Sunday, July 14, 2013

Shalat Tarawih Aneka Rasa



Namanya sama, waktunya pun seragam, tidak ada yang berbeda. Tapi detil ritualnya bahkan bilangan rakaatnya bisa tak sama. Itulah ritual shalat Tarawih. Ajaran ini bersumber dari fiqih hadist nabi Muhammad saw. Meskipun bersumber pada ajaran yang sama, dalam prakteknya terdapat beberapa variasi. Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi saya selama sekian puluh tahun menjalani ajaran itu di beberapa tempat.
Shalat Tarawih pertama saya jika tidak salah mulai saya lakukan kelas V Sekolah Dasar. Saya melakukannya di masjid desa saya yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah saya. Saya jalani dengan berjalan kaki bersama teman-teman saya. Masjid ini diimami oleh pemuka Nahdatul Ulama, sehingga bilangan rakaatnya berjumlah 20 rakaat ditambah 3 rakaat shalat sunat Witir, sehingga genaplah 23 rakaat. Ada bilal yang melantunkan shalawat nabi setiap selesai rakaat ke dua shalat Tarawih dan ketika akan shalat Witir. Di akhir bacaan shalawat tersebut seluruh jamaah akan menyahut dengan suara koor yang membahana. Bulu kuduk saya meremang. Imam shalat Tarawih amat cepat dalam memimpih shalat, teramat cepat sampai-sampai saya keteteran mengikuti bacaan dan gerakannya. Surat yang dibacanya pun surat-surat pendek.  Ada keunikan di masjid ini. Ketika memperingati hari-hari besar Islam, seperti Nuzulul Qur’an, setiap jamaah shalat akan membawa nasi bungkus yang nantinya dikumpulkan menjadi satu. Belakangan saya tahu ada istilah yang keren, yaitu lucky pot. Di akhir acara, nasi bungkus itu akan dibagikan kembali ke para jamaah secara acak. Jika beruntung kita akan mendapatkan nasi bungkus dengan lauk yang lebih lezat dibandingkan dengan nasi bungkus yang kita bawa. Jika sedang tidak beruntung ya kita mendapatkan nasi bungkus dengan lauk seadanya. Maklum kehidupan ekonomi warga desa saya pas-pasan. Di sepuluh hari terakhir, setiap malam ganjil, pihak takmir masjid akan menyediakan panganan berupa aneka rebusan bagi jamaah yang masih bertahan di masjid sampai tengah malam. Panganan itu disebut jaburan. Sayang tradisi yang amat menarik tersebut sekarang katanya sudah punah.
Ketika bersekolah di bangku SMA saya mulai menemukan shalat Tarawih dalam versi yang agak berbeda. Bilangan rakaatnya tidak berjumlah 20 tetapi hanya sebanyak 8. Saya mahfum, masjid tempat saya melaksanakan shalat Tarawih ini diimami oleh warga Muhammadiyah. Yang unik dari masjid ini adalah bacaan yang dilantunkan Bilal berbeda dengan yang dibacakan Bilal di masjid desa saya. Bacaannya lebih ringkas dan tidak ada sahutan dari jamaah. Kesannya memang lebih senyap dan kurang semarak. Hal bagusnya adalah imam memimpin shalat dengan kecepatan yang wajar-wajar saja. Bacaan shalat dilantunkan dengan irama yang enak diikuti dan tidak berkesan tergesa-gesa. Perayaan hari besar Islam di masjid ini diadakan dalam format yang modern, ada beragam sambutan. Maklum, masjid ini terletak di tengah kota Solo.
