Belakangan ini marak
diperbincangkan soal otonomi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beragam tanggapan
muncul di ranah publik, baik media cetak maupun media eletronik, bahkan media
sosial. Tanggapan publik terbelah menjadi dua bagian, satu pihak setuju dengan
otonomi DJP, di pihak lain menyatakan
tidak setuju.
Pihak yang setuju dengan
pemberian otonomi DJP memberika argumen bahwa institusi ini perlu diberikan
otonomi karena pentingnya peran yang diemban. Peran DJP dalam APBN memang bukan
perkara main-main di republik ini. Dalam APBN-P 2014, DJP dibebani tugas
menyumbang penerimaan negara sebesar 70%. Selain itu masyarakat juga menuntut
tax ratio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) naik dari 12% ke 17%. Dua
hal itulah yang melatarbelakangi persetujuan pemberian otonomi bagi DJP.
Pihak yang tidak setuju
mengemukakan alasan bahwa kinerja DJP selama ini belum optimal. Pemberian
remunerasi dipandang mereka tidak mampu menaikkan kinerja aparat DJP ke titik
yang diinginkan. Mereka juga mempersoalkan masih terungkapnya berbagai
kecurangan yang melibatkan aparat pajak, seperti kasus Gayus, dan sebagainya.
Keberbasilan misi DJP amat
tergantung pada tiga unsur, yakni SDM, infra sturktur, dan peraturan
perundangan. Unsur SDM merupakan unsur
yang paling dominan dalam pembahasan masalah ini, karena SDM adalah pelaku
utama sebuah sistem. Sumber Daya Manusia
merupakan faktor yang amat menentukan keberhasilan misi organisasi.
Untuk membahas masalah
SDM, berikut ini disajikan analisis dari beberapa sudut pandang.
Rasio Biaya Pemungutan
Pajak (Cost of Collection)
Saat ini jumlah pegawai
DJP sebanyak tiga puluh dua ribu orang. Pegawai tersebut tersebar di unit
organisasi DJP dari Sabang sampai Merauke pada berbagai posisi jabatan. Sebagai
gambarang, jumlah anggaran belanja DJP tahun 2012 adalah 8 triliun rupiah;
sedangkan realisasi penerimaan pajak tahun yang sama sebesar 880 triliun
rupiah. Dari dua data tersebut dapat dihitung besarnya cost of collection-nya adalah 0,5%.
Rasio cost of collection itu terhitung amat kecil jika dibandingkan
dengan rasio di negara-negara maju yang mencapai 5%. Rendahnya rasio cost of collection DJP menunjukkan bahwa kapasitas kerja aparat
pajak sudah optimal. Pemberian remunerasi bahkan dirasa masih kurang jika
memperhitungkan beban kerja mereka.
Tengoklah data berikut
ini. Tahun 2007 jumlah pegawai pajak 31 ribu orang dengan total penerimaan
pajak sebesar 470 triliun rupiah. Tahun 2013 jumlah pegawai pajak 32 ribu orang
dengan total penerimaan pajak sebesar 930 triliun rupiah, atau naik hampir dua
kali lipat. Secara kasat mata dapat dikatakan bahwa selama kurun waktu tersebut
kinerja aparat pajak naik dua kali lipat.
Pada akhirnya semua
berpulang pada pucuk pimpinan negeri ini.