Hari baru saja berganti ke Sabtu
ketika saya, Arief dan mas Bimo melangkah keluar dari kantor, minggu lalu.
Arief memisahkan diri di pintu basement,
dia menuju parkiran sepeda motor. Saya berdua dengan mas Bimo meneruskan
langkah kaki ke jalan Gatot Subroto, mencari taksi. Sebuah acara di kantor
menyatukan kami bertiga. Tadinya hanya Arief saja yang terlibat, karena saya
masih dinas ke Yogya. Rupanya acara di Yogya bisa dipercepat sehingga saya bisa
membantunya. Tanpa sepengetahuan saya, rupanya mas Bimo juga dimintain bantuan
oleh salah satu koleganya di sini.
Taksi pertama segera datang.
Saya persilahkan senior saya untuk menaikinya terlebih dahulu. Tinggallah saya
sendirian berdiri di kegelapan. Tak lama sebuah taksi kosong tampak dari
kejauhan. Segera saya lambaikan tangan untuk memberhentikannya.
"Selamat malam, Pak.
Tujuan mana?"
"Kampung Makasar Halim ya,
Pak."
"Baik, Pak. Maaf saya
colokin kartu saya dulu, soalnya tadi sudah saya matikan argonya, sudah mau
pulang."
Pengemudi itu lantas memasukkan
kartu yang bentuknya mirip kartu ATM ke mesin argo taksi. Hebat juga teknologi
taksi ini. Argo tidak akan bisa diakses jika pengemudi tidak memasukkan kartu
akses tadi.
"Pool mana, Pak?"
"Tangerang, Pak."
"Waduh, bapak nanti
kemaleman dong sampai pool?"
"Nggak apa-apa, Pak. Paling
kena denda tiga puluh ribu."
Simpang susun Semanggi baru
saja terlewati. Lalu lintas agak padat menjelang Plasa Semanggi. Sebuah bus
ngetem di halte.
"Pak, kok perusahaan
ndenda gitu, sih? Kan Bapak nyariin duit buat dia.."
"Ya buat disiplin aja,
Pak. Ini kan taksi setoran, bukan komisi."
Logika saya belum menemukan
kaitan atas dua premis itu.
"Emang berapa setorannya,
Pak?"
"Tiga ratus ribu, Pak.
Buat bensin seratus lima puluh ribu, makan lima puluh ribu.
"Jadi sehari Bapak bawa
uang berapa?"
"Ya nggak tentu, Pak.
Bapak hitung aja sendiri. Kalo dapet lima ratus ribu berarti saya nggak bawa
pulang seperak pun..."
Saya mengamati profil pengemudi
itu dari sisi samping belakang. Badannya ceking, rambutnya sudah memutih semua.
"Maaf, Bapak usia
berapa?"
"Enam puluh dua tahun,
Pak."
Saya terhenyak. Tiba-tiba saya
terbang ke Wonogiri, membayangkan bapak saya yang usianya sama dengannya.
"Narik taksi dari tahun
berapa, Pak?"
"Tahun tujuh enam,
Pak."
"Haaaa? Itu saya baru umur
dua tahun, Pak."
Di pom bensin Shell Pancoran
saya meminta berhenti sebentar. Saya mampir ke mini market untuk membeli rokok.
Pengemudi itu juga turun, membeli minuman isotonic.
"Kenapa nggak alih
profesi, Pak?"
"Mau jadi apa, pak? Saya
nggak punya kepandaian apa-apa selain nyopir. Lagian usia segini, saya mau
kerja apa?"
"Tapi apa cukup
penghasilan Bapak buat hidup sehari-hari?"
"Hehe...dicukup-cukupin,
Pak. Rejeki sudah ada yang ngatur. Hari ini saya nombok setoran mungkin besok
saya dapet lebihan. Gitu aja, Pak. Pusing kalo dipikirin mah."
Saya tertohok. Bulan ini saya
merasa miskin. Penghasilan rutin saya tak mampu membiayai pengeluaran keluarga
saya. Dalam hati saya sempat mengumpat institusi saya yang seolah tidak memikirkan
kesejahteraan pegawainya.
"Anak sudah gede-gede,
Pak?"
"Sudah, Pak. Alhamdulillah
sudah kerja semua."
"Terus Bapak mau jadi
sopir sampai kapan?"
"Saya punya cita-cita tiga
tahun lagi berhenti, Pak. Bodo amat nggak punya duit. Saya mau istirahat. Saya
mau ikut anak aja. Cukup sudah tiga puluh sembilan tahun saya mengabdi di
belakang kemudi."
Ah.... Lagi-lagi saya tertohok.
Beberapa waktu yang lalu, sahabat saya menawari saya untuk kerja dengannya
dengan gaji dua kali lipat dibanding gaji saya sekarang. Saya sempat diskusikan
dengan nyonya, mertua, adik, dan terakhir dengan bapak saya. Bapak saya cuma
berujar singkat.
"Jadi pegawai negeri itu
separonya ngabdi, lho Le... Kalo bisa jangan keluar."
Soto Ceker samping kantor, 2
September 2013, 13:23:08 WIB.
No comments:
Post a Comment