Ketika kuliah di STAN, kehidupan keagamaannya sangat baik, bahkan kadang terlalu kaku. Saya kadang bingung, saya ini sedang kuliah di sekolah ikatan dinas apa di pesantren ya.... Ketika duduk di semester satu dan dua, saya mengontrak rumah persis di samping masjid Al Barkah. Seperti masjid desa saya, shalat Tarawih di masjid ini bilangan rakaatnya berjumlah 20 rakaat. Sama juga dengan imam masjid desa saya, imam masjid Al Barkah memimpin shalat dengan kecepatan tinggi. Bacaan shalawat nabi yang dibawakan bilal mirip dengan yang dibawakan bilal masjid desa saya. Beberapa teman yang tidak nyaman dengan hal ini memilih shalat di masjid Baitul Mal. Masjid tersebut adalah masjid di bawah naungan kampus saya. Pengurusnya adalah para mahasiswa STAN yang konon berafiliasi dengan organisasi Ikhwanul Muslimin. Saya belum pernah shalat Tarawih di masjid tersebut. Kata teman-teman yang shalat di sana, bacaan suratnya amat panjang dan dibacakan dengan kecepatan yang rendah. Jadi meskipun bilangan rakaatnya hanya 8 bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Saya tidak tertarik shalat di sana.
Merantau di Baturaja, Sumatera Selatan, pada awal karir PNS saya, memberikan pengalaman yang makin beragam. Secara garis besar perbedaannya hanya pada jumlah rakaat saja. Meski demikian lagi-lagi saya menemukan bacaan shalawat nabi yang benar-benar berbeda dengan yang pernah saya jumpai selama ini. Saya lantas berpikir, sebenarnya siapa sih yang dahulu mengajari bilal ini, kok hasilnya bisa berbeda-beda? Belakangan demi alasan kepraktisan waktu, bukan keimanan, saya memilih shalat Tarawih di masjid yang bilangan rakaatnya 8, meskipun untuk itu saya harus pergi ke masjid yang letaknya lebih jauh dari tempat tinggal saya.
Sekarang saya berdinas di Kantor Pusat Ditjen Pajak. Saya bersyukur kantor saya memiliki masjid yang amat megah dan makmur. Saya juga bangga dengan institusi saya, karena saya dengar di masjid kementerian saya malah tidak menyelenggarakan kegiatan shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri karena jamaahnya tidak ada. Shalat Tarawih di masjid kantor saya bilangan rakaatnya berjumlah 8. Tanpa bilal, tanpa basa-basi, pokoknya langsung shalat. Komandonya hanya bisikan lirih dari imam ketika akan memulai shalat Tarawih dan shalat Witir. Bagi saya ini terlalu simpel dan kurang greget. Kesannya kok individual sekali.
Di tempat tinggal saya, kampung Makasar, Jakarta Timur, masjid hanya berjarak 100 meter dari rumah saya. Tak hanya kumandang adzan yang diperdengarkan lewat pengeras suara, bacaan shalat pun dikumandangkan, bahkan ketika sedang ada majelis taklim. Menurut saya kok kurang etis ya, mengingat lingkungan tempat tinggal saya cukup heterogen pemeluk agamanya. Setelah shalat Isya sebelum shalat Tarawih, pengurus masjid akan menyampaikan laporan keuangan dan membacakan fadilah shalat Tarawih malam tersebut. Pengurus masjid juga membagikan minuman kemasan air mineral ukuran gelas ke setiap jamaah. Mungkin maksudnya agar para jamaah bisa mengobati rasa hausnya. Shalat Tarawih di masjid ini bilangan rakaatnya 20, tetapi rakaat ke 8 saya undur diri. Beberapa hari lalu istri saya bercerita, anak kami yang sulung, Abiyyu, shalat di masjid tersebut. Kebetulan istri saya sedang berhalangan shalat. Belum usai rakaat ke 20 Abiyyu sudah pulang ke rumah. Istri saya bertanya kepadanya, tadi shalat Tarawihnya berapa rakaat. Abiyyu menjawab tidak tahu, tidak menghitung bilangan rakaatnya. Dia bilang hanya meniru bapaknya yang suka pulang sebelum shalat Tarawih bubar. Saya terdiam mendengar cerita tersebut.

