Saturday, November 2, 2013

Etika Memotret; Memang Ada?


Posting seseorang di Group Facebook DOF siang itu menyentak perasaan saya. Dalam foto yang diunggah tersebut tampak 4 orang fotografer dengan berbagai gesture sedang memotret detik-detik pengibaran bendera pusaka di upacara Hari Oeang tanggal 30 Oktober 2013. Di caption-nya itu pengunggah mempertanyakan sikap dan perilaku fotografer yang dinilai tidak etis dengan gesture dan penempatan diri tersebut. Saya menghela nafas panjang. Hanya sebuah kebetulan saja bukan saya yang terekam di foto itu. Oleh karena suatu tuntutan pekerjaan lain, hari itu saya tidak bertugas memotret upacara Hari Oeang. Arief lah yang bertugas di sana. Sosoknya langsung saya kenali di antara ke empat fotografer itu.
 
Kedatangan Nopember 2013 menggenapkan usia bertugas saya di Direktorat P2Humas menjadi 8 tahun. Enam tahunnya saya habiskan untuk menjalani tugas sebagai seorang fotografer “resmi”. Perjalanan itu mengajarkan saya banyak hal; mulai dari teknik memotret; manajemen acara; protokoler acara; sampai hal-hal kecil yang mungkin terlewat oleh mata kebanyakan.

Satu Foto Seribu Kata
Siang itu saya sedang asyik berdiskusi dengan teman mengenai detil sebuah rencana kerja. Kami berdiskusi di sofa ruang tamu kantor sembari mengerubungi laptop. Tiba-tiba Wahyu, teman seruangan, memanggil saya,

“Mas Slamet ada telepon dari KPP. Jambi.”
Saya segera beranjak menuju pesawat telepon yang terletak di meja Wahyu itu.
“Halo, Pak. Ini Slamet. Ada yang bisa saya bantu?”
“Iya mas Slamet. Saya Kasubag TU KPP. Jambi. Gini Mas.. Saya butuh foto kegiatan peresmian  gedung KPP. Jambi tahun lalu, Pak.”
“Oh... boleh Pak. Nanti saya email. Kalo boleh tahu kira-kira buat apa ya, Pak?”
“Gini, Mas. Kami lagi diperiksa Itjend. Mereka memerlukan bukti pendukung pengadaan acara tersebut. Kebetulan fotografer kami tidak memotret detil panggung tempat acara berlangsung.”

Seusai menuntaskan percakapan tersebut, saya segera membuka-buka file foto di komputer. Tidak terlalu susah menemukan foto dimaksud. Saya menamai folder foto sesuai nama kegiatan. Foto itu terletak di Folder Kegiatan Dirjen Pajak/Peresmian KPP Jambi. Saya memilih beebrpa foto yang bisa menggambarkan keseluruan acara tersebut. Wide shoot gedung KPP Jambi dari depan gerbang, panggung tempat acara berlangsung dan detil beberapa sudut panggung. Beres, sesederhana itu.

Adalah Adianto Legowo yang mengajarkan saya tentang hal ini. Kepala Sub Bagian Protokoler KPDJP ini senantiasa mewanti-wanti saya agar memotret semua elemen kelengkapan acara tanpa pandang bulu. Mulai dari panggung, kursi, hiasan bunga, booth katering, sound system sampai dengan standing AC yang disewa dari pihak ketiga. Tujuannya cuma satu, membuktikan secara visual bahwa proses pengadaan barang dan jasa itu benar-benar ada dan sesuai dengan yang dilaporkan.

Beberapa buah file foto yang saya kirim ke KPP. Jambi tadi semoga bisa mewakili ribuan kata tentang acara tersebut.

Salah Kostum di Istana Wapres

Order ini bersifat pribadi, di luar status saya sebagai PNS. Memotret kegiatan Persatuan Istri Legiun Veteran RI ketika sedang beranjangsana ke Wapres Jusuf Kalla. Kegiatannya jatuh pada hari kerja. Saya terpaksa minta ijin ke atasan menggunakan jam kantor untuk kegiatan pribadi. Atasan saya mengijinkan dengan syarat absen tidak boleh dilakukan alias saya akan terkena potongan tunjangan. Saya setuju. Bagi saya ini hal yang fair.

Sang pemberi order berpesan kepada saya agar saya mengenakan pakaian sipil lengkap. Saya iyakan. Kapan lagi kesempatan bertemu Wapres di istananya dengan mengenakan jas dan dasi. Keren, pikir saya.

