"Dhik,
bapak mau tidur, hapenya nanti bawa masuk ya.."
"Iya, Pak.
Ni Byan masih mainin."
Saya lantas
beranjak masuk rumah. Minggu siang itu begitu redup, memancing kantuk cepat
datang. Tak lama kemudian saya terlelap.
Saya terbangun
pukul 16.00 WIB. Secangkir kopi panas sudah tersedia di meja makan. Setelah
mendirikan sholat Ashar saya lantas membawa kopi itu ke teras. Deru dan laju
pesawat terbang sesekali melintas di seberang rumah saya. Rumah saya memang
hanya berjarak 300an meter dari landas pacu bandara Halim Perdana Kusuma.
Senja lantas
datang meremang. Kelar mandi, saya langsung mendirikan sholat Magrib.
Seterusnya adalah menyantap makan malam.
"Dhik,
hape bapak mana?"
Anak bungsu
saya terbengong. Ekspresi wajahnya dilanda kecemasan.
"Eh...dimana
ya.... Tadi Byan taruh di meja situ, Pak."
Saya bergerak
cepat. Naluri saya menangkap sesuatu yang buruk. Saya panggil nomor hape dari
telepon rumah. Mesin penjawablah yang menyahut di seberang sana, memberitahu
bahwa nomor tujuan sedang tidak aktif. Tak terdengar nada dering di dalam
rumah. Nyonya saya lantas menginterogasi Abyan. Jawabannya plin-plan. Saya
mencapai titik puncak emosi, pasrah. Hape Motorolla V series itu telah hilang.
Dua hari
berikutnya saya disibukkan dengan pengurusan SIM Card yang hilang. Nomor ponsel
itu sudah saya pakai sejak tahun 2002, dan saya sangat tidak berminat
menggantinya dengan nomor baru. Terlalu ribet bikin pengumumannya.
Selesai dengan
urusan penggantian SIM Card tiba saatnya membeli ponselnya. Saya browsing ke
situs gadget. Saya batasi query saya pada harga di bawah dua juta rupiah. Saya
memang penganut paham konservatif untuk urusan gadget. Bagi saya membelinya
harus sesuai dengan kebutuhan, bukan bagian dari gaya hidup.
Saat itu ponsel
pintar Blackberry sedang moncer-moncernya. Saya bukannya tidak tertarik, tapi
ego saya mengatakan, Blackberry itu main stream banget. Saya amat benci dengan
perilaku penggunanya yang selalu tenggelam dalam ke-autis-annya. Ego itu
menuntun keputusan saya, saya akan membeli ponsel apapun asal bukan Blackberry.
Pilihan saya
akhirnya jatuh ke Nokia E63 seharga 1,85 juta rupiah. Ini ponsel Qwerty pertama
saya. Bagi saya penampilan antar mukanya elegan dan ukurannya ergonomis di
telapak tangan saya yang berjari besar ini.
Hari Kamis saya
sudah kembali terhubung ke dunia luar. Puluhan pesan pendek menyerbu masuk di
hari pertama tersebut. Beberapa pengirim pesan mengeluh kemana saja saya selama
tiga hari tidak bisa dihubungi sama sekali. Salah satu pesan pendek itu datang
dari sahabat saya yang berkantor di lantai 26 gedung yang sama dengan kantor
saya.
"Bey,
kemana aja seeeh. Cepet hubungi aku dong, urgent."
Saya segera
menghubungi dia. Panggilan saya tidak dia respon. Saya lantas mengirim pesan
pendek, memberitahu penyebab putusnya komunikasi tersebut. Pesan pendek itu
tidak terbalas sampai hari Jumat keesokan harinya. Saya dalam hari
bertanya-tanya, ada apa gerangan. Dia menyuruh saya untuk menghubunginya tetapi
sampai Jum'at siang tidak ada balasan pesan pendek saya.
Panggilan
darinya akhirnya masuk ketika sudah pukul 15.00 WIB.
"Adoooh....kenapa
sih hape bisa ilang gitu?"
"Biasa lah
Pak, anakku lupa, hape di taruh di teras. Yo wis, bablas angine..haha.."
"Eh,
Bey... Kebetulan aku baru ganti hape. Lu mau nggak pake hapeku yang lama. Tapi
maaf lho ya, ini lungsuran."
"Weh....hape
Blackberry itu?"
"Iya....
Mau nggak? Kalo mau sore ini ambil ke 26 ya.."
Saya tertegun
setelah percakapan tersebut usai. Rentetan peristiwa dari hari Minggu ini
begitu sarat makna bagi saya. Kehilangan ponsel merupakan sesuatu yang
menyakitkan dan mengesalkan. Kerugian material jelas, tapi yang lebih terasa
adalah hilangnya seluruh kontak di ponsel tersebut. Ketika kemudian saya
memutuskan membeli penggantinya, ego saya mengatakan asal bukan Blackberry.
Tapi apa lacur, belum genap 24 jam ego itu saya eksekusi, saya mendapat rejeki
lungsuran Blackberry.
Kini tiga
setengah tahun telah berlalu. Saya tetap setia memakai Blackberry. Ini adalah
satu-satunya ponsel yang saya punya, tak ada ponsel lain di tangan saya. Ini
adalah Blackberry ketiga yang saya punyai. Ketiganya pemberian semua, tidak ada
yang saya beli sendiri.
Sejarah sedang
berulang. Dunia sedang goncang oleh langsiran program chatting BBM untuk
pengguna ponsel berbasis Android dan Ios. Sejenak hiruk pikuk pameran mobil di
Kemayoran terlupakan. Anak sulung saya sudah kasak-kusuk dengan teman-temannya
mengenai PIN yang akan segera tertanam di ponsel Android-nya. Teman-teman
komunitas mobil se-merk bahkan sudah banyak yang berhasil memasang program
tersebut dan dengan percaya diri mengumumkan PIN-nya minta di-invite. Di media
sosial pun diramaikan dengan hal ini. Saya tersenyum dalam hati. Saya hanya
belajar satu hal, tak ada gunanya menaruh rasa apapun secara berlebihan,
termasuk rasa benci. Terbukti ego saya menemukan karma. Say no to Blackberry
itu hanya bertahan tiga hari.
Teras Rumah, 22
September 2013, 20:19:05 WIB.
*tulisan ini
dibuat di aplikasi Note Blackberry...
3 comments:
Paketu, demikianlah kami rekan2 seperkuliahan biasa menyapa Slamet Riyanto. Sebagai ketua Ikatan Keluarga Alumni seumur hidup, sahabat saya ini selalu menghadirkan rangkaian kata unik cenderung puitis dengan personifikasi yang tepat atas hampir semua pernyataannya. Tak dinyana, ternyata itu bagian dari hasil nge-blog sejak 2007. Everything happen for a reason. Menyibak (pengganti kata menyimak yg sering beliau gunakan) blog beliau, secara umum menghambarkan bagaimana beliau merasakan lingkungannya. Keep up the great work, paketu... Proud of you...!
Sala ketik "menghambarkan" seharusnya "menggambarkan"
Suwun udah mampir n komen. Hehe....aku nggak iso ngarang, mulakno nulise yo seputar kehidupan pribadi wae...
Post a Comment