malam ke dua di Lombok. Kami menginap di hotel yang
sunyi, jauh dari peradaban. Celaka, perutku lapar tak terkira, sementara tidak
ada mini market atau warung tempat aku bisa membeli camilan. Jadilah aku
tersiksa. Aku hanya bisa merenungi nasib ini berdua dengan Alpha. Aku nongkrong
di bawah pohon kelapa di depan hotel megah tapi tidak manusiawi ini, sementara
Alpha berdiam di kamar. Sebetulnya bisa saja aku memesan makanan ke resto
hotel, tapi melihat harganya di buku menu, aku memilih menahan lapar.
Nasiiib... Tiba-tiba Widi, ajudan Dirjen mendatangiku. Rupanya dia habis dari
kamar Dirjen. Tangannya menenteng kantong plastik Ah, apa pula kerjaan dirjen
malam-malam begini sehingga masih butuh ajudan.
"Mas Slamet, dapet titipan es krim dari bapak,
nih. Buat mas Slamet dan anak buah, Alpha."
Hahaha... Aku tergelak... Di balik rasa bangga dan
bahagia karena mendapat kehormatan dan secuil perhatian, aku cemas.
Jangan-jangan dirjenku mengira aku sudah menjabat Kepala Seksi...
Nasiiib.....
*Kampung Makasar, 18 Mei 2013, 23:04:17
1 comment:
kenalan e wong markotop kabeh,
pengalaman e asik2 mas e...
lanjutkan cyinn..
Post a Comment