Kepergian saya
siang ini ke kantor hanyalah untuk mengambil sejumput kain bahan baju. Kain
motif batik tersebut merupakan bahan seragam panitia Konferensi SGATAR minggu
depan. Saya berpikir mumpung hari libur dan itulah waktu luang saya untuk
membawanya ke penjahit langganan di pasar Kramat Jati.
Perjalanan ke
kantor sempat terhadang kemacetan di lampu merah Pancoran. Saya menyesal kenapa
saya tadi tidak masuk tol di pintu depan menara Saidah. Jakarta tetap
menyajikan kemacetan meski di hari libur. Akhirnya saya masuk tol di pintu
depan eks Mabes AU. Penyesalan saya niscaya akan bertambah jika nekad tidak
masuk tol, karena ternyata menjelang lampu merah Kuningan lalu lintas juga macet.
Setiba di
kantor saya segera mencari bahan baju tersebut. Kepalang tanggung, saya
sekalian saja memindahkan file dari kartu memori kamera ke komputer. File
tersebut adalah hasil liputan saya di Semarang dan Magelang hari Kamis dan
Jumat kemarin. Tiba-tiba telepon seluler saya berdering, anak bungsu saya
menelepon.
"Pak,
masih di kantor?"
"Masih,
Nak."
"Pulang
jam berapa? Aku jam satu minta dianter les sama Bapak."
"Ni sdh
mau pulang kok, Nak. Sebentar ya."
Saya lirik
arloji saya, pukul 12.15 WIB. Saya bergegas membereskan meja sembari menunggu
proses pemindahan file ke komputer. Seperangkat kamera saya pindahkan dari tas
ke dry cabinet.
Saya baru saja
mau menyalakan mobil ketika anak saya menelepon lagi.
"Pak,
sudah dimana?"
"Bapak
masih di parkiran kantor, Nak. Ni mau pulang."
"Ya udah,
cepetan ya, ngebut aja, salipin semua mobil."
Saya melirik
arloji saya, pukul 12.30 WIB. Anak bungsu saya ini karakternya memang berbeda
sekali dengan kakaknya. Kakaknya cenderung pendiam, dia tidak. Anaknya suka
memprovokasi, sifatnya juga agak temparemental. Yang jelas itu bukan sifat
bawaan saya.
Syukurlah lalu
lintas arah pulang lancar-lancar saja. Di simpang susun Semanggi seorang
pengendara sepeda motor dihentikan polisi karena masuk ke jalur khusus mobil.
Saya terpaksa menghentikan laju mobil saya, memberi kesempatan kepada dua orang
itu untuk menyelesaikan urusannya.
Saya kembali
melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Saya menghidupkan koleksi lagu-lagu
Jawa klasik dari head unit mobil.Saya seperti trance setiap mendengarkan alunan lagu Jawa klasik Target saya pukul 12.50 WIB tiba di rumah
untuk langsung mengantar anak saya ke tempat les.
Simpang susun
Cawang saya lampaui dengan lancar. Saya sedari tadi mengambil posisi di lajur
paling kanan. Lampu merah tinggal sekitar seratus meter lagi. Dari puncak simpang
susun tersebut terlihat antrian mobil menunggu lampu berwarna hijau. Jumlahnya
sekitar sepuluh mobil. Saya memelankan laju mobil saya.
Mendekati ekor
antrian, saya pindah ke lajur kiri. Lajur kanan biasanya antriannya lebih lama
karena banyak mobil memutar di lampu merah tersebut, meski jelas-jelas ada
tanda larangan memutar. Saya berhenti di belakang mobil Mitsubishi lancer Evo
III berwarna hitam.
Baru saya mau
memindahkan tuas gigi ke posisi N, lampu merah berubah warna ke hijau. Meski
saya buta warna parsial red green, tak usah diragukan kemampuan saya membedakan
warna lampu merah. Saya urung memindahkan tuas gigi. Lampu merah ini dilengkapi
dengan penunjuk waktu. Siang itu nyala lampu hijau diberi waktu lima puluh delapan detik. Saya
melirik arloji, pukul 12.45 WIB, aman, pikir saya.
Bruk!!!! Saya
kaget. Suara itu entah datang dari mana. Saya sapukan pandangan ke seliling
mobil, tidak ada yang aneh. Pandangan saya lantas tertuju ke depan mobil saya.
Saya merasa posisi Mitsubishi di depan saya sangat mepet dengan mobil saya.
Saya diam sejenak, mencerna kejadian baru saja. Saya baru sadar, posisi gigi
mobil saya di D dan hanya saya tahan dengan pijakan rem kaki. Saya tidak menguncinya dengan rem tangan.
Saya beriam
dalam mobil sambil membuka jendela kaca depan. Seorang pemuda berumur 30an,
berperawakan kurus, berkulit putih, memakai kaca mata minus keluar dari
Mitsubishi, mendatangi saya. Di belakang saya suara klakson memekakkan telinga,
protes kepada saya.
"Mas, kita
berhenti di depan aja ya, nggak enak, nanti bikin macet."
