Orang tua dan anak saya |
Berita
itu datang menjelang siang. Guru agama saya, Pak Wiharto, memberitahu kami bahwa
akan ada ujian praktek sholat lima waktu. Ujian tersebut merupakan salah satu
syarat kenaikan kelas saya di bangku kelas IV Sekolah Dasar. Saya panik. Saya
tidak hafal sedikitpun bacaan sholat.
Sepulang
sekolah saya menemui bapak.
“Pak,
kenaikan kelas nanti ada ujian praktek sholat. Gimana dong, Pak?”
“Udah,
gampang.... sholat kan Cuma gitu-gitu aja,” ujar bapak sembari memeragakan
gerakan rukuk dan i’tidal.
Saya
terdiam. Saya menyadari bahwa saya
bertanya kepada orang yang salah.
Orang
tua saya memang tidak pernah mengerjakan sholat. Saya pernah mendengar bapak
saya bilang bahwa untuk apa sholat, yang penting kita berbuat baik sama tetangga
kiri kanan. Percuma mengerjakan sholat jika sikap keseharian kita tidak mampu
berbuat baik ke sesama manusia, demikian katanya.
Orang
tua saya memang jauh dari sentuhan agama. Mereka hidup dalam lingkungan desa
yang masih dipenuhi ajaran kejawen. Penduduk desa kami memang 100% adalah
pemeluk agama Islam, tapi sebagian besar adalah Islam KTP. Tempat ibadah
bukannya tak ada, tapi entah kenapa dari saya lahir sampai saat itu syiar agama
tak mampu menyentuh kebanyakan hati kami. Yang lebih menyedihkan adalah
pendapat bapak saya terhadap ajaran agama. Menurut bapak saya, kaum agamis itu
orang yang kurang kerjaan bahkan cenderung pemalas. Mereka lebih suka melakukan
hal-hal yang tidak produktif dengan hanya mementingkan mengaji kitab suci tapi
membiarkan ladang mereka terbengkalai. Bapak juga memandang bahwa mereka adalah
orang yang jorok karena padasan (tempat wudhu) masjid desa kami cenderung kotor
dan berbau pesing.
Bapak
lebih sreg dengan ajaran leluhur yang masih berbau animisme dan dinamisme. Meskipun
tidak mempunyai benda pusakan semisal keris, tombak dan sejenisnya, bapak masih
menjalani kehidupan spiritualisme ala animisme dan dinamisme. Setiap mengadakan
kenduri dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan (Megengan) atau menyambut
hari raya Idul Fitri (Badan), bapak selalu menyajikan makanan sesaji kepada
arwah nenek moyang kami. Sesaji itu berupa nasi dan seperangkat lauk pauk serta
minuman kesukaan nenek moyang kami. Sesaji itu diletakkan di kamar tengah
(senthong tengah) dan tidak boleh kami sentuh sebelum acara kendurian selesai.
Ketika hari menjelang magrib, bapak akan membakar kemenyan di bawah meja tempat
sesaji itu diletakkan. Mulut bapak akan menggumankan mantra-mantra yang terdiri
dari bahasa Jawa bercampur bahasa Arab sekedarnya.
Demikian
juga dengan ziarah kubur (nyekar). Bukan doa buat para arwah yang terlantun,
tapi permintaan kepada para arwah yang telah menghadap Sangk Khalik agar anak
cucunya senantiasa diberi pangestu dan kesehatan lahir dan batin. Saya dan
adik-adik saya mengaminkan permintaan itu.
Demikianlah
akhirnya, saya belajar sendiri bacaan dan gerakan sholat. Untunglah ada pak
Nasirun, tetangga saya, yang berprofesi sebagai modin dan senang mengajari kami
sholat dan mengaji. Beliau juga menyuruh kami mulai belajar puasa Ramadhan.
Saya masih ingat pertama kali berpuasa ketika kelas V Sekolah Dasar. Di rumah
saya hanya saya sendiri yang menjalankan puasa. Tiga adik saya masih
kecil-kecil. Jadilah saya sahur dan berbuka puasa sendirian. Menjelang sahur
ibu hanya bangun sebentar untuk memastikan ada makanan untuk saya. Selebihnya
saya makan sahur sendirian dengan penerangan cahaya lampu sentir. Saya jalani
itu bertahun-tahun. Orang tua saya tetap setia menjalani Islam Abangannya.
Sabtu
sore ketika saya kelas I SMA. Hari itu adalah hari dimana saya menjalani ritual
mudik dari Solo, kota tempat saya bersekolah SMA. Biasanya saya sampai di rumah
sekitar pukul 15.00 WIB. Demikianlah sore itu, saya tiba di rumah di waktu yang
sama dengan pekan-pekan sebelumnya. Begitu melangkah ke dalam rumah ada
pemandangan ganjil di sana. Di sofa yang terbuat dari rotan itu bapak sedang
belajar sholat. Beliau berdiri di atas sofa itu sembari melakukan gerakan ruku’
dan i’tidal, persis seperti yang dahulu diajarkan ke saya. Di sampingnya tampak
lek Sholihin duduk sembari memegang buku “Pedoman Shalat Lengkap”. Saya tertegun,
pun juga bapak saya ketika menyadari kedatangan saya.
“Ini
lho le, paklek (paman) mu Sholihin kok nyuruh bapakmu belajar sholat.”
“Iya lho To, bapakmu tak suruh belajar
sholat. Mosok sudah tua gini kok belum bisa sholat.”
Saya hanya tersenyum sembari
meletakkan tas saya dan segera berganti baju. Sabtu sore adalah hari dimana
saya bermain bola volly di lapangan desa saya.
Bulan Januari dua tahun lalu. Saya terhitung
jarang menelepon orang tua saya. Bagi saya komunikasi tidak harus melalui jalur
verbal, toh setiap habis sholat saya selalu mendoakan mereka. Pendapat yang mungkin
tidak benar. Malam itu ketika saya menelepon bapak, saya mendapat kabar
mengejutkan.
“Gini To, bapak mau mewakafkan
sebagian tanah di depan rumah. Ada LSM dari Timur Tengah mau mbangun mushola,
ya sudah bapak kasihkan pekarangan itu. Bapak minta persetujuan semua anak-anakku,
soalnya syaratnya begitu.”
Saya tidak bisa berkata apa-apa. Genangan
air mata saya mendadak tumpah begitu saja. Hidayah itu berawal dari sofa.
Kampung Makasar, 13 Juli 2013, 23.06
WIB.
Bapak, Nyonya, Ibu dan Yu Miyati |
No comments:
Post a Comment