Hari yang ditentukan telah tiba. Acara akan dimulai pukul 09.30 WIB, Saya diminta sudah siap sedia di sana sejam sebelumnya. Dengan langkah mantap saya memasuki gerbang belakang Istana Wapres. Sederet pemeriksaan menghadang saya. Mulai dari pemeriksaan mobil, barang bawaan dan pemeriksaan tubuh. Lancar, tak ada halangan berarti. Sejam menunggu membuat saya bosan. Tak ada sesuatupun yang bisa saya lakukan. Saya duduk sembari ngobrol dengan anggota Paspampres di depan ruang pertemuan. Saya meminta ijin untuk melongok ke dalam ruangan yang masih tertutup itu. Syukurlah serdadu itu mengijinkan saya. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengenali medan.

Pukul 09.00 WIB rombongan ibu-ibu, tepatnya nenek-nenek itu datang. Mereka datang serentak menggunakan bus sedang. Mereka mengenakan seragam kebaya berwarna oranye. Saya sejenak tercenung, ini adalah sebuah organisasi yang anggotanya kian menyusut, bukan bertambah. Betapa tidak, anggota LVRI adalah eks Legiun yang rata-rata sudah berusia senja. Tak lama lagi mereka akan tutup usia. Demikian juga dengan istrinya. Tak akan ada regenerasi kecuali Indonesia dilanda perang dan ada pembentukan LVRI lagi.

Saya segera menempatkan diri di sisi kiri podium. Ratusan anggota Piveri duduk di kursi menghadap podium. Di samping saya telah bergabung 2 orang fotografer dan kamerawan Istana Wapres. Kami saling bertegur sapa dan berkenalan.

Tak berapa lama, tepat pukul 09.30 WIB, Jusuf Kalla memasuki ruangan dari pintu belakang. Beliau mengenakan kemeja warna putih tanpa dasi dan celana hitam. Demikian juga dengan staf protokolernya. Saya baru sadar, satu-satunya orang yang mengenakan jas berdasi di ruangan ini hanya saya sendiri.

Digelandang ke Kantor Biro Pers Istana Negara

Hajatan Rapat Pimpinan Gabungan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai ini amat melelahkan. Apa pasalnya? Acaranya akan dilangsungkan di Istana Negara. Kami sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Puluhan rapat digelar, melibatkan pihak internal Kementerian Keuangan dan Sekretariat Negara. Saya diundang untuk mengikuti salah satu sesi rapat. Rapat itu membahas alur acara termasuk pendokumentasiannya. Saya bersama 3 orang fotografer dari Kementerian Keuangan dan Ditjen Bea dan Cukai diberi tugas mengabadikan acara tersebut. Arahannya jelas, kostum baju putih berdasi dan celana hitam. Surat Tugas untuk kami berempat dibikin khusus. Istana memang sensitif terhadap keberadaan fotografer dan kamerawan.

Hari H akhirnya tiba. Acara akan dimulai pukul 10.00 WIB. Saya tiba paling awal dibanding 3 teman itu. Saya langsung menuju ruang Upacara, salah satu ruangan di Istana Negara, tempat acara itu akan dilangsungkan. Di dalam ruangan tampak puluhan anggota Paspampres dan Staff Rumah Tangga Kepresidenan sedang sibuk menyiapkan segalanya. Mereka bekerja dengan mulut terkunci, tatapan tajam dan gerakan gesit. Saya mendekat ke salah satu anggota Paspampres. Saya tunjukkan name tag kepanitian saya kepadanya sembara meminta arahan tentang sudut pemotretan. Pengawal itu bilang, silakan saja, yang penting tidak mengganggu kekhidmatan acara dan tidak keluar dari blok yang sudah khusus disiapkan buat fotografer dan kamerawan. Blok itu dibatasi dengan garis merah.

Beberapa teman panitia dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai juga sudah hadir di sini. Kesempatan ini mereka gunakan untuk memperdaya saya. Mereka minta di foto dengan berbagai gaya di bawah lukisan para presiden yang pernah dan sedang memimpin negeri ini. Saya layani sepuasnya. Saya paham, ini kesempatan langka buat mereka. Pun bagi saya, ini juga kesempatan langka. Kapan lagi bisa memotret di dalam Istana Negara, pikir saya.

