Sunday, December 22, 2013

Saya Pelaksana yang Punya Anak Buah

Kantor saya mendadak geger sore itu. Bukan oleh apa-apa tapi oleh secarik surat rahasia. Isinya sederet nama, tiga di antaranya teman seruangan saya. Mereka tidak sedang dihukum, juga tidak sedang berperkara. Mutasi ke unit kerja lainnya, itu saja.
Gegeran memang selalu melanda setiap ada mutasi, tanpa memandang level jabatan. Bahkan mutasi office boy dan cleaning service saja mampu mengoyak ketenangan kantor saya. Apa pasalnya? Kenapa mutasi yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan karir seorang PNS Ditjen Pajak selalu menjadi isu panas? Hal ini tak lepas dari sejarah dan milestone Ditjen Pajak sendiri.
Dahulu kala, kami sering menyebutnya dengan istilah jaman jahiliyah, mutasi selalu dikaitkan dengan posisi kantor atau jabatan. Hal ini bisa dimaklumi karena seperti istilah di ujian, posisi menentukan prestasi. Kala itu ada istilah seksi basah dan seksi kering. Istilah itu untuk menggambarkan potensi penghasilan sampingan di luar penghasilan resmi sebagai PNS. Tak dapat dipungkiri, Ditjen Pajak adalah sebuah instansi pemerintah yang berurusan dengan uang dalam jumlah besar. Tugasnya memang mengumpulkan duit buat negara. Banyak potensi kecurangan di sana dan celakanya sebagian petugas pajak menjadikannya ajang mencari rejeki tambahan. Maka kala itu mutasi adalah sebuah komiditi dagang. Sang pemilik ambisi akan berupaya dengan segala cara agar mendapatkan posisi basah. Ujung-ujungnya bisa ditebak, mutasi melibatkan transaksi uang. Kinerja dan kualitas pegawai dinomor sekiankan. Anda pintar cari uang dan punya modal untuk membayar harga, silahkan duduki posisi itu. Senaif itu.
Kini jaman telah berubah. Ditjen Pajak telah berevolusi menjadi institusi pemerintah yang bersih dari praktik korupsi. Tidak ada lagi istilah seksi basah dan seksi kering karena kami telah dipagari dengan kode etik dan pengawasan yang ketat. Dimanapun tempat dan posisi kami relatif memberi tingkat penghasilan yang sama. Tak ada lagi kasak kusuk transaksi uang di hajatan mutasi. Lalu kenapa mutasi masih menjadi barang yang seksi dan memicu kericuhan?
Ada beberapa penyebab kenapa hal itu bisa terjadi. Sudut pandangnya pun berbeda-beda. Pertama sekali adalah sifat dasar manusia yang menyukai zona kenyamanan (comfort zone). Contohnya saya sendiri. Pertengahan 2010 saya dimutasikan dari seksi Pemutakhiran Tax Knowledge Base di Subdit Pelayanan ke Seksi Hubungan Eksternal di Subdit Hubungan Masyarakat. Saya kalut. Bagi saya ini adalah sebuah malapetaka. Terbayang pekerjaan di tempat baru tersebut akan berbeda dengan pekerjaan lama saya. Pun juga dengan rekan-rekan kerjanya. Benak saya dipenuhi syak wasangka. Dalam pandangan saya, rekan-rekan Subdit Humas itu manusia yang tidak pernah bergaul dengan rekan lain di luar Subditnya. Mereka asyik dengan dunianya sendiri. Ihh.. Nggak gue banget deh. Demikian isi kepala saya ketika itu.
Faktor penyebab ke dua adalah jarak dengan keluarga. Ditjen Pajak ini kantornya tersebar dari Sabang sampai Merauke dan Tahuna sampai Bajawa. Banyak kantor kami yang berlokasi di daerah terpencil yang amat jauh dari bandar udara atau akses transportasi publik lainnya. Belum lagi ongkos yang harua dikeluarkan ketika akan menengok keluarga. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan dari tempat tugas ke tempat tinggal. Dahulu ketika bertugas di KPP Baturaja, saya hanya bisa pulang setahun dua kali. Selain karena saya tidak punya cukup biaya, jarak dari Baturaja ke Wonogiri amat jauh. Perlu waktu dua hari dua malam untuk satu kali perjalan pulang, belum kembalinya. Syukurlah saya mendapatkan jodoh di sana sehingga ritual mudik yang dirindukan namun berbiaya mahal itu sedikit tereduksi karena saya sudah punya keluarga sendiri. Saya memahami kegalauan hati rekan-rekan yang sekarang tengah terpisah dengan keluarga. Delapan belas tahun silam saya juga mengalami hal itu.
