Saya rada kecewa ketika panitia mengabarkan
bahwa akhirnya yang menjadi nara sumber Workshop Fotografi Jurnalistik Lanjutan
om Darwis Triadi. Bagi saya, nama besarnya tidak berada pada bidang fotografi
jurnalistik. Bagi saya, seorang Darwis Triadi hanyalah seorang fotografer model
wanita-wanita cantik. Bagi saya, seorang Darwis Triadi tak layak menggantikan
Arbain Rambey dan Oscar Motuloh, dua nama yang sempat saya hubungi tapi tak
bisa karena alasan waktu.
Ketika akhirnya pagi ini sosoknya sudah
muncul di hadapan kami, stigma itu masih saja melekat. Sejujurnya ini bukan
kali pertama saya bertemu dengannya secara langsung. Beberapa bulan lalu saya
bersua dengannya di sebuah acara di gunung Bromo. Saya malas menyapanya.
Menurut saya waktu itu, dia adalah sosok yang dingin, asyik dengan kamera mirrorless-nya, seperti kutu loncat yang
sibuk mencari sudut pemotretan, dan tak peduli dengan keberadaan orang lain.
Sungguh bukan tipe manusia yang saya
sukai.
Dia menggebrak pertemuan pagi ini dengan
satu kalimat, bahwa di era kamera digital ini fotografi harusnya bebas dari accident teknis. Quote yang menohok, karena dalam kiprah saya selama 10 tahun di
dunia fotografi tak mampu membebaskan saya dari serangkaian accident teknis. Dia lantas
mengumandangkan rentetan postulat. Bahwa fotografi itu seharusnya menjadi
kegiatan yang menyenangkan, tidak boleh dibikin rumit, apalagi berkutat di
masalah teknis. Lagi-lagi saya tertohok, skak mat. Bagi saya urusan teknis,
utamanya setting warna, adalah urusan krusial dan misterius. Lha dia ini kok
dengan enteng bilang begitu.
Dua layar yang disiapkan di kelas tak
segera menampilkan slide-slide yang menuntun saya lebih memahamii fotografi
jurnalistik. Dia malah sibuk berceloteh sesuatu yang menurut saya tak terlalu
ada hubungannya dengan tujuan workshop
ini. Sumber cahaya tunggal, pendekatan ke obyek, jangan risau dengan noise, cerita tentang pengalamannya,
adalah serangkaian materi yang menurut saya mulai membosankan. Oke lah, dia
memang kampium di bidang fotografi model, tapi saya masih bukti bahwa dia layak
jadi nara sumber di workshop ini.
Maka ketika dia mulai membuka sesi tanya
jawab, saya langsung mengangkat tangan. Inilah saatnya menguji kelayakan dan
kepantasannya. Saya menyanggah teori dia bahwa memotret manusia itu lebih bagus di area shade dan low light. Bagi saya, memotret manusia, terutama untuk tujuan keindahan
skin tone, harus melibatkan siraman
cahaya secara langsung, atau hasil foto akan mendem warnanya. Dia tak banyak menguraikan teori untuk menjawab
sanggahan saya tersebut. Jawabannya pun hanya singkat,
“Nanti mas Slamet hunting di sebelah saya,
ya. Saya tunjukkan bukti dari teori saya tadi.”
Devie, seorang kawan yang selama ini saya
anggap linuwih di bidang street
photography, nimbrung dengan sebuah pertanyaan menarik.
“Pak Darwis,bagaimana caranya memotret agar
pesan yang pengin kita sampaikan itu sampai ke pikiran pemirsa?”
Pertanyaan ini saya nilai menarik, karena
selama ini saya selalu berhasil menangkap pesan dalam fotonya. Jawaban
berikutnya mulai sedikit menggeser stigma saya ke om Darwis.
“Yakinlah dengan perasaanmu sendiri, karena
jika kamu tidak yakin, gimana orang lain bisa yakin?”
Saya rasa jawaban itu amat dalam maknanya. Selama
ini saya cenderung mengekor ide orang lain dan tidak percaya diri dengan ide
kreatif saya. Arbain Rambey pernah bilang bahwa kreatifitas adalah sebuah
penjiplakan yang tidak ketahuan. Itu pun tak cukup membuat saya mampu
menumbuhkan kepercayaan diri saya selama ini. Namun pernyataan om Darwis
barusan mampu menutup gerbang keminderan saya.
“Jadi Saudara-saudara, memotret adalah
menghubungkan mata Anda dengan hati anda. Kamera anda itu benda bodoh yang
kepintarannya tergantung dua indera Anda itu.”
Lagi-lagi saya terdiam. Selama ini saya
mendewakan benda mahal berwarna hitam pekat ini. Mendengar pernyataannya
barusan, saya sebetulnya terpancing untuk bertanya lebih jauh. Namun seorang
teman lebih dahulu mengangkat tangannya.
“Apa maksud pernyataan itu, Pak?”
“Gampang, ketika air liur Anda meleleh
ketika melihat rujak di siang hari, maka itulah tandanya terjadi kontak antara mata
dan hati Anda.”
Jreng.... sebuah analogi yang menurut saya
sangat mudah dicerna siapapun.