Ketika sedang asyik memotret teman-teman, saya dikejutkan oleh sentuhan ringan di bahu saya. Seorang wanita berparas manis berambut pendek sudah berdiri di belakang saya. Ekspres wajahnya lurus, tanpa senyum.

“Bapak dari mana?”
“Saya Slamet Rianto, dari Ditjen Pajak, Mbak.”
“Boleh lihat pengenal Bapak?”
“Oh ini silakan..”

Saya menunjukkan tanda pengenal kepanitiaan yang sudah ditera dengan stempel Paspampres. Tanpa tanda pengenal ini jangan harap bisa lolos dari pos pemeriksaan Istana Negara. Di situ tertera nama lengkap dan jabatan saya di kepanitiaan.

“Oh, bukan ini yang saya maksud, Pak. Tanda pengenal dari Biro Pers Istana.”
“Wah, saya nggak punya tu, Mbak.”
“Tanpa itu Bapak tidak boleh memotret di sini.”
“Waduh, lalu gimana, Mbak?”
“Silahkan Bapak ikut saya ke kantor. Kita urus di sana. Kita lihat apakah memang Bapak terdaftar sebagai fotografer resmi dari kantor Bapak.”

 Di perjalanan ke kantor Biro Pers saya diam membisu. Pikiran saya kalut. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika saya ternyata tidak dibolehkan memotret acara ini.

Ruangan itu terletak di lantai dasar gedung eks Bina Graha. Saya dihadapkan pada seorang pria paruh baya berkaca mata.

“Silahkan duduk. Mana surat tugas Bapak?”
“Surat tugas apa ya, Pak?”
“Surat tugas yang menugaskan Bapak memotret acara ini. Saya sudah tekankan itu ke pihak Bapak. Tanpa itu Bapak tidak boleh memotret di sini.”
“Tapi kata Paspampres tadi saya boleh motret, Pak. Saya sudah menunjukkan tanda pengenal ini kepadanya.”
“Urusan potret memotret adalah kewenangan kami, bukan Paspampres.”

Saya melongo.

“Jadi Bapak tidak punya surat tugas itu?”
“Sebentar ya Pak. Saya telepon atasan saya. Beliau yang mengurus hal itu.”

Saya segera menelepon atasan saya. Dia berada di ruangan Upacara.

“Met, kamu dimana? Ini acaranya sudah mau dimulai. Peserta sudah masuk.”
“Ini Bu, saya dilarang memotret oleh Biro Pers.”
“Lho kenapa memangnya?”
“Saya nggak pegang surat tugas, Bu.”
“Ah.. Mana coba aku ngomong sama yang nglarang kamu.”

Telepon segera saya sodorkan ke pria di depan saya itu.

“Pak, ini atasan saya mau bicara sama Bapak.”
“Ya, Bu. Ini anak buah Ibu nggak boleh motret karena nggak punya surat tugas.”
“Oh...begitu Bu. Baik coba saya cari sebentar.”

Pria itu lantas mengembalikan telepon ke saya. Dia lantas sibuk mengaduk-aduk tumpukan berkas di mejanya. Sejumput map dia buka. Ekspresinya berubah ramah.

“Ini pak Slamet. Surat tugas sampeyan ternyata sudah ada di meja saya. Silahkan segera kembali ke ruang Upacara. Jangan lupa tanda pengenal itu diganti dengan yang ini.”

Pria itu menyodorkan tanda pengenal kepada saya. Biro Di bagian atasnya tertera tulisan Biro Pers Istana, lengkap dengan nama lengkap dan jabatan saya di bagian bawahnya.

Dengan langkah jumawa saya menuju ke ruangan Upacara. Kini tak satupun orang bisa melarang saya.

Pejabat Eselon Dua pun Nurut Dengan Saya

Sub judul itu pasti mengesankan selarik kesombongan saya. Namun tunggu dulu. Silakan menilainya setelah membaca seluruh sub tema ini.

Penerimaan SPT Tahunan Presiden dan Pejabat Tinggi Negara di Kantor Pusat Ditjen Pajak tahun 2011. Hajat seremonial tahunan ini selalu penuh hiruk pikuk dan melelahkan. Persiapannya menyedot energi dan melibatkan banyak pihak. Syukurlah dari tahun ke tahun tugas saya itu-itu saya. Saya bahkan terbiasa memotret sendirian, tidak merasa butuh bantuan teman. Kalaupun butuh bantuan, maka dia saya posisikan sebagai kamerawan, bukan fotografer. Saya sudah hafal di luar kepala alur acaranya. Ini adalah kali ke lima saya memotret acara yang sama di tempat yang sama.