Kampung Makasar, 14 Juli 2013, 01.37 WIB.

Saturday, July 13, 2013

Sholat di atas sofa

Orang tua dan anak saya


Berita itu datang menjelang siang. Guru agama saya, Pak Wiharto, memberitahu kami bahwa akan ada ujian praktek sholat lima waktu. Ujian tersebut merupakan salah satu syarat kenaikan kelas saya di bangku kelas IV Sekolah Dasar. Saya panik. Saya tidak hafal sedikitpun bacaan sholat.
Sepulang sekolah saya menemui bapak.
“Pak, kenaikan kelas nanti ada ujian praktek sholat. Gimana dong, Pak?”
“Udah, gampang.... sholat kan Cuma gitu-gitu aja,” ujar bapak sembari memeragakan gerakan rukuk dan i’tidal.
Saya terdiam. Saya menyadari bahwa  saya bertanya kepada orang yang salah.
Orang tua saya memang tidak pernah mengerjakan sholat. Saya pernah mendengar bapak saya bilang bahwa untuk apa sholat, yang penting kita berbuat baik sama tetangga kiri kanan. Percuma mengerjakan sholat jika sikap keseharian kita tidak mampu berbuat baik ke sesama manusia, demikian katanya.
Orang tua saya memang jauh dari sentuhan agama. Mereka hidup dalam lingkungan desa yang masih dipenuhi ajaran kejawen. Penduduk desa kami memang 100% adalah pemeluk agama Islam, tapi sebagian besar adalah Islam KTP. Tempat ibadah bukannya tak ada, tapi entah kenapa dari saya lahir sampai saat itu syiar agama tak mampu menyentuh kebanyakan hati kami. Yang lebih menyedihkan adalah pendapat bapak saya terhadap ajaran agama. Menurut bapak saya, kaum agamis itu orang yang kurang kerjaan bahkan cenderung pemalas. Mereka lebih suka melakukan hal-hal yang tidak produktif dengan hanya mementingkan mengaji kitab suci tapi membiarkan ladang mereka terbengkalai. Bapak juga memandang bahwa mereka adalah orang yang jorok karena padasan (tempat wudhu) masjid desa kami cenderung kotor dan berbau pesing.
Bapak lebih sreg dengan ajaran leluhur yang masih berbau animisme dan dinamisme. Meskipun tidak mempunyai benda pusakan semisal keris, tombak dan sejenisnya, bapak masih menjalani kehidupan spiritualisme ala animisme dan dinamisme. Setiap mengadakan kenduri dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan (Megengan) atau menyambut hari raya Idul Fitri (Badan), bapak selalu menyajikan makanan sesaji kepada arwah nenek moyang kami. Sesaji itu berupa nasi dan seperangkat lauk pauk serta minuman kesukaan nenek moyang kami. Sesaji itu diletakkan di kamar tengah (senthong tengah) dan tidak boleh kami sentuh sebelum acara kendurian selesai. Ketika hari menjelang magrib, bapak akan membakar kemenyan di bawah meja tempat sesaji itu diletakkan. Mulut bapak akan menggumankan mantra-mantra yang terdiri dari bahasa Jawa bercampur bahasa Arab sekedarnya.
Demikian juga dengan ziarah kubur (nyekar). Bukan doa buat para arwah yang terlantun, tapi permintaan kepada para arwah yang telah menghadap Sangk Khalik agar anak cucunya senantiasa diberi pangestu dan kesehatan lahir dan batin. Saya dan adik-adik saya mengaminkan permintaan itu.
Demikianlah akhirnya, saya belajar sendiri bacaan dan gerakan sholat. Untunglah ada pak Nasirun, tetangga saya, yang berprofesi sebagai modin dan senang mengajari kami sholat dan mengaji. Beliau juga menyuruh kami mulai belajar puasa Ramadhan. Saya masih ingat pertama kali berpuasa ketika kelas V Sekolah Dasar. Di rumah saya hanya saya sendiri yang menjalankan puasa. Tiga adik saya masih kecil-kecil. Jadilah saya sahur dan berbuka puasa sendirian. Menjelang sahur ibu hanya bangun sebentar untuk memastikan ada makanan untuk saya. Selebihnya saya makan sahur sendirian dengan penerangan cahaya lampu sentir. Saya jalani itu bertahun-tahun. Orang tua saya tetap setia menjalani Islam Abangannya.
Sabtu sore ketika saya kelas I SMA. Hari itu adalah hari dimana saya menjalani ritual mudik dari Solo, kota tempat saya bersekolah SMA. Biasanya saya sampai di rumah sekitar pukul 15.00 WIB. Demikianlah sore itu, saya tiba di rumah di waktu yang sama dengan pekan-pekan sebelumnya. Begitu melangkah ke dalam rumah ada pemandangan ganjil di sana. Di sofa yang terbuat dari rotan itu bapak sedang belajar sholat. Beliau berdiri di atas sofa itu sembari melakukan gerakan ruku’ dan i’tidal, persis seperti yang dahulu diajarkan ke saya. Di sampingnya tampak lek Sholihin duduk sembari memegang buku “Pedoman Shalat Lengkap”. Saya tertegun, pun juga bapak saya ketika menyadari kedatangan saya.
“Ini lho le, paklek (paman) mu Sholihin kok nyuruh bapakmu belajar sholat.”
“Iya lho To, bapakmu tak suruh belajar sholat. Mosok sudah tua gini kok belum bisa sholat.”
Saya hanya tersenyum sembari meletakkan tas saya dan segera berganti baju. Sabtu sore adalah hari dimana saya bermain bola volly di lapangan desa saya.
Bulan Januari dua tahun lalu. Saya terhitung jarang menelepon orang tua saya. Bagi saya komunikasi tidak harus melalui jalur verbal, toh setiap habis sholat saya selalu mendoakan mereka. Pendapat yang mungkin tidak benar. Malam itu ketika saya menelepon bapak, saya mendapat kabar mengejutkan.
“Gini To, bapak mau mewakafkan sebagian tanah di depan rumah. Ada LSM dari Timur Tengah mau mbangun mushola, ya sudah bapak kasihkan pekarangan itu.  Bapak minta persetujuan semua anak-anakku, soalnya syaratnya begitu.”
Saya tidak bisa berkata apa-apa. Genangan air mata saya mendadak tumpah begitu saja. Hidayah itu berawal dari sofa.