Pemuda itu
kembali ke mobilnya. 58 detik tadi sudah berlalu. Mobil kami terhadang lampu
merah. Pemuda itu kembali mendatangi saya. Wajahnya menggambarkan emosinya.
Saya menenangkan diri saya.
"Mas,
maaf, saya yang salah. Kita berhenti di dekat bengkel Nissan ya."
Dua ratus meter
dari lampu merah tadi Mitsubishi itu berhenti, saya ikut berhenti. Dia berjalan
ke arah belakang mobilnya, memeriksa bumper belakang. Kukunya mengorek-orek cat
yang terkelupas.
"Mas, saya
minta maaf. Saya yang salah. Kita ke bengkel aja yuuk, biayanya saya
ganti."
Saya
mengulurkan tangan, dia menyambutnya, kami berjabat tangan.
"Wah,
nggak bisa, Pak. Saya mau pulang."
"Pulang ke
arah mana, Mas?"
"Ke
Ciracas."
"Ya udah,
kita mampir bengkel sekalian saja. Bengkelnya bagus kok, langganan saya.
Letaknya di sebelah kanan, sebelum makam Kebon Pala."
"Bapak
tinggal dimana?"
"Saya
tinggal di Kampung Makasar, Mas."
"Ya sudah
kalo gitu. Bapak duluan, saya ikut di belakang."
Agak susah
untuk mendahului mobil itu di jalur utama bandara Halim ini. Jalannya hanya dua jalur dan siang ini amat
ramai. Di depan klub eksekutif Persada saya baru berhasil mendahuluinya.
Mendekati bengkel Ketok Magic Pak Imam, saya memelankan laju mobil. Saya
langsung parkir di depan pintu bengkel, satu-satunya tempat yang tersedia siang
itu. Mitsubishi itu berhenti di seberang bengkel.
"Ciloko,
mas... Aku nyruduk mobil," ujar saya kepada tukang ketok yang menyambut
saya.
Hampir seluruh
pegawai bengkel ini telah saya kenal dengan baik. Sejak tahun 2000 saya
berlangganan dengan bengkel ini. Meski bernama ketok magic, tak usah berharap
ada unsur magis dalam proses kerjanya. Mereka hanya mengandalkan puluhan alat
ketok dan kepiwaian mengetok penyok semata, tak lebih. Bahkan tak seperti
bengkel ketok magic lainnya, dia tidak menyembunyikan proses kerja pengetokan
mobil.
"Mana
mobil yang ditabrak, Pak?"
"Tu,
parkir di seberang."
"Suruh
parkir depan makam aja, Pak. Nanti saya lihat."
Saya
menyeberang jalan. Pemuda itu saya suruh parkir di lahan parkir makam yang
jaraknya hanya 30 meter dari sini. Saya menyusul berjalan kaki bersama tukang
ketok.
"Ini mas,
tolong diperbaiki bumper belakang, ongkosnya jangan mahal-mahal lho," ujar
saya kepada tukang ketok sesampai di parkir makam.
"Ini harus
dicat satu bumper, Pak. Kalo nggak nanti belang."
"Yo wis,
kalo memang harus begitu..."
"Enam
ratus ribu, Pak."
"Wah...kok
mahal gitu?"
"Iya, Pak.
Bumper ini baru saja saya cat. Habisnya memang segitu," sergah pemilik
Mitsubishi itu.
"Tapi
mobilnya harus nginap lho, mas."
"Waduh,
mobilnya saya pakai kerja, je. Gimana, dong."
"Ya sudah
gini saja, mas," saya menyela. "Kalo memang hari ini mas belum sempat
mbetulin di sini karena mobilnya mau dipakai, silahkan saja kapan-kapan ke sini
lagi. Pokoknya semua biaya saya tanggung."
"Gini aja
deh, Pak. Saya minta ganti uang aja."
"Oh, ya
sudah kalo gitu. Kita ke ATM depan, Mas."
Oya, Pak. Saya
minta gantinya nggak usah 600.000 tapi 500.000 saja."
"Okay,
mas."
ATM BRI yang
seyognyanya saya hampiri ternyata parkirnya penuh. Saya lantas beralih ke ATM
lain di mini market Alpha Midi Kampung Makasar. Perlu waktu lima menit untuk
tiba di sini.
Sepuluh lembar
uang pecahan lima puluh ribuan saya sodorkan kepadanya yang menunggu saya di
parkiran mini market.
"Berapa
ini, Pak?"
"Lima
ratus ribu, kan Mas. Sesuai dengan jumlah yang sampeyan minta."
"Nggak
kebanyakan, Pak?"
"Lho....lha
sampeyan mintanya berapa to?"
"Iya sih,
Pak."
"Ya sudah
mas, terima saja. Saya yang salah. Saya ikhlas dan fair kok, Mas."
"Baik,
Pak. Makasih pengertiannya."
Kami berpisah
di sini. Saya menelepon rumah sebelum beranjak, berharap anak saya belum
berangkat les.
"Abyan
sudah berangkat bareng temennya, Pak. Naik angkot," ujar nyonya saya di
seberang telepon.
Saya tertunduk
lesu. Pukul 13.15 WIB.
Kampung Makasar, 24 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment