Saya
menggeser posisi duduk ke meja kecil agar bisa berhdap-hadapan dengan bapak.
Beliau duduk di tepi ranjang ekstra. Kamar 1631 hotel Pullman Mekkah ini
sedianya memang untuk 2 orang, namun oleh manajemen travel diisi 4 orang sehingga
memerlukan tambahan tempat tidur. Pagi itu kami usai melaksanakan Tawaf Wada.
Masih ada 4 jam sisa waktu untuk istirahat sebelum meneruskan perjalanan ke
kota Madinah. Sebetulnya jadwal Tawaf Wada adalah pukul 10.00 waktu sini, tapi
saya memilih mendahului melakukannya setelah sholat Subuh tadi, dengan
perhitungan sesudahnya saya bisa istirahat.
“Waktu
itu Bapak disuruh sama Mbah Kakungmu untuk menjemputnya pagi-pagi, Le..”
“Lho,
Mbah Kakung emangnya menginap dimana, Pak?”
“Mbahmu
nginap di rumah salah satu istrinya, di desa seberang.”
Almarhum
mbah saya memang pria tak biasa. Bahkan saya sendiri tak hafal siapa saja
istri-istrinya. Poligami yang dijalananinya memaksa cucu-cucunya berakrab ria
dengan kehidupan yang kadan terasa tidak biasa.
“Yo
wis, jadilah pas ayam mulai berkokok, Bapak berangkat njemput Mbahmu, naik
kuda.”
Tahun
1960an desa kami masih gelap gulita. Jalanan yang ada hanyalah jalan setapak. Kendaraan
bermotor belum mampu merambah desa kami. Mbah saya adalah seorang Kepala Desa.
Negara memberinya kendaraan dinas, berupa seekor kuda jantan. Disamping itu,
beliau juga memiliki kuda betina. Dua hewan peliharaan tersebut dirawat oleh
bapak saya, mulai dari mencarikan pakan, memandikan, merawat bulunya dan
mengurusnya ketika sakit. Pekerjaan tersebut membuat bapak amat piawai
menunggang kuda. Saking piawainya, kadang beliau menaiki kuda tersebut tanpa
pelana, menyusuri lereng-lereng bukit, mengawal mbah meninjau wilayah kerja.
“Hari
masih gelap ketika Bapak sudah mencapai desa Nggodang, Le. Kuda itu tak seblaki
sekuat tenaga karena Mbahmu marah kalau sampai terlambat dijemput.”
“Bapak
nggak takut lewat Watu Platar?