Oase
itu terletak di ujung jalan Malabar. Sekelompok pedagang kaki lima
berjualan di sana. Yang mepet dengan jalan Pajajaran adalah penjaja makanan dan
minuman ringan. Sebelah kanannya adalah penjual mie ayam disusul oleh penjual
sate Madura. Mereka berdiam di bawah kerindangan pepohonan yang terpelihara
dengan apik. Sore itu Bogor menyajikan keromantisan. Cuaca teduh, hawa sejuk,
jalanan mulus terhampar. Bogor memang menyajikan sesuatu yang berbeda
Pria
penjual makanan dan minuman ringan itu berusia 45 tahun. Kehidupannya dijalani
di sudut jalan ini. Berjualan sudah dia lakoni sejak tahun 1992, jauh sebelum
krisis moneter melanda negeri ini. Dia kelahiran Darmaga, sebuah daerah
berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota ini. Raut wajahnya ceria. Ketika
saya bertandang kepadanya tadi siang untuk memuaskan dahaga, dia menyambut saya
dengan senyum luar biasa. Kali ini tujuan kedatangan saya berbeda.
“Ngopi
lagi, Ak?” sambutnya.
“Nggak,
Pak. Yang lain aja. Pulpy juga boleh,” ujar saya.
Sejurus
kemudian minuman dalam kemasan itu tersaji di depan saya. Kepadanya saya ajukan
pertanyaan sederhana, “Bapak bayar pajak?”
“Pajak
apa nih, Ak?”
Lalu
secara umum saya jelaskan maksud pertanyaan saya. Jawaban darinya sungguh tak
terkira.
“Pasti, Ak. Saya tidak
pernah telat bayar PBB dan pajak motor saya.”
Tingkat
kepatuhan Wajib Pajak secara nasional tahun 2012 masih amat rendah. Tengoklah
angka-angka berikut ini. Jumlah orang pribadi yang penghasilannya lebih dari Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) sebanyak 60 juta orang. Dari jumlah tersebut yang
terdaftar sebagai Wajib Pajak hanya sebanyak 20 juta. Ke dua puluh juta orang
tersebut tidak semuanya membayar pajak. Data di Direktorat Jenderal Pajak
menyebutkan bahwa jumlah pembayar pajak hanya sebanyak 8,8 juta, atau 14,7
persen.
Jumlah
perusahaan yang terdaftar di Kemenkeumham sebanyak 5 juta. Dari jumlah tersebut
yang terdaftar sebagai Wajib Pajak hanya sebanyak 1,9 juta. Berdasarkan data
Ditjen Pajak pada tahun 2012 jumlah pembayar pajak sektor badan usaha sebanyak
520 ribu atau 10,4 persen.
Data
di atas menggambarkan betapa kecil tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia.
Sebagai pembanding, tingkat kepatuhan Wajib Pajak Malaysia adalah 80 persen.
Lalu
apa penyebab rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak Indonesia. Secara umum
belum terbangun trust dari masyarakat atas kegunaan uang
pajak yang mereka bayarkan. Tindak pidana korupsi menghantui mereka. Selain itu
masyarakat juga belum sadar akan kegunaan uang pajak yang mereka bayarkan.
Mereka tidak menyadari bahwa jalan, jembatan, subsidi pendidikan, subsidi
energi, dan banyak lagi subsidi yang mereka nikmati berasal dari uang pajak
yang mereka bayar sendiri.
Sosialisasi
pajak masih harus ditingkatkan.
“Saya tidak pernah
disuluh pajak, Ak”, ujar Pak Karsa, penjual makanan dan minuman itu.
“Hanya nurani yang
membuat saya mau bayar pajak,” pungkas pria beranak dua ini.
Sembari
menikmati mie ayam dari warung sebelah saya punya keyakinan masih banyak pria
bernurani seperti Pak Karsa. Dari sudut jalan Malabar harapan itu terang
terbentang.
No comments:
Post a Comment