"Good evening, Sir. I think I can help you."
"Really? Please take me to jalan Jaksa..."
"Yes, Sir..."
Sepotong obrolan itu bukan terjadi
antara siapa-siapa, hanya antara sopir taksi dan seorang bule yang berdiri di
depan Kantor Kedubes Amerika Serikat beberapa minggu yang lalu. Sopir taksi itu
barusan mengantar saya ke terminal 1C Bandara Soetta.
Semula saya berniat naik taksi
sampai terminal Rawamangun saja, seperti biasa. Kekawatiran saya akan kemacetan
lalu lintas lah yang mengubah rute saya. Begitu naik, sopir itu mempersilahkan
saya merokok. Rupanya dia melihat saya membuang rokok sesaat sebelum masuk
taksinya. Saya memilih tidak merokok, rasanya tak nyaman melakukannya.
Sopir itu seorang pria berumur
50-an tahun, bernama Soeyitno. Perawakannya tegap, mukanya segar. Sesaat
kemudian saya lantas sibuk menelepon ke Bowo, kameraman saya yang sedang on job
di gedung BPK. Saya memberi instruksi tentang blocking kamera dan menjelaskan rundown
acara. Telepon terputus.
"Kerja dimana, Om?"
"Di pajak, pak. Tapi lagi
ada kerjaan sampingan di BPK."
"Wah, malaikatnyan BUMN,
tu.."
"Kenapa, Pak?"
"Iya, bos-bos BUMN kan
paling takut sama BPK."
Saya terhenyak. Sopir ini terlalu sok tahu
menurut saya.
"Sudah lama di Blue Bird,
Pak?"
"Baru tiga bulan,
Om.."
"Sebelumnya kerja apa,
Pak?"
"Sopir juga, tapi bawa
direksi di perusahaan swasta."
Saya mulai makhfum. Tol R. Soediyatmo
pagi itu lumayan lancar. Obrolan kami lantas berlanjut.
"Saya pernah sukses,
Om."
"Oya? Usaha apa,
Pak?"
"Pakan ternak, Om...
Sehari saya bisa jual jagung buat merpati dua ton..."
Dia lantas panjang lebar
menceritakan kesuksesannya. Semua berawal dari krisis moneter tahun 1998. Dia
dirumahkan perusahaan tempat dia bekerja sebagai sopir karena bank itu gulung
tikar. Bermodal sedikit tabungan, pria beranak dua ini lantas membuka usaha
pakan ternak, utamanya jagung buat merpati.
Dia bercerita bahwa jagung dari
petani itu rupanya rata-rata sudah mengendap selama dua bulan sebelum sampai di
tangannya. Kondisinya amat dekil. Dia lantas berinisiatif mensortir jagung itu,
mencucinya hingga bersih, hal yang tidak dilakukan oleh pedagang lain. Inilah
yang membuat komoditinya laku keras. Usahanya berkembang dan melebar. Dia
merambah ke pakan ayam bangkok berupa gabah beras merah. Lagi-lagi dia
melakukan inovasi. Sebelum dijual, gabah itu dia sortir dengan cara merendamnya
dalam air. Gabah yang mengapung berarti tak layak jual. Inovasinya mendulang
kesuksesan. Usahanya menjulang. Omsetnya kian membesar. Suatu hari godaan itu
datang...
Pak Soeyitno, demikian nama
sopir itu, pengin membesarkan usahanya. Bank-lah yang jadi tujuan
pencarian sumber modalnya. Apesnya tak satupun proposal pengajuan kreditnya
diterima. Dia frustasi. Kesabarannya mentok. Dia lego semua asset usahanya,
laku seratus juta rupiah. Uang hasil penjualan itu habis dalam waktu sebulan,
tak bersisa. Bahkan untuk sekedar membeli rokok pun dia tak punya.
Dia lantas banting setir ke
usaha berjualan sayur keliling. Untungnya tipis, katanya. Belum lagi dia
bermusuhan dengan ibu-ibu langganannya karena persoalan tunggakan utang. Bubar.
Berjualan mie ayam keliling lantas dia jalani. Itu pun tak bertahan lama.
Takdir melabuhkannya ke profesi baru, sopir pribadi selama beberapa tahun untuk
kemudian menjadi sopir taksi ini sejak tiga bulan yang lalu.
Dia bercerita, bulan pertama
jadi sopir taksi, sudah mendapat bonus penuh karena omsetnya bagus.
"Apa resep Bapak melayani
penumpang?"
"Saya berusaha melayani
sepenuh hati mas."
"Maksudnya gimana,
Pak?"
"Saya tak pernah menolak
penumpang. Pernah suatu hari ada penumpang naik dari stasiun Gambir tujuan RRI.
Deket banget kan Om. Apa dinyana, saya diberi lima puluh ribu rupiah, padahal
argo saya baru delapan ribu rupiah."
Saya manggut-manggut.
Sejujurnya saya tidak selalu mendapat perlakuan yang baik dari sopir taksi.
Saya sering ditolak karena jarak tempuh saya terlalu dekat.
"Tempo hari saya juga
dapet penumpang ibu-ibu, Om. Dia naik dari perempatan Pancoran, tujuan ke
SMESCO. Bawaannya buanyak banget, kompos gas segala. Rupanya dia jualan di
kantin itu. Saya bantuin naikin barangnya, eh pas turun saya disuruh mampir
kantinnya, disuguhi kopi dan dikasih ongkos lima puluh ribu, padahal argonya
belum berubah."
"Wah, hebat sampeyan,
Pak."
"Ah, enggak Om. Saya hanya
berusaha sebisanya."
Terminal 1C sudah di depan mata.
Secuil obrolan itu begitu mengena di hati saya. Apa yang pasti? Tak ada. Tapi
apa yang bisa terlampaui? Semua bisa, memang tak mudah, tapi semua mungkin
untuk dilakukan.
Terminal 1C Bandara Soetta, 30
September 2013.
No comments:
Post a Comment