Kampung Makasar, 13 Juli 2013, 23.06 WIB.

Bapak, Nyonya, Ibu dan Yu Miyati

Wednesday, July 10, 2013

Wo Sukimo



Pagi ini...
Ketika blebah turun membasah
Teringat aku pada sosok menua
Wo Sukimo....
Gigi ompong terbelah
Langkah gesit berlari
Sigap menyongsong jangan gori

Terduduk dia di depan pintu
Siap menerima titah selanjutnya
Dari bapakku, sang pemilik kuasa
Memetik kelapa setinggi belasan depa
Menyemai benih di ladang kering
Dangir ubi kayu

Sore ketika senja menjelang
Peluh bersemai di sekujur tubuh
Topi laken terkipas-kipas
Wo Sukimo undur langkah
Berjalan gontai menuju satu arah
Rumah istri ke duanya...

*ket :
Blebah : hujan di pagi hari
Jangan gori : sayur nangka
Dangir : menyiangi tanaman

Penjual Susu Jahe



Hampir saja aku terlewat tempat itu. Ini adalah kunjungan ke dua ku. Tempo hari istriku yang menyambanginya. Sekelumit cerita tentang sosoknya membuatku penasaran, disamping produk jualannya memang menawan.
Ketika aku turun dari motorku di depan tempat dia bekerja, yang kutemui hanya lapak kosong tanpa penunggu. Tapi aku tidak kawatir, sebab ku lihat masih ada jajaran gelas tersusun rapi, tanda tempat itu belum tutup.
Tak lama dia muncul. Perawakannya tinggi tegap. Kulitnya putih mulus. Malam ini dia memakai kaos oblong hitam dipadu dengan celana blue jeans. Topi hitam, kaca mata frame tanduk, sepatu kets. Jam tangan yg bagus tersandang di lengan kirinya. Sekilas ada kemiripan dengan Afgan.
Dengan sigap tapi ramah dia bertanya, "Minum sini, pak?".
"Enggak mas, bungkus aja, satu," jawabku.
Dia langsung menuangkan cairan panas ke dalam gelas yang telah dia isi susu kental manis sebelumnya. Kegiatan itu sempat tersela oleh dua pembeli lain yang sudah selesai dengan urusannya. Selembar uang sepuluh ribuan dia terima, dua ribu dia kembalikan.
"Terima kasih, mas," katanya sambil menyerahkan uang kembalian itu.
Dia pun kembali mengerjakan pesananku. Hanya perlu waktu kurang dari satu menit untuk menyiapkan sampai membungkus pesananku.
"Silahkan, pak," katanya, sambil menyerahkan pesananku.
"Makasih mas," kataku sambil kuserahkan selembar 5.000an.
Sigap dia mengembalikan 1.000 rupiah kepadaku sambil berucap terima kasih. Bungkusan itu sempet terjatuh ketika aku gantungkan di motorku. Rupanya dia melihatnya.
"Di dobel kantorng plastiknya, pak, nanti jatuh lagi..."
Aku menolak tawarannya. Toh bukan salah dia bungkusan itu tadi jatuh.
 Dia adalah penjual Susu Jahe di Taman Segitiga Intirub.