Lagi-lagi kinerja aparat
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dipertanyakan. Kali ini yang mempertanyakannya
tidak main-main, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK). Dalam
pernyataannya sebagaimana dimuat dalam Harian Bisnis Indonesia tanggal 14 Juni
2014, Ketua BPK mengatakan bahwa akibat buruknya kinerja aparat pajak, negara
kehilangan pendapatan sebesar 338 milyar rupiah. Hal tersebut terjadi karena
pemeriksa pajak bekerja tidak optimal, peraturan perundangan tidak dilaksanakan
dengan benar dan kurangnya pengawasan berjenjang.
Terkait dengan temuan
tersebut, BPK merekomendasikan tindakan yang harus dilakukan oleh DJP, antara
lain memberikan pembinaan sesuai ketentuan yang berlaku kepada SDM DJP, DJP
harus melakukan upaya-upaya yang diperlukan sesuai ketentuan yang berlaku untuk
memulihkan kekurangan tersebut, dan terakhir adalah meningkatkan pengawasan
berjenjang terkait dengan pemeriksaan pajak.
Menarik apa yang direkomendasikan
BPK tersebut. Dalam tiga rekomendasinya, BPK sama sekali tidak menyinggung
peningkatan kapasitas organisasi DJP. Tentu saja hal ini merupakan kenyataan
yang sulit diterima nalar, mengingat institusi DJP saat ini sedang melakukan
berbagai kajian terkait peningkatan kapasitas organisasi.
Sebagai institusi yang
berperan 70% dalam menyumbang penerimaan APBN, kapasitas organisasi DJP dirasa
masih amat terbatas. Sebagai unit organisasi setingkat Eselon I di bawah
Kementerian Keuangan, DJP amat terbatas gerakannya. Keterbatasan gerakan
tersebut menyangkut soal anggaran, SDM, dan manajemen organisasasi. Kemandirian
atas 3 hal tersebut tidak dimiliki oleh DJP.
Dari sisi anggaran, jelas
sekali ketergantungan DJP pada Kementerian Keuangan. Porsi DIPA yang diajukan
DJP amat tergantung dengan persetujuan Kementerian Keuangan sebagai “atasan”
DJP. Padahal organisasi DJP memerlukan fleksibiliaturan atas penganggaran. Hal
ini tak lepas dari unsur yang menjadi penentu keberhasilan misi DJP, yaitu
Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur, dan peraturan perundangan.
Saat ini jumlah pemeriksa
pajak sebanyak 4.300 orang, sedangkan jumlah Wajib Pajak sebanyak 25 juta.
Pemeriksa pajak sebagai unsur SDM yang bertugas dalam bidang penegakan hukum
pajak dibebani tugas yang amat berat, karena 1 orang pemeriksa bertugas
memeriksa 5.800 Wajib Pajak. Dengan rasio sekecil itu jangan harap kinerja
pemeriksa akan moncer.
DJP berulang kali telah
mengajukan penambahan jumlah SDM ke Kementerian Keuangan. Dalam usulannya, DJP
meminta tambahan pegawai setiap tahun sebesar 5.000 orang. Tambahan pegawai
tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan kinerja sektor pengawasan Wajib Pajak
yang pada akhirnya dapat mengurangi hilangnya potensi pajak yang dapat
dipungut.
Namun apa daya, usulan
tersebut tidak dikabulkan. Jumlah penambahan pegawai yang disetujui Kementerian
Keuangan hanya sebesar 1.500 orang. Dengan kondisi seperti ini, percepatan
peningkatan kinerja aparat pajak tidak berbanding lurus dengan percepatan
penambahan beban kerja.
Lantas bergaunglah wacana
peningkatan kapasitas organisasi DJP. Wacana tersebut memunculkan beberapa
opsi, di antaranya adalah memisahkan DJP dari Kemenkeu, dan menjadikannya
sebagai badan yang berdiri langsung di bawah Presiden. Pihak yang menelurkan
ide tersebut berpendapat bahwa peningkatan kinerja DJP hanya dapat dicapai
dengan peningkatan kapasitas organisasinya. Peningkatan kapasitas organisasi
hanya dapat dicapai dengan cara kemandirian DJP dalam menentukan hal-hal
strategis tanpa perlu bergantung pada keputusan “atasannya”.
Demikianlah, kadang
jawaban sebuah persoalan harus berkaca pada kenyataan yang ada.
No comments:
Post a Comment