Yogyakarta, 26 September 2013, pukul
05.45 WIB.
Sebetulnya saya janjian sama Erwan
dan Alpha untuk bersama-sama jalan kaki ke Malioboro. Namun setelah saya
tunggu-tunggu di lobi selama 5 menit mereka tak muncul jua. Saya memutuskan
untuk menyusuri pagi ini seorang diri. Di bahu kanan tergantung kamera Nikon
D90 dan lensa 20-35 mm. Yogya pagi ini dikurung mendung. Hawa dingin masih
menyelimuti jalan ini.
Baru beberapa puluh meter melangkah,
tukang becak sudah menghampiri saya, menawarkan jasanya.
"Mari, Pak.. Lima ribu saja,
keliling cari oleh-oleh...Dagadu, batik, gudeg."
"Mboten, Pak. Saya pengin jalan
kaki."
"Murah kok Mas. Itung-itung
ngasih penglaris saya. Belum narik nih Mas..."
Saya mulai jengkel ketika tawaran
itu berubah menjadi emisan. Bagi saya itu tidak fair, profesi ya profesi,
pisahkan dari unsur meminta-minta. Saya meneruskan perjalanan ke arah selatan.
Belum juga genap 25 meter melangkah,
tukang becak yang lain sigap menyergap saya. Modusnya sama. Menawarkan jasa,
lantas mengeluh belum narik. Saya kian cuek. Jawaban saya kian pendek.
Gerbang Stasiun Tugu sudah di depan
mata. Saya menyeberang ke sisi kanan jalan Mangkubumi. Dua orang tukang becak
sedang asyik memotret diri mereka sendiri tepat di bawah monumen kereta api di
gerbang itu. Saya mengabadikan peristiwa itu dari jarak 10an meter. Mereka
supanya sadar dengan kelakuan saya.
"Wah, kita malah difoto
ni..."
"Hehe... Pose lagi mas, saya
foto dari sini."
"Wah, orang jelek kok difoto to
Mas..."
Saya berjalan mendekati mereka.
"Monggo Mas sarapan makanan
ndeso. Pasti Mas ini nggak kenal makanan ini."
"Apa to Mas sarapannya?"
"Thiwul, Mas."
"Walah... Thiwul mah makanan
sehari-hari saya dulu, Mas. Saya kan orang Wonogiri."
"Ooooo... Saya Pacitan
Mas..."
Obrolan singkat itu saya pungkasi.
Saya meneruskan perjalanan ke arah selatan, menyeberangi rel, memasuki ruas
jalan Malioboro. Saya berjalan di sisi timur jalan ini. Sisi timur lansekapnya
lebih terbuka dibanding sisi barat yang trotoarnya berada di emperan toko
beratap. Belum lagi pinggir emperan itu dipenuhi lapak pedagang kaki lima,
sehingga trotoar itu menjelma menjadi lorong sempit dan panjang.
Saya tak sempat menghitung jumlah
tawaran tukang becak yang menghampiri saya. Beberapa bahkan membuntuti saya
sejauh beberapa langkah. Jawaban saya hanya sepotong.
"Mboten Pak, saya mau jalan
kaki."
Hasrat memotret saya lantas sirna.
Tawaran tukang becak itu sungguh mengganggu konsentrasi saya. Akhirnya saya
memilih berjalan kaki semata, tak memotret sejepretpun.
Ujung jalan Malioboro itu berupa
perempatan besar. Sisi timur lautnya adalah Benteng Vredeburg. Saya berhenti di
bangku beton yang terletak persis di depan benteng itu. Secangkir kopi panas
lantas saya pesan dari seorang kakek yang berjualan di bawah pohon. Saya duduk
melamun, memandangi gedung BNI yang terletak di sisi barat daya perempatan ini.
Matahari masih tertutup awan.
Kopi hangat itu belum saya sentuh
ketika seorang pria berperawakan jangkung, berpakaian olah raga dan mengenakan
topi, mengucapkan salam kepada saya. Dia lantas duduk di sebelah kiri saya,
dekat dengan cangkir kopi dan rokok saya. Saya menggeser duduk saya ke kanan
demi memberinya ruang kepadanya. Dia lantas memesan kopi serupa dengan pesanan
saya tadi.
"Enak ya Pak, jam segini jalan
pagi," sapanya.
"Iya, Pak."
"Kenalkan, Pak. Saya
Hari."
"Saya Slamet, Pak."
"Pak Slamet dari mana?"
