Friday, October 11, 2013

Apa yang Pasti


Tugas memotret di seputaran jalan Malioboro Yogyakarta dengan tema transportasi darat membuat saya mual. Semenjak berangkat dari hotel benak saya dipenuhi ide, tapi tidak fokus. Semula saya ingin memotret seputar Trans Yogya. Menurut saya moda angkutan ini menarik karena tidak banyak kota-kota di Indonesia yang menyediakannya. Tapi niat itu saya urungkan. Dua halte yang saya lalui sepi penumpang. Saya tetap berjalan beriringan dengan Alpa, Erwan, mas Bari pembimbing kami, dan mbak Nisa staff dari lembaga pendidikan tempat kami belajar.
Di pangkal jalan Malioboro kami berpisah. Rombongan kecil itu meneruskan langkah, berpencar untuk sejam kemudian sepakat berkumpul di depan Malioboro Mall. Saya memelankan langkah. Ada sebuah kios bensin eceran yang ikonik. Rak kayu tempat memajang botol-botol bensin itu bertuliskan "Pertamini". Sebuah semiotika yang menurut saya amat mengena. Saya potret dalam berbagai sudut.
Pertamini, sebuah propaganda yang mengena..
Puas memotret benda itu, saya berjalan ke kiri, ke arah jalan Abu Bakar Ali. Saya masih penasaran dengan Trans Yogya. Kebetulan di dekat situ ada halte. Lagi-lagi saya kecewa. Halte itu tak ada calon penumpangnya. Saya lantas menyeberangi jalan, balik arah, menuju ke jalan Malioboro.
Deretan becak di depan hotel Garuda
Memasuki jalan legendaris ini bak memasuki medan laga. Sebetulnya sore itu jalanan ini tak terlalu ramai. Tak banyak turis lokal maupun import yang berkelana. Penghuni jalan ini didominasi para pedagang dan penjual jasa. Saya makin bingung menentukan fokus pemotretan.
Tak berapa lama saya melangkah, saya menemukan lagi semiotika yang menarik. Sebuah himbauan untuk menghormati pejalan kaki disampaikan dengan cara memasang rambu berupa gambar sepasang sendal jepit dan tulisan himbauan di bawahnya. Orang Jawa memang suka bersemiotika.. Saya lantas mencari sudut pemotretan yang pas. Saya ingin menangkap bahwa ada paradoks di sini. Di satu sisi orang Jawa dikenal dengan sifatnya yang santun, tapi di sisi lain hampir semua orang berpendapat bahwa lalu lintas di kota ini semrawut. Ada sekitar 15 frame yang saya hasilkan dari obyek ini.
Hormati pejalan kaki
Puas memotret obyek ini saya melangkah ke arah selatan. Deretan becak berwarna biru di depan hotel Grand Ina itu amat ritmis. Saya potret dengan komposisi death centre. Saya lantas menyeberang ke sisi barat. Seorang tukang becak menyambut saya dengan tawaran khas, mengajak keliling mencari oleh-oleh dengan ongkos hanya 10.000 rupiah. Saya tolak dengan halus.
Bertahan di tengah gerusan jaman
"Mboten, Pak. Saya lagi belajar motret."
"Oh...tugas kuliah, ya Pak...?"
"Haha...bukan, Pak. Tugas kantor.
Mungkin dalam benak bapak itu yang namanya fotografi itu melulu tugas kuliah.
"Becaknya sendiri, Pak?"
"Iyo mas. Berat kalo nggak punya sendiri."
"Lho emang berapa setorannya sehari?"
"Lima ribu sih Pak..."
"Ooh... Ngomong-ngomong sekarang tukang becak lebih seneng nawarin ke toko-toko oleh-oleh, nggih Pak?"
"Iya mas, lumayan dapet komisi 10% sampai 20%. Belum lagi undiannya..."
Demikianlah fenomenanya. Di Solo juga. Tukang becak sudah menjadi agen toko-toko penjaja oleh-oleh, berharap memperoleh komisi dari nilai penjualan ke tamu yang dia antar. Saya lantas pamit, meneruskan langkah ke arah selatan.
