Sesosok pria tua itu tampak sedang
memegangi lututnya sembari duduk di teras, saat saya menggapai rumah, malam
Sabtu lalu. Setelah membuka pagar, saya langsung sungkem dan memeluknya
erat-erat.
“Kamu baru pulang, Le?”
“Inggih, Pak. Tadi dari Bandung langsung
mampir rumah sakit.”
“Piye kondisinya anakmu?”
“Alhamdulillah sudah stabil, Pak. Bapak
sendiri pripun?”
“Sehat... nggak usah jadi pikiranmu..”
Orang tua satu ini memang tidak pernah mau
membebani pikiran anaknya dengan kondisi kesehatannya. Padahal jelas-jelas tadi
beliau sedang memegangi lututnya yang memang sedang sakit. Diabetes telah
menggerogoti fisknya sejak 12 tahun yang lalu. Kedatangan beliau ke Jakarta
kali ini utamanya adalah untuk mengecek kondisi kesehatannya.
Setelah melepas sepatu saya bergegas masuk
rumah. Heni, sepupu saya, sedang meracik bahan masakan di dapur.
“Ibu mana, Hen?”
“Tu lagi sholat, Mas.”
Saya meneruskan langkah ke kamar tidur,
meloloskan pakaian kerja, berganti dengan pakaian hangat. Kondisi badan saya
memang sedang menurun. Dua hari ini saya dilanda demam dan pusing. Saya segera
kembali teras.
“Ndesa sedang musim apa, Pak?”
“Ini musim tanam padi, Le. Alhamdulillah
musimnya bagus sekarang ini. Curah hujannya cukup.”
Tiba-tiba dari balik pintu muncul sosok
agung berambut nyaris putih semua, ibu.
“Bhakti saya, Bu...” saya menyalaminya
lantas memeluknya erat-erat.
“Lho kok badanmu anget, Le?”
“Inggih, Bu. Agak meriang ini.”
“Yo wes, sini tak keroki. Wong kamu ini
dari kecil kalo masuk angin belum dikeroki belum sembuh kok.”
“Iyo lho, To.. Sana biar dikerokin ibumu
dulu.”
Sesaat kemudian saya sudah meringis-ringis
kesakitan dihajar liukan jemari ibu. Tenaganya tak kuat lagi, namun efeknya
sama saja. Sekujur tubuh saya berubah menjadi selembar papan beralur merah
menghitam.
“Ini masuk angin kasep, To. Sudah sana pake
baju. Jangan begadang sama bapakmu dulu, nanti nggak sembuh-sembuh.”
Larangan kembali terucap. Ibu memang kurang
suka melihat kami menghabiskan malam dengan berbincang-bincang di teras rumah.
Angin malam itu angin jahat, katanya. Namun apa daya, larangan itu tinggal
larangan. Saya sudah duduk di depan bapak sembari menyeruput teh panas di
teras.
“Minggu kemarin Bapak didatengi orang dari
mBatu, To.”
“Siapa dia, Pak?
“Jadi awal tahun 60an kan Bapak dinas di
mBaturetno jadi petugas pembasmi nyamuk malaria. Nah, di suatu desa kecil Bapak
disuruh mampir sama orang tua, namanya mbah Mahtal. Rupanya dia orang sakti di
situ. Bapak ditanya asalnya dari mana, anaknya siapa, dan seterusnya. Begitu
bapak ceritain asal-usul bapak, mbah Mahtal bilang bahwa berarti bapakmu ini
masih terhitung cucunya.”
“Lho kok selama ini Bapak nggak pernah
cerita ke kami?”
“Lha iya, wong ya Cuma sekali itu bapak ini
ketemu sama mbah Mahtal.”
“Nah, minggu kemarin ada orang dateng ke
rumah, ngakunya masih sanaknya mbah Mahtal juga. Dia datang untuk menyambungkan
kembali silaturahmi yang sudah puluhan tahun terputus.”
“Wah.... hebat orang itu nggih, Pak.
Mau-maunya ke ndatengi Bapak.”
“Iyo... aku yo seneng, apalagi pas pulang
dia ngasih salam tempel. Begitu tak buka isinya lima puluh ribu rupiah. Lumayan
to buat mbeliin pakan ayam.”
“Wah... ada embel-embelnya nggak tu, Pak?”
“Nggak... dia hanya minta doa restu mau
nyalon jadi anggota dewan..”
Saya terdiam pilu. Bapak saya rupanya
terlalu polos untuk memaknai pemberian itu.
Saya baru sadar, ini adalah tahun politik,
dan Maret ini adalah bulan kampanye. Dan hiruk pikuk itu rupanya sampai juga di
desa kami, sebuah desa terpencil yang terletak di tepi timur provinsi Jawa
Tengah.
“Banyak yang ikut nyaleg to Pak?”
“Wah.. nggak banyak lagi, Le. Bayangin aja,
sak kecamatan Tirtomoyo itu calegnya dua puluh sembilan orang.”
“Walah-walah... trus siapa nanti yang mau
milih ya, Pak?”
“Itulah Le... Bapak juga bingung. Tapi kan
sebenere modal nyaleg itu gampang...”
Wah.... inilah yang saya tunggu-tunggu,
teori komunikasi massa dari seorang pensiunan PNS yang tidak pernah baca koran.
“Modale Cuma dua lho, Le...”
“Apa itu, Pak?”
“Satu supel, dua sumpel”
“Hahahaha.... Bapak ini bisa aja.”
“Lho lha iyo to? Percuma kamu supel ke
semua orang, kalo kamu nggak punya sumpel, mana mau orang milih kamu. Orang pasti
akan milih caleg yang ngasih sumpel lebih gede.”
“Saya boleh nanya, Pak?”
“Mau tanya apa?” nada Bapak seolah sudah
tahu arah pertanyaan saya.
“Jadi Bapak nanti mau nyoblos siapa? Bapak
udah terima sumpel Lho..hahahaha..”
“Hahaha... aku terus terang yo bingung, Le.
Lha bu Hartini istrinya pak Agung temen sekerja bapak dulu juga nyaleg. Bapak
bingung....”
Air muka bapak mendadak berubah. Dulu pria
ini teguh dengan pendiriannya, pokoknya Golkar, pokoknya mbah Harto, titik.
Kini sumpel itu telah menggoyahkan keteguhannya.
“Ayooo Pak, anake lagi nggak sehat, jangan
diajak begadang, to,” tiba-tiba Ibu menyela kami dari balik pintu.
“Laper Bu. Nggoreng tempe aja, Bu,” rengek
saya.
Seperempat jam kemudian obrolan kami sudah
berpindah ke depan televisi yang tengah menayangkan indonesian Idol. Sembari
mengunyah tempe goreng, saya ngunandiko, gerangan Yahudi mana yang telah
memengaruhi bapak saya ini sehingga sekarang doyan nonton tayangan ini. Ah... rupanya
tak hanya keyakinan politik, wawasan bapak tentang hiburan pun telah bergeser
dari wayang kulit ke idol-idolan... Sumpeeeeeel....
Bandung, 17 Maret 2014
2 comments:
Asemik, critamu gandem, nan.
Nyamleng, Mas.
Btw, Bandung e dimana?
Punya pin BB kah?
Sis/85
Itu kisah nyata lho Mas.. Hehe..
Siap, saya di Kanwil Pajak Jabar 1, jln. Asia Afrika, Mas. Mas Sis di Bandung juga?
Pin saya 75E4BA92. Di add nggih Mas.. Suwun....
Post a Comment