Menteriku Sombong
Telepon itu datang dari sobat karibku, Anto, di suatu
siang. Pesannya singkat, dia minta ijinku untuk memberikan nomor ponselkuku ke
sekretaris pribadi Menteri Keuangan. Tentu aku bertanya, ada apa gerangan
beliau meminta nomor ponselku. Jawabnya singkat, mau diskusi masalah liputan
foto di kediaman resmi Menteri Keuangan. Panggilan telepon dari sekretaris
datang berselang beberapa jam kemudian.
"Ini bener pak Slamet DJP, ya?"
"Iya bu, apa yang bisa saya bantu?"
"Gini, pak. Bapak bisa bantu motret acara pak
Mentri di rumah dinas, malam minggu nanti?"
"Siap bu. Kalau boleh tahu acara apa ya, bu?"
"Acara silaturahmi keluarga, pak. Berapa biayanya,
pak?"
Pertanyaan terakhir membuatku terdiam beberapa lama.
Ini bukan kali pertama aku menangani order pemotretan, tapi tetap saja aku
tidak bisa langsung menjawab ketika klien menanyakan tarif.
"Kebutuhannya apa saja, bu?"
"Wah, terserah pak Slamet saja, yang penting
hasilnya bagus. Saya manut saja."
Akhirnya kami sepakat tentang harga. Aku juga diberi
arahan mengenai detil acara, termasuk titik-titik mana saja yang tidak boleh
terlewat.
Hari H pun tiba. Ada rasa sedikit grogi ketika aku
melangkah ke komplek perumahan Widya Chandra. Ini juga bukan kali pertama aku
menyambangi rumah itu. Dahulu waktu Menteri Keuangan masih dijabat SMI sekali
aku pernah ke sana. Yang membuatku agak grogi adalah karena ini adalah acara
pribadi, bukan acara kedinasan. Beban mental terasa lebih berat. Syukurlah
semua berjalan lancar. Kamera ok, stamina ok, momentum terekam semua, tak ada
yang terlewat. Pak Menteri sesekali memanggilku, minta agar dia difoto bersama
sanak keluarganya. Mengarahkan pose, mencari spot pemotretan yang menarik di
rumah dinasnya tentu tantangan tersendiri.
Di akhir acara aku pamitan kepada sekretaris
pribadinya. Aku amat terkejut ketika sekretaris mengajakku pamitan sama pak
Menteri.
"Ini pak Slamet, pak. Beliau orang pajak yang
bantu-bantu motret tadi," ujarnya ke pak menteri yang tengah ngobrol
santai dengan beberapa keluarga dekatnya.
Aku mendekatinya, menyalaminya, sekaligus pamitan kepadanya.
Aku mendekatinya, menyalaminya, sekaligus pamitan kepadanya.
"Makasih ya Slamet. Kamu anak buah siapa?"
"Sama-sama, pak. Saya bertugas di Humas, pak"
"Oh.... Sama pak Dedi ya. Baik, sampaikan salamku
padanya. Saya tunggu ya hasil fotomu."
Aku segera meninggalkan rumah dinas itu. Ada sejumput
keheranan, selama ini kusangka menteriku orang yang amat angkuh, tak manusiawi.
Ternyata dia sosok manusia biasa, bahkan aku merasa teramat istimewa ketika
mendapat kesempatan bercakap dengannya, meski hanya secuil.
Tiga hari berselang ada Rapat Pimpinan Kemenkeu di
kantorku. Sudah hal rutin, aku bertugas di sana, menenteng kamera. Menteri
Keuangan tiba diiringi ajudan dan beberapa pejabat dekatnya. Sebelum memotret
saat dia masuk ke ruang rapat, aku anggukkan kepala dan tersenyum kepadanya.
Aku berharap balasan sapa dan senyum darinya. Rupanya dia melenggang begitu
saja, seolah tak pernah bertemu denganku sebelumnya. Aku dongkol, ah... Sombong
sekali, pikirku. Lama aku memendam kedongkolan itu, sampai ketika sebuah
ingatan menyadarkanku, apakah tadi pagi aku juga membalas sapa satpam, OB atau
CS kantorku, ya?
Sering kita berfikir bahwa pejabat tinggi itu orangnya
angkuh, sombong, tidak ramah kepada kita, karena mereka tidak pernah menyapa
kita. Aku lantas membayangkan sosokku di mata para "bawahan"ku
seperti OB, satpam, CS di kantorku. Aku juga tidak yakin sering menyapa mereka.
Jangan-jangan aku menyapanya ketika minta tolong dibelikan nasi bungkus saja.
Jangan-jangan di mata mereka aku juga dipandang sosok yang sombong dan angkuh
sebagaimana aku menilai menteriku baru saja?
Kampung Makasar, 18 Mei 2013, 14:29:13
No comments:
Post a Comment