"Saya sebenarnya orang
Wonogiri, kerja di Jakarta, lagi dinas di sini, Pak. Pak Hari sendiri asalnya
dari mana?"
"Saya dari Jambi, Pak."
"Owh... Kakak ipar saya juga
tinggal di Jambi, pak Hari."
Kami lantas tenggelam dalam obrolan
seru dan intens. Saling bertukar informasi profesi, keluarga dan kepentingan.
Dia mengaku seorang pengusaha kelapa sawit dan sedang ada urusan bisnis di
Yogyakarta. Yogya baginya adalah kota ke dua karena ada adiknya yang bekerja di
UGM. Saat ini dia sedang menunggu untuk dijemput sopir adiknya. Dia sendiri
menginap di hotel Santika.
Sedang asyik-asyiknya mengobrol,
tiba-tiba dari arah selatan muncul seorang pria berperawakan gemuk pendek.
Busananya rapi, mengenakan kaos polo yang ujung bawahnya dimasukkan ke celana
pendek berikat pinggang. Sepatu olah raganya terlihat mahal. Kulitnya bersih.
"Assalamualaikum. Boleh awak
ikut bercakap?"
Kalimat salam itu agak tenggelam
dalam deru sepeda motor yang sedang berhenti di perempatan persis di depan
kami.
"Wa'alaikum salam..."
"Boleh awak minta bantuan. Awak
mencari masjid As Syuhada. Awak dari kerajaan Brunei."
"Wah, saya bukan orang Yogya,
Pak," jawab saya. Pria itu berdiri di sebelah kanan saya. Saya lantas
memberinya tempat duduk.
"Oh, masjid As Syuhada di
sebelah sana, Pak. Bapak menginap dimana?" Sergah pak Hari seraya menunjuk
ke arah timur laut benteng Vredeburg.
"Awak menginap di hotel
Santika."
"Lho sama dong. Ada perlu apa
ke masjid itu?"
Dengan bahasa Melayu bercampur
Indonesia, dia menerangkan maksud dan tujuannya. Pria yang mengenalkan diri
bernama Aswan itu bercerita bahwa dia sedang berkeliling mencari masid As
Syuhada untuk memberikan bantuan tunai. Dia juga bertanya kepada saya apakah di
sekitar kampung saya Wonogiri ada yang perlu bantuan tunai untuk kegiatan
keagamaan. Saya jawab bahwa kami sudah punya mushola dan sekarang sedang tidak
butuh bantuan apapun. Pikiran saya mulai diselimuti syak wasangka.
"Pak Slamet, ayo kita antar pak
Aswan ke masjid itu. Naik mobil saya aja, itu mobilnya sudah menunggu di depan
Kantor Pos."
Saya gamang menghadapi situasi ini.
Pikiran saya dipenuhi pikiran buruk. Belum sempat saya menjawabnya, pak Hari
berucap lagi.
"Ayo Pak Slamet, kita
berangkat."
Saya bak kerbau yang dicocok
hidungnya. Kami bertiga melangkah ke arah timur ke Jalan Senopati. Sebuah mobil
Rush berwarna hitam telah terparkir tak jauh dari tempat kami duduk tadi.
"Pak Slamet duduk depan saja.
Saya yang nyetir," kata pak Hari sembari mengambil kunci mobil dari sopir
yang menjemputnya. Lagi-lagi saya seperti dihipnotis. Jadilah sopir itu
berpindah ke bangku tengah belakang sopir dan Aswan duduk di belakang saya.
Mobil lantas dijalankan. Cara menyetirnya agak grusa-grusu. Tiba di pertigaan
pertama mobil itu belok ke kiri, ke arah jalan Mayor Suryotomo. Kepadatan lalu
lintas pagi itu membuat mobil ini harus zigzag.
Pikiran saya mulai kalut. Saya
menyesal, kenapa saya ikut mobil ini. Siapa mereka ini? Rasanya terlalu mudah
untuk sebuah momen kebetulan. Saya menangkap ada skenario yang sudah terancang
sebelumnya. Kemunculan Aswan pasti tidak kebetulan.
Saya sengaja tidak memasang sabuk
pengaman agar jika terjadi apa-apa saya bisa segera melarikan diri. Saya
menghafal letak handle pembuka kunci pintu dan tuas pembuka pintu. Saya
memperhitungkan ground clearance mobil ini. Mata saya awas mengamati
gerak-gerik orang yang duduk di belakang saya. Tangan kanan saya menggenggam
erat kamera Nikon D90, siaga menjadikannya senjata apabila diperlukan. Tali
gantungannya saya ikatkan ke pergelangan tangan.