Yang sedikit membedakannya adalah sejak tahun lalu penerimaan SPT Presiden tidak di Gedung B lagi, tetapi berpindah ke Gedung Utama KPDJP. Hal ini seiring dengan kepindahan Kantor Pusat Ditjen Pajak ke gedung ini.

Acara hari itu dijadwalkan pukul 11.00 WIB. Saya menenteng dua body kamera, satu saya pasangi lensa vario sudut lebar, satunya saya pasangi lensa telephoto 70-200 mm. Pertimbangan saya adalah kesendirian saya. Ada satu lagi fotografer yang membantu saya. Kami berbagi tugas. Saya bertugas di area lobi gedung sampai dengan ruang tunggu VIP, sementara dia bertugas di dalam Auditorium lantai 2 tempat acara berlangsung. Kondisi ini meringankan beban saya. Saya tidak perlu wira-wiri naik turun gedung.

Pukul 09.30 WIB saya sudah siap sedia di depan lobi gedung Utama KPDJP. Bagi saya urusan waktu adalah hal krusial. Tidak boleh ada kata terlambat bagi seorang fotografer. Jika perlu urusan ke belakang pun harus ditunda dulu ketika momentum itu sedemikian penting.

Tetamu mulai tiba. Dimulai dari para pejabat Pemda DKI, Kodam Jaya dan Polda Metro Jaya. Urutannya bisa ditebak. Pejabat yang level jabatannya lebih rendah tiba lebih dulu dibanding yang level jabatannya lebih tinggi.

Di teras lobi telah siap sedia pula beberapa pejabat Eselon II KPDJP. Di antaranya adalah Sekretaris Ditjen Pajak dan beberapa Direktur. Mereka berdiri berjajar menyambut para tamu. Momentum bersalaman adalah hal yang tidak boleh saya lewatkan. Kamera sudah saya set ke mode Manual Exposure agar pencahayaan obyek terkunci pada titik tertentu sehingga tidak terpengaruh oleh metering kamera. Flash saya set ke GN kecil saja untuk mem-fill in obyek. Flash gun itu saya arahkan frontal ke depan, sejajar dengan arah bidikan saya. Sebenarnya saya enggan melakukan hal itu. Saya lebih suka mem-bounce flash gun. Bagi saya siraman sinar lampu flash ke wajah orang itu membuat orang tersebut tidak nyaman. Namun saat itu kondisinya tidak memungkinkan bagi saya untuk mem-bounce flash. Plafon teras lobi gedung ini teramat tinggi. Tak akan berdaya kekuatan lampu flash ini menjangkaunya.

Tiba-tiba saya dihadapkan pada posisi sulit. Tetamu yang tiba sudah mencapai level menteri dan pejabat negara. Jajaran pejabat Eselon II rupanya sudah tidak serapi tadi. Masing-masing pejabat mencari posisi yang nyaman buat mereka sendiri. Ada yang berdiri di samping kanan saya ada pula yang berdiri di samping kiri saya. Posisi berdiri saya adalah di tengah-tengah teras lobi. Ketika tamu turun dari mobil mereka langsung disambut oleh pejabat yang berdiri di sebelah kanan saya. Tamu itu langsung diarahkan oleh usher ke dalam lobi tanpa sempat bersalaman dengan pejabat yang berada di sebelah kiri saya. Saya kalut dengan kondisi ini. Pejabat yang berdiri di sebelah kiri saya di antaranya adalah Sesditjen Pajak. Dia orang yang sangat sensitif dengan harga diri. Saya berhitung dengan resiko. Jika dia tidak terpotret, pasti akan marah kepada saya. Tanpa pikir panjang saya segera mendekat kepadanya.

“Mohon maaf, Pak. Bapak lebih pas berdiri di sebelah kanan saya, biar saya bisa motret Bapak ketika salaman sama mentri.”
“Oh gitu ya Met.Sip.. sip, aku pindah ke situ ya.”
“Siap, Pak. Terima kasih.”

Saya lega. Pekerjaan yang tadinya sulit sekarang terasa mudah. Saya juga tidak perlu kawatir mendapat dampratannya karena dirinya tidak terfoto ketika sedang bersalaman dengan petinggi republik ini.