Tepat di seberang Malioboro Mall, saya bertemu dengan mas Bari. Dia sedang berbincang dengan seorang tukang becak. Saya mendekat kepadanya.
"Sudah dapet foto apa, pak Slamet?"
"Bingung, mas...hahaha.."
"Pak Slamet fokus aja ke kendaraan tak bermesin. Kan ada becak, andong dan sepeda."
"Baik mas..."
Tepat di sebelah kami berbincang ada dua andong sedang parkir. Saya mendekat ke salah satunya. Kusirnya seorang pemuda ingusan. Saya taksir masih berumur 20 tahunan. Dia sedang memegangi kepala kudanya.
Kuda pun butuh penutup kuping
"Di, tolong bantuan pegangin dong, mau nyumpelin kuping, ni..."
"Ya udah sini, aku bantu."
Dua orang kusir itu lantas sibuk memasang kain putih sebesar sapu tangan ke lubang kuping kuda. Kuda itu sempat meronta sebentar, lalu diam setelah kupingnya disumpal. Kuda memang amat sensitif dengan bunyi-bunyian, makanya kupingnya harus disumpal.
"Andong sampeyan, mas Di?"
"Iya, Pak. Berat kalo mbawa andong juragan."
"Emang berapa setorannya?"
"Sebetulnya nggak pasti sih mas. Tergantung kesadaran kita sendiri aja."
"Weh, kok gitu?"
"Lha iya, kayak sekarang ini, sudah tiga hari saya nggak narik sekalipun."
"Lho, kenapa?"
"Mas lihat sendiri, lagi sepi tamu mas. Musim paceklik. Sementara kuda harus tetap dibeliin makanan, sehari habis tiga puluh ribu. Belum sayanya..."
Alas kaki buat semua... kuda dan manusia
Saya diam terpekur mendengar kenyataan ini. Satu yang membuat saya tetap salut kepadanya, dia tetap ceria, senyumnya tetap mengembang ketika menawarkan jasanya ke para pejalan kaki, meski tak satupun yang akhirnya menjadi penumpangnya. Saya lantas meminta ijin memotret andongnya. Saya telah menemukan fokus pemotretan, andong dan becak.
Rasa haus menuntun saya ke penjual minuman dingin di seberang jalan. Disamping itu saya juga sudah lelah. Sebotol minuman dingin lantas tertenggak dengan segera. Erwan muncul di samping saya. Dia baru selesai memotret pedagang batik di sekitar Mirota.
"Gimana, Wan? Dapet foto?"
"Apaan.... Yang ada duit guwa melayang seratus ribu.."
"Hahaha....lha kok bisa?"
"Iya, guwa bela-belain belanja di toko itu biar diijinin motret, eh si embaknya nggak mau dipotret... Sial."
"Hahaha.... Nasib lu dah..."
Di awal kami sudah diwanti-wanti oleh mas Bari. Jangan melakukan pendekatan ke obyek foto dengan uang. Itu amat merusak naluri jurnalisme kita. Saya pegang teguh pesan itu. Erwan sebenarnya juga tidak melakukannya, toh dia berbelanja, bukan memberi uang.
Kelar menenggak minuman dingin, saya kembali ke seberang jalan. Erwan memilih istirahat di emperan Malioboro Mall sembari menunggu Alpha.
Di seberang jalan ada pemandangan menarik. Seorang kusir tua sedang duduk di atas andongnya yang masih kinclong.
"Sugeng sonten, Pak... Andongnya baru, nggih?"
"Wah baru tapi rugi, Mas..."
"Lho kok rugi, Pak?"
"Lha iya, yang lama dibeli seorang bupati, lima puluh juta. Terus saya pesan lagi, eh ternyata harganya sama. Saya rugi waktu, tiga minggu nggak bisa narik, nunggu pesanan andong ini selesai dikerjain."
"Hehehe... Rejeki nggih, Pak."
"Iya Mas... Rugi, wis...."
Kuda beneran vs kuda besi
Kusir tua itu lantas panjang lebar bercerita. Dia seorang duda beranak lima. Kelimanya sudah hidup terpisah dengannya. Jadilah dia hidup sebatang kara di sebuah desa berjarak 15 kilometer dari sini. Jarak itu dia arungi pulang pergi sembari menaiki andongnya.