“Itulah kenapa saya tadi bilang, jangan
berkutat ke urusan teknis foto. Kedepankan rasa Anda. Maka ketika rasa itu sudah
mendominasi, publik akan maklum dengan foto Anda yang under maupun over.
Sesederhana itu.”
Saya lantas teringat dengan diskusi panjang
lebar dengan mas Gathot Subroto. Kakak kelas saya ini memang pendiriannya kuat.
Dia juga bilang hal yang sama, rasa, rasa, dan rasa. Semula saya menolak dogma
rasa itu. Bagi saya, foto itu bahasa visual yang sarat unsur teknis, bukan
rasa.
“Nanti kita akan sama-sama hunting ke jalan
Malioboro. Pesan saya cuma satu, manusiakan obyek foto Anda. Memang benar,
separuh dari jiwa kita adalah pencuri, tapi tetap kedepankan rasa kemanusiaan
Anda, kecuali Anda mau motret cicak.”
Sore itu Yogyakarta usai disiram hujan ringan. Halaman hotel Inna Garuda masih tergenangi air di beberapa bagian. Kami
ber dua puluh bak robongan bebek yang mengekor sang penggembala. Jalan
Malioboro ini bak medan pertempuran yang menuntut kejelian kita untuk
bersembunyi, atau kita akan tewas tertembak musuh. Ribuan obyek foto bertumpuk
di sana. Meskipun ini kali ke sekian saya motret di sini, saya belum bisa
menemukan bahkan sekeping obyek yang menarik. Saya lantas teringat perkataan
Devie Koerniawan, bahwa kunci dari keberhasilan menemukan obyek adalah
penghargaan terhadap kesederhanaan. Dia bercerita bahwa dari buku yang baru
saja dia khatamkan, ada sebuah tolok ukur kejelian seorang fotografer. Penulis
buku itu mengatakan bahwa apabila Anda sudah bisa menemukan 20 obyek dalam
ruang toilet yang Anda duduki, maka Anda baru bisa dikatakan berhasil
menghargai sebuah kesederhanan obyek foto. Blaik...
Saya masih asyik mengatur setelan kamera,
ketika saya sadari om Darwis sudah asyik jeprat-jepret di luar pagar hotel.
Pria yang selalu mengenakan topi ini tengah berdiri di depan tukang becak yang
sedang mangkal di depan gerbang hotel. Jarak antara dia dengannya hanya
selangkah. Namun itu tak lama, dia dengan cepat berpindah ke sudut lain, masih
dengan obyek bidikan yang sama. Selang beberapa waktu kemudian, dia menerobos
padatnya jalan Malioboro sore itu. Daaan... dia berhenti di tengah-tengah jalan
yang sedang disemuti ratusan kendaraan dengan kecepatan sedang itu. Dia berdiri
di sana, menghadang arah kedatangan kendaraan sembari memoret. Saya hanya bisa
memandang dengan takjub dari pinggir jalan.
Dengan langkah mantab dan penuh percaya
diri, pria paruh baya itu memepet pedagang yang sedang terlibat tawar menawar
dengan calon pembeli. Saya lihat dia sudah berganti kamera yang dipasangi lensa
tele. Pandangan miring saya terhadap kamera mirrorless
mulai terkoreksi. Selama ini saya menganggap kamera mirroless itu bak mainan
dan tidak sesuai dengan passion fotografi profesional karena dimensinya terlalu
ringkas dan cara melihat obyek bidikan melalui lcd, bukan view finder.
Kali ini saya mulai iri dengan kepraktisan memotret menggunakan kamera
mirrorless dibandingkan dengan DSLR. Pundak saya mulai pegal dengan beban tas
kamera berisi lensa 80-200 mm dan sebuah flash
gun.
Sepur yang memisahkah jalan Malioboro
dengan jalan Mangkubumi menjadi persinggahan kami selanjutnya. Di sini kami
bergerombol merubung obyek yang sama, tukang becak dan para penyeberang
lintasan kereta api. Saya mendekati om Darwis Triadi. Saya penasaran dengan
pola komunikasi dia dengan obyek foto, karena saya tak melihat percakapan dia
dengan obyek tersebut. Perlu beberapa lama untuk memahami pengertian komunikasi
menurutnya. Bahkan itu sudah dia utarakan tadi pagi di kelas.
“Wajah saya ini seram. Jangankan marah,
saya diam aja orang sudah mengira saya sedang marah. Padahal tidak, saya ya
hanya diam. Dari situ saya belajar menebar senyum.”
Ah... lagi-lagi saya merasa tertohok dengan
pernyataannya. Seharusnya sedari dulu saya belajar kepadanya. Kebetulan wajah
saya lebih menyeramkan.
Akhirnya, ketika kumandang adzan Magrib
mengisyaratkan bahwa hunting ini telah selesai, saya berucap syukur. Delapan
jam bersama om Darwis telah memberi banyak hal baru kepada saya, tak hanya hal-hal
seputar fotografi, tapi menjurus ke hal-hal seputar kehidupan.
Maka saya kian maklum ketika mas Harris
Rinaldi, yang seyogyanya menjadi peserta acara ini, misuh-misuh ketika Surat
Tugasnya dibatalkan karena ada tugas lain yang lebih penting.
Yogyakarta, 28 Februari 2014.