Saya belajar dari Mbak Widi tentang pola komunikasi. Mbakyu saya yang sekarang sudah beralih profesi menjadi widyaiswara di BPPK itu menngajarkan saya satu hal; kunci komunikasi itu hanya ada pada 4 kata, permisi, mohon maaf, silakan, dan terima kasih. Hari itu saya diselamatkan olehnya.

Salah Sangka versi Saya

Saya sedang menunaikan hajat kecil ketika telepon seluler saya berdering. Ajudan Dirjen menelepon saya. Dia sedang berada di ruang makan bersama Dirjen.
“Siap, lagi di toilet.”
“Cepetan... dipanggil bapak.”
“Okay.... kamera udah siap kok.”
“Bukan disuruh motret, Bro... disuruh makan.”

Jleb.... lempar kamera.

=====================

Saya sedang makan di ruang makan biasa di sebuah resto sea food. Dirjen beserta beberapa pejabat Kanwil DJP Kalimantan Barat makan di ruang VIP. Tiba-tiba ajudan melambaikan tangan ke saya. Saya sontak menyambar kamera yang saya letakkan di antara jajaran lauk di meja makan ini.

“Nggak usah bawa kamera. Bapak nggak minta di foto.”

Jleb... kepala ikan kakap itu terlelan dan nyangkut di leher saya.

=====================



Saya beserta teman-teman dari KPP. Pratama Magelang duduk agak jauh dari meja makan Dirjen. Malam itu acara pemberian kuliah umum di Balai Diklat Keuangan Magelang baru saja usai. Esok hari masih ada acara di Aula Balai Diklat Magelang.

                   “Eh... ada Slamet, to?” tiba-tiba Dirjen menyebut nama saya dari seberang sana.
“Siap, Pak.” Dasar Dirjen, lha wong sudah seharian menguntitnya, masak baru sekarang keberadaan saya dikenali.
“Mana kameramu?”
“Siap, Pak. Ada.”
Saya berjalan mendekat kepadanya sembari menenteng kamera.
“Sudah...malam ini nggak usah motret aku. Kita ngopi-ngopi aja.”

Jleb.... pisang goreng sepiring itu saya bungkus, bawa ke kamar.

=====================

Saya sedang berada di sebuah lantai di Gedung Bank Indonesia. Kamera saya geletakkan di kursi samping saya. Tiba-tiba direktur saya menghampiri.

“Met, temenin ibu ke bawah, njemput Dirjen.”
“Siap, Bu.”

Saya menguntit di belakangnya. Kamera tak saya bawa, toh acaranya di atas sini.

“Mana kameramu? Ngapain ikut saya kalo nggak bawa kamera...”

Jleb.... pintu lift itu saya tendang.

=====================

“Mas... segera turun ke lantai 5. Ada rapat yang harus dipoto,” ujar Direktur saya di ujung telepon.

Saya bergegas turun, menenteng kamera, siap tembak. Ruangan rapat itu tertutup rapat. Saya langsung nyelonong ke dalamnya. Puluhan pasang mata menatap aneh kehadiran saya. Dirjen duduk di ujung meja rapat, tak kalah aneh tatapan matanya. Di seberang pintu tempat saya berdiri, Direktur saya memberi isyarat mengusir saya. Rupanya ini rapat internal yang tidak boleh diliput.

Jleb.... lempar kamera ke meja rapat.

=====================

Kampung Makasar, 2 Nopember 2013.

2 comments:

Langit said...

sepertinya bapak sudah jatuh cinta sedemikian rupa pada kamera, saya juga sering ditunjuk sebagai seksi dokumentasi untuk acara kantor (karena saya suka moto) namun ketika 'moto' itu berupa perintah, kadang saya jadi enggan. mohon saran supaya saya bisa legowo mengabadikan semua momen acara di kantor. hehehe..

Masla said...

Terima kasih pujiannya, mas Langit.. Tentang perintah, tak hanya menyangkut fotografi liputan saja, tetapi juga hal lain, saya menerimanya sebagai titah kodrati yg tak bisa saya elakkan. Saya tidak pernah melirik opsi menolak perintah sehingga alhamdulillah keengganan itu tidak pernah muncul dalam benak saya., hehe.. Anggap saja hal h itu ajang untuk berlatih mengasah insting dan kemampuan, mas.... Salam..