Langkah
saya dan Cupez terhenti sejenak di punggung gumuk pasir itu. Di depan kami
tersembul atap terbuat dari terpal plastik warna biru.
“Kok kayak
ada rumah, ya Pez..”
“Iyo
tu,Mas…”
Belum genap
kebengongan kami dengan pemandangan ganjil ini, saya melihat seseorang berjalan
rada tertatih dari arah pantai menuju bangunan itu. Saya kian penasaran.
“Wah, obyek
human interest iki, Pez”
Kami
bergegas mempercepat langkah ke arah bangunan itu, tanpa memedulikan sengatan
duri perdu di kaki. Kian dekat bangunan itu kian nyata, tak terhalang lagi oleh
gundukan pasir. Rupanya selain bangunan beratap biru tadi ada bangunan lain di
depannya. Namun karena ketinggiannya lebih rendah, maka bangunan ke dua ini
tadi tidak tampak sama sekali.
Langkah
kami sudah mencapai jalan setapak menuju bangunan itu. Saya segera belok kanan
ke arah bangunan itu tanpa memedulikan lagi keberadaan Cupez yang rupanya belok
kiri ke arah bibir pantai. Anak muda separo Jawa kelahiran Kalimantan itu
rupanya tak tertarik dengan obyek ini. Dia memilih memburu matahari yang
sebentar lagi akan tenggelam.
Hati saya
agak ciut ketika langkah sudah mencapai semacam gerbang bangunan itu.
Pemandangan di depan saya agak menyeramkan. Tampak dua pria sedang duduk di
pasir beralaskan seadanya. Namun saya bismillah saya, toh niat saya tidak
banyak dan macam-macam, hanya ingin bertamu ke mereka, syukur-syukur boleh
memotretnya. Masih terngiang ucapan om Darwis Triadi kemarin siang yang mensyaratkan
pemanusiaan manusia, kecuali kita motret cicak.
“Assalamualikum
wr wb. Kulo nuwun, Pak.”
Bagi orang
Jawa, kulo nuwun itu salam wajib, bahkan dulu kedudukannya melebihi salam yang
diwajibkan bagi seorang muslim.
“Weh…
monggo… monggo mas. Silahkan mampir,” sambut pria yang duduk di halaman
bangunan itu.
Dia sedang
asyik membongkar tas lusuh dan beberapa buntal kantong plastik. Seekor kucing
berwarna telon tampak asyik mengitari pria itu. Saya segera mendekat untuk
bersalaman dengan mereka.
“Dari mana,
Mas?”
“Saya asli
Wonogiri, Pak.. tapi tinggal di Jakarta.”
“Wah, jauh
ya. Kameranya Nikon apa Canon, Mas?”
Saya yang
sudah jongkok di depan pria itu nyaris terjengkang. Pertanyaan yang keluar dari
mulut pria tua ini amat mengagetkan saya.
“Nikon,
Pak. Jangan-jangan Njenengan ini fotografer juga?”
“Kata orang
bagus Canon, ya Mas?”
Nah…
lagi-lagi saya kaget. Ke lima indera segera saya pasang kuat-kuat. Dua
pertanyaan itu cukup untuk membuat saya meningkatkan kewaspadaan. Segala
kemungkinan bisa terjadi.
Sembari
berfikir untuk menjawab pertanyaan pria itu, padangan mata saya kitarkan ke
sekeliling bangunan ini. Di depan saya tampak bangunan yang konstruksinya
terbuat dari bilah bambu. Dinding dan atapnya terbuat dari bekas spanduk
digital. Kondisinya sudah compang-camping dan ditambal dengan lembar lain di
sana-sini. Tingginya hanya sekitar 160 cm sehingga secara umum tak mungkin
berdiri di bawahnya. Bangunan itu terbagi menjadi dua, bagian depan difungsikan
sebagai ruang tamu ala kadarnya. Sementara itu bagian belakangnya ada semacam
kamar berpintu kain. Saya menduga itu adalah kamar tidur.
Seorang
pria yang saya taksir berusia di atas 60 tahun tampak duduk bersandar di dekat
pintu kamar itu. Kulitnya yang sawo matang tampak relatif bersih. Dia tak
banyak bicara.
“Sama saja
kok, Pak. Monggo pak, rokok,” ujar saya. Saya tak mau terjebak dalam diskusi
merk kamera dengan pria ini.
“Matur
nuwun, Mas. Ni, Pak.. dapet rejeki rokok,” ujar pria itu sembari melempar
bungkus rokok kepada pria yang sedang bersandar tadi.
Tiba-tiba
terdengar suara pria lain berdehem dari dalam ruang tamu. Saking rendah dan
gelapnya ruang tamu itu, saya tidak menyadari bahwa ada manusia lain di
bangunan itu.
“Tu, mas..
rokok,” saya menawarkan rokok kepada pria yang masih relatif muda dan bertopi
itu.
“Suwun,
Mas.. rokok saya lain.”
“Ke sini
sendirian, Mas”
“Nggak
motret orang lomba paralayang, Mas?”
“Mboten,
Pak. Kami lebih suka motret pemandangan.”
Sembari
berbincang, tangan kanan pria itu sibuk membongkar kantong plastic lusuh.
Rupanya ada beberapa makanan sisa di sana, beberapa potong ayam goreng dan
tulang ayam bakar. Tulang ayam diberikan ke kucing, sedangkan potongan ayam
goreng yang masih utuh disimpan lagi. Ingatan saya terbang ke anak bungsu,
Abyan. Tuhan menganugerahkan kesensitifan hati kepadanya, terutama ketika
berhubungan dengan kehidupan satwa. Dia pernah merengek ke mamanya agar boleh
membawa pulang seekor kucing yang tampak tak terurus di pasar Kramat Jati.
Tangisnya juga pecah ketika saya dengan terpaksa menyembelih kelincinya yang
sekarat tak kuat melawan penyakit. Yang agak menggelikan, suatu hari, dia
membeli anak burung di sekolahannya seharga tiga ribu rupiah. Bukannya
dipelihara, burung itu kemudia dilepaskan ke alam bebas.
Hati saya
berdesir melihat pemandangan ini. Desirannya kian kuat ketika pandangan mata
saya tertuju pada lengan kirinya. Rupanya yang selama ini saya anggap normal,
pria ini hanya berlengan satu. Lengan kirinya ternyata palsu.
“Aslinya
mana, Pak?”
“Saya dari
Gampingan situ, Mas.”
Gampingan
adalah nama sebuah daerah di kota Yogyakarta. Letaknya hanya sekitar 40
kilometer dari sini.
“Saya boleh
foto kucingnya, Pak?”
“Monggo,
Mas. Tapi jangan cuma kucingnya, sekalian sayanya dong..”
Inilah
momen terindah bagi seorang penggemar fotografi manusia. Komunikasi yang
membuahkan hasil berupa keleluasaan hati dari obyek foto. Hal ini tidak
berhasil saya temui selama beberapa kali motret di jalan Malioboro.
No comments:
Post a Comment