"Pak Slamet, awak minta nomor
hapenya."
"Saya juga, Pak," pak Hari
ikut menimpali.
Saya sebutkan nomor ponsel saya.
Mereka lantas melakukan panggilan ke nomor saya. Saya abaikan saya, tak segera
menyimpannya. Konsentrasi saya sedang tertuju pada dua orang itu.
Tak terasa mobil sudah tiba di pertigaan
jalan Mataram dan jalan Abu Bakar Ali. Di depan terliat tiga polisi sedang
menjaga dan mengatur lalu lintas.
"Pak, ada polisi. Sabuk
pengamannya tolong dipakai."
Saya makin gugup. Skenario itu
rupanya terbaca olehnya.
Mobil mengambil posisi berbelok ke
kanan, ke arah jalan Abu Bakar Ali, karena kalau belok kiri akan kembali ke
arah jalan Malioboro. Saya sedikit tenang, artinya mobil ini melaju ke arah
yang benar, masjid As Syuhada. Masjid itu, kata pak Hari tadi, terletak di
dekat jalan Jendral Sudirman, searah ke hotel Santika tempat mereka menginap.
Ajakan cakap Aswan tentang tawaran
bantuan ke desa saya tidak terlalu saya tanggapi. Saya tegaskan bahwa saya
tidak tinggal di desa itu sehingga sulit mengkomunikasikannya. Dia nekad saya
mengoceh dalam bahasa Melayu yang kurang jelas tertangkap maksudnya. Saya tak
peduli.
"Nah itu masjidnya, Pak,"
ujar pak Hari.
Di depan sebelah kiri terlihat kubah
masjid yang amat besar. Sejurus kemudian masjid itu terlihat utuh. Sebuah
bangunan tua berwarna putih tegak berdiri dengan megah. Pagarnya terbuat dari
besi tempa, sudah kusam catnya. Di sisi kirinya terdapat Taman Kanak-kanak.
"Wah, ini tidak perlu bantuan.
Masjidnya sudah jadi," ujar Aswan.
"Lho, pak Aswan nggak menemui
pengurusnya dulu? Siapa tahu mereka butuh bantuan untuk mengembangkan
pendidikannya."
"Tak usah, kita terus
saja."
"Iya, pak Slamet. Mungkin pak
Aswan pengin mbantunya soal pembangunan fisik."
"Lho, itu kan ada TK, pak Hari.
Siapa tahu pengurus butuh bantuan dana untuk pengembangan pendidikannya."
Pak Hari tetap saja tak menghentikan
laju mobilnya. Saya kembali tegang. Ini sudah tidak benar. Tadi Aswan begitu
menggebu berbicara tentang tawaran bantuan tunai dari Brunei tapi tak tertarik
sama sekali mensurvey masjid ini. Kepercayaan saya hilang seketika, berubah
menjadi prasangka. Ini pasti konspirasi. Saya pasti sedang diperdaya. Tangan
saya kembali bersiaga.
Tak berapa lama kami sampai di
pertigaan jalan Jendral Sudirman. Beberapa puluh meter dari sini kami akan
sampai di hotel Santika. Mobil berbelok ke kiri, ke arah barat.
"Saya turun di depan saja, pak
Hari, tidak usah diantar ke penginapan."
"Oh, nggak apa-apa pak Slamet,
saya antar saja."
"Iya, pak Slamet, biar diantar
saja," Aswan ikut menimpali.
Hotel Santika lantas terlewat begitu
saja. Saya tetap waspada. Di depan adalah perempatan Tugu. Saya sudah putuskan,
apabila mobil ini tidak belok kiri ke arah jalan Mangkubumi, saya akan kabur di
perempatan itu.
Mobil ini berjalan pelan, berbagi
ruang dengan kendaraan lain yang mulai menyemut pagi ini. Jam digital di
dashboard menunjukkan angka 07.15 WIB.
Saya baru bernafas lega dan mengikis
prasangka buruk ketika akhirnya mobil ini berhenti di depan lobi hotel Grand
Zuri. Sembari sarapan
Gudeg di resto hotel yang terasa
asin banget, saya ngunandika, prasangka dan kekawatiran ternyata tidak akan
membawa saya kemana pun.
Yogyakarta, 27 September 2013,
07:17:45 WIB.
No comments:
Post a Comment