"Yang paling ngenes itu kalo di jalan kehujanan terus sampai rumah masuk angin, Mas. Saya bener-bener nelongso."
Saya jadi terbayang situasi yang dialamu kusir ini. Hidup sendiri di usia senja, penyakit datang mendera...
"Anak-anak nggak ada yang ikut Bapak?"
"Nggak Mas, udah pada mencar semua."
"Sebetulnya berapa sih Pak penghasilan kusir per hari?"
"Wah lha ya nggak pasti, mas. Tapi pukul rata mungkin seratusan ribu lah..."
"Cukup buat hidup, Pak?"
"Cukup itu kan ada di sini, Mas...bukan di sini," ujar kusir itu sembari memegang dadanya lantas berganti menunjuk tangannya.
Serombongan turis lokal membuyarkan obrolan kami. Pak kusir sibuk menawarkan jasanya. Sayang, lima orang turis itu memilih menggunakan dua becak dibanding andong. Kesempatan itu lantas saya gunakan untuk pamitan sekaligus minta ijin memeotret andongnya. Saya bergegas mencari rombongan saya. Telepon seluler saya menyisakan jejak panggilan tak terjawab sebanyak 8 panggilan dari satu nama, Erwan. Mereka menunggu saya di emperan Malioboro Mall. Beriringan kamu kembali ke hotel. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Tak terasa sudah dua setengah jam kami berkutat di sini.
Setiba di hotel saya langsung ambruk. Kantuk saya tak tertahankan. Ketika terbangun, di luar sana sudah gelap gulita. Lamat-lamat terdengar suara adzan Isya'. Saya bergegas mandi. Alpha tak tampak batang hidungnya, sementara Erwan terlelap dengan sempurna di ranjang ekstra. Kami bertiga menghuni kamar yang sama.
Angkringan depan Kedaulatan Rakyat itu menjadi pelabuhan saya. Dua bungkus nasi oseng tempe, delapan sate kikil sapi dan dua tempe bacem saya lahap dengan segera. Sebenarnya tempat ini amat nyaman buat menyendiri berlama-lama, sayang pengamen silih berganti menghampiri.
Saya sedang asyik menulis cerita "Disekap Prasangka", ketika seorang sahabat saya mengabarkan bahwa dia mau datang ke sini. Ada sesuatu yang mau dia titipkan kepada saya buat koleganya di Jakarta. Kami janjian untuk bertemu di lobi hotel saja karena saya sudah tak nyaman berada di sini.
"Mau mampir ke kamar nggak, Mas?" Sapa saya kepadanya ketika kami sudah bertemu di lobi hotel.
“Yuuuk.."
Kami lantas meneruskan obrolan di kamar. Mutasi eselon IV yang baru saja terjadi sore tadi membuat obrolan kami kian hangat. Dia rupanya sempat was-was namanya ada di SK itu. Syukurlah itu tidak terjadi.
Dibalik kekonyolan dan rasa humornya yang tinggi, dia menyimpan banyak masalah berat. Dia sempat terpisah dengan keluarga ketika awal dia pindah ke sini. Akhirnya seluruh keluarganya diboyong ke sini setahun kemudian. Kebetulan anak kami seumuran, sehingga topik obrolan kami loncat ke sana dan ke sini, mulai dari urusan kantor, anak-anak dan keluarga.
Dia banyak bercerita sisi-sisi masa lalu keluarganya. Saya terperanjat, ceritanya amat menyentuh. Saya tak menyangka bahwa masa lalu keluarganya sebegitu memelas. Mereka harus hidup terlunta-lunta dari satu kontrakan ke kontrakan lain sebanyak tujuh kali. Saya tak pernah punya pikiran seperti itu karena ketika beberapa tahun yang lalu saya diajak mampir ke rumahnya, kondisi rumahnya lumayan apik. Waktu itu ibunya seorang guru SD Negeri. Bapaknya memang sudah tiada sedari beberapa tahun yang lalu.
Beberapa waktu lalu dia sendiri juga terkena pemotongan tunjangan karena hukuman disiplin. Saya berani bertaruh 100% bahwa sebenarnya dia tak bersalah. Tapi apa daya, hukum di negeri ini memang tidak berpihak pada kaum lemah.
"Dari situ aku belajar satu hal, Met..."
"Apa itu, Mas?"
"Bahwa di dunia ini nggak ada yang pasti. Nggak ada... Bahkan termasuk penghasilan bulanan kita yang selama ini kita anggap pasti."
Saya terdiam ketika mengantarnya ke pintu kamar. Di balik sosoknya yang penuh canda, sahabat saya yang satu ini memang punya falsafah dan kedewasaan hati jauh di atas saya.


Kampung Makasar, 28 September 2013, 14:04:01 WIB.







No comments: