Namanya sama, waktunya pun seragam,
tidak ada yang berbeda. Tapi detil ritualnya bahkan bilangan rakaatnya bisa tak
sama. Itulah ritual shalat Tarawih. Ajaran ini bersumber dari fiqih hadist nabi
Muhammad saw. Meskipun bersumber pada ajaran yang sama, dalam prakteknya
terdapat beberapa variasi. Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi saya selama
sekian puluh tahun menjalani ajaran itu di beberapa tempat.
Shalat Tarawih pertama saya jika tidak
salah mulai saya lakukan kelas V Sekolah Dasar. Saya melakukannya di masjid desa
saya yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah saya. Saya jalani dengan berjalan
kaki bersama teman-teman saya. Masjid ini diimami oleh pemuka Nahdatul Ulama,
sehingga bilangan rakaatnya berjumlah 20 rakaat ditambah 3 rakaat shalat sunat
Witir, sehingga genaplah 23 rakaat. Ada bilal yang melantunkan shalawat nabi
setiap selesai rakaat ke dua shalat Tarawih dan ketika akan shalat Witir. Di akhir
bacaan shalawat tersebut seluruh jamaah akan menyahut dengan suara koor yang
membahana. Bulu kuduk saya meremang. Imam shalat Tarawih amat cepat dalam
memimpih shalat, teramat cepat sampai-sampai saya keteteran mengikuti bacaan
dan gerakannya. Surat yang dibacanya pun surat-surat pendek. Ada keunikan di masjid ini. Ketika memperingati
hari-hari besar Islam, seperti Nuzulul Qur’an, setiap jamaah shalat akan
membawa nasi bungkus yang nantinya dikumpulkan menjadi satu. Belakangan saya
tahu ada istilah yang keren, yaitu lucky
pot. Di akhir acara, nasi bungkus itu akan dibagikan kembali ke para jamaah
secara acak. Jika beruntung kita akan mendapatkan nasi bungkus dengan lauk yang
lebih lezat dibandingkan dengan nasi bungkus yang kita bawa. Jika sedang tidak
beruntung ya kita mendapatkan nasi bungkus dengan lauk seadanya. Maklum kehidupan
ekonomi warga desa saya pas-pasan. Di sepuluh hari terakhir, setiap malam
ganjil, pihak takmir masjid akan menyediakan panganan berupa aneka rebusan bagi
jamaah yang masih bertahan di masjid sampai tengah malam. Panganan itu disebut
jaburan. Sayang tradisi yang amat menarik tersebut sekarang katanya sudah
punah.
Ketika bersekolah di bangku SMA saya
mulai menemukan shalat Tarawih dalam versi yang agak berbeda. Bilangan rakaatnya
tidak berjumlah 20 tetapi hanya sebanyak 8. Saya mahfum, masjid tempat saya
melaksanakan shalat Tarawih ini diimami oleh warga Muhammadiyah. Yang unik dari
masjid ini adalah bacaan yang dilantunkan Bilal berbeda dengan yang dibacakan
Bilal di masjid desa saya. Bacaannya lebih ringkas dan tidak ada sahutan dari
jamaah. Kesannya memang lebih senyap dan kurang semarak. Hal bagusnya adalah
imam memimpin shalat dengan kecepatan yang wajar-wajar saja. Bacaan shalat
dilantunkan dengan irama yang enak diikuti dan tidak berkesan tergesa-gesa. Perayaan
hari besar Islam di masjid ini diadakan dalam format yang modern, ada beragam
sambutan. Maklum, masjid ini terletak di tengah kota Solo.
Ketika kuliah di STAN, kehidupan
keagamaannya sangat baik, bahkan kadang terlalu kaku. Saya kadang bingung, saya
ini sedang kuliah di sekolah ikatan dinas apa di pesantren ya.... Ketika duduk
di semester satu dan dua, saya mengontrak rumah persis di samping masjid Al
Barkah. Seperti masjid desa saya, shalat Tarawih di masjid ini bilangan
rakaatnya berjumlah 20 rakaat. Sama juga dengan imam masjid desa saya, imam
masjid Al Barkah memimpin shalat dengan kecepatan tinggi. Bacaan shalawat nabi
yang dibawakan bilal mirip dengan yang dibawakan bilal masjid desa saya. Beberapa
teman yang tidak nyaman dengan hal ini memilih shalat di masjid Baitul Mal.
Masjid tersebut adalah masjid di bawah naungan kampus saya. Pengurusnya adalah
para mahasiswa STAN yang konon berafiliasi dengan organisasi Ikhwanul Muslimin.
Saya belum pernah shalat Tarawih di masjid tersebut. Kata teman-teman yang shalat
di sana, bacaan suratnya amat panjang dan dibacakan dengan kecepatan yang
rendah. Jadi meskipun bilangan rakaatnya hanya 8 bisa memakan waktu lebih dari
satu jam. Saya tidak tertarik shalat di sana.
Merantau di Baturaja, Sumatera
Selatan, pada awal karir PNS saya, memberikan pengalaman yang makin beragam.
Secara garis besar perbedaannya hanya pada jumlah rakaat saja. Meski demikian
lagi-lagi saya menemukan bacaan shalawat nabi yang benar-benar berbeda dengan
yang pernah saya jumpai selama ini. Saya lantas berpikir, sebenarnya siapa sih
yang dahulu mengajari bilal ini, kok hasilnya bisa berbeda-beda? Belakangan
demi alasan kepraktisan waktu, bukan keimanan, saya memilih shalat Tarawih di masjid
yang bilangan rakaatnya 8, meskipun untuk itu saya harus pergi ke masjid yang
letaknya lebih jauh dari tempat tinggal saya.
Sekarang saya berdinas di Kantor
Pusat Ditjen Pajak. Saya bersyukur kantor saya memiliki masjid yang amat megah
dan makmur. Saya juga bangga dengan institusi saya, karena saya dengar di
masjid kementerian saya malah tidak menyelenggarakan kegiatan shalat Tarawih
dan shalat Idul Fitri karena jamaahnya tidak ada. Shalat Tarawih di masjid
kantor saya bilangan rakaatnya berjumlah 8. Tanpa bilal, tanpa basa-basi,
pokoknya langsung shalat. Komandonya hanya bisikan lirih dari imam ketika akan
memulai shalat Tarawih dan shalat Witir. Bagi saya ini terlalu simpel dan
kurang greget. Kesannya kok individual sekali.
Di tempat tinggal saya, kampung
Makasar, Jakarta Timur, masjid hanya berjarak 100 meter dari rumah saya. Tak hanya
kumandang adzan yang diperdengarkan lewat pengeras suara, bacaan shalat pun
dikumandangkan, bahkan ketika sedang ada majelis taklim. Menurut saya kok
kurang etis ya, mengingat lingkungan tempat tinggal saya cukup heterogen
pemeluk agamanya. Setelah shalat Isya sebelum shalat Tarawih, pengurus masjid
akan menyampaikan laporan keuangan dan membacakan fadilah shalat Tarawih malam
tersebut. Pengurus masjid juga membagikan minuman kemasan air mineral ukuran
gelas ke setiap jamaah. Mungkin maksudnya agar para jamaah bisa mengobati rasa
hausnya. Shalat Tarawih di masjid ini bilangan rakaatnya 20, tetapi rakaat ke 8
saya undur diri. Beberapa hari lalu istri saya bercerita, anak kami yang
sulung, Abiyyu, shalat di masjid tersebut. Kebetulan istri saya sedang
berhalangan shalat. Belum usai rakaat ke 20 Abiyyu sudah pulang ke rumah. Istri
saya bertanya kepadanya, tadi shalat Tarawihnya berapa rakaat. Abiyyu menjawab
tidak tahu, tidak menghitung bilangan rakaatnya. Dia bilang hanya meniru
bapaknya yang suka pulang sebelum shalat Tarawih bubar. Saya terdiam mendengar
cerita tersebut.
Kampung Makasar, 14 Juli 2013, 01.37 WIB.