Lalu faktor penyebab ke tiga adalah ketidakpastian jangka waktu bertugas di suatu kantor. Desember 1995 saya mulai bertugas di KPP Baturaja berbekal ijazah D3 Pajak. Ketika masa kerja saya menginjak tahun ke tiga, pikiran saya mulai dihantui pertanyaan, sampai kapan saya harus bertugas di sini? Akankah selamanya atau hanya sementara? Pertanyaan itu tak ada yang bisa menjawabnya. Atasan saya hanya menyuruh saya bersabar. Rekan seangkatan saya, Ragil, juga mengalami hal yang sama dengan saya, galau dan risau. Sistem mutasi di institusi saya memang masih sangat perlu perbaikan. Saya pernah mendengar ada seorang pegawai asal Jawa yang pernah bertugas di tanah Papua selama lebih dari 15 tahun. Selama itu tak ada yang peduli dengan nasibnua, sampai suatu hari hal itu diketahui oleh sang Dirjen. Sontak Dirjen marah. Dia segera menginstruksikan bawahannya untuk segera memindahkan pegawai yang bersangkutan dari Papua ke Jawa. Saya yakin hingga kini masih banyak rekan-rekan saya yang mengalami hal serupa; terjebak dalam penempatan di suatu daerah yang jauh dari keluarga tanpa ada kepastian kapan dia akan dipindahkan ke daerah asal (home base).
Perasaan terbuang dari kantor lama juga menjadikan mutasi sebagai momok bagi siapapun. Saya sempat diusulkan untuk dimutasikan dari kantor saya yang sekarang ke suatu KPP. Hal pertama yang terpikir oleh saya waktu itu adalah saya dibuang. Saya tidak dibutuhkan lagi di sini. Saya tidak kompeten di sini. Saya dibenci makanya saya dipindah. Perasaan tersebut muncul karena kriteria mutasi tidak dapat diukur dengan parameter apapun. Paling mudah tolok ukurnya adalah masa kerja di suatu kantor, tapi hal itu sering terpatahkan. Ada pegawai yang sudah puluhan tahun berdiam di satu kantor tidak pernah kena mutasi, tapi ada pula yang baru sebentar sudah dipindah lagi. Mutasi memang menyimpan segudang misteri.
Ditinjau dari sudut atasan, mutasi adalah sebuah ajang pencarian bakat. Jika jaman dulu kriteria anak buah yang disukai adalah yang pandai mencari rejeki tambahan, maka semenjak reformasi kriteria tersebut berubah. Seiring dengan hilangnya potensi rejeki tambahan, kini atasan menetapkan kriteria yang lebih adil, meski kadang dibayangi kesubyektifan yang amat dominan. Lagi-lagi saya mencontohkan diri saya sendiri. Meskipun saya ini hanya pelaksana yang secara struktural tidak punya anak buah, namun secara de facto saya punya anak buah. Sebetulnya dia bukan anak buah saya dalam artian yang sebenarnya. Dia adalah rekan kerja yang punya tugas sama dengan saya, dokumentasi kegiatan pimpinan Ditjen Pajak. Keberadaannya memang atas rekomendasi saya. Ketika itu saya merasa butuh bantuan orang lain mengingat beban pekerjaan yang kian berat. Direktur memerintahkan saya mengajukan nama untuk menjadi rekan kerja saya. Kriteria pertama yang saya syaratkan adalaj dia harus bisa bekerja sama dengan saya dan harus patuh dengan saya. Kemampuan menjadi nomor sekian karena saya yakin tingkat kecerdasan pegawai Ditjen Pajak tidak perlu diragukan lagi. Apalagi hanya urusan foto memfoto, apa susahnya. Persyaratan ini ternyata memunculkan kesulitan bagi saya. Audisi yang saya lakukan secara virtual di benak saya tidak menemukan banyak calon pemenang. Hati saya dipenuhi egoisme. Hal buruk yang mendominasi pikiran saya adalah bahwa dia harus nurut dan tidak akan mengudeta saya. Satu bulan berlalu dan saya hanya menemukan satu nama.
Demikianlah akhirnya. Hajatan besar bernama mutasi pasti tetap akan menjadi biang kegegeran sepanjang hal-hal tersebut masih ada. Untuk organisasi sebesar Ditjen Pajak, menurut saya sudah waktunya melakukan pembenahan secara sungguh-sungguh terhadap hal ini. Saya tidak mengatakan hal ini mudah dilakukan, tapi saya punya keyakinan bahwa Ditjen Pajak harusnya mampu melakukannya. Dasar pikiran saya adalah bahwa hanya urusan mutasi lah Ditjen Pajak bisa mandiri, bebas dari ketergantungan institusi lain. Tidak seperti urusan rekruitmen pegawai, anggaran belanja, dan sebagainya.
Ketika hal ini masih juga terjadi, saya hanya menegakkan keyakinan pada diri saya sendiri. Ketika suatu hari nanti saya harus hengkang dari sini, dimutasikan ke tempat lain, maka hal itu terjadi karena organisasi membutuhkan saya, bukan karena sebab lain.
Sekian.
Kampung Makasar, 22 Desember 2013.


2 comments:

gitawiryawan said...

Tulisan ini memotivasi saya, pak.. Hihihi. Seandainya ada tombol "like" di blog :D

Masla said...

Makasih mas Gita.. Tulisan sampeyan jauh lebih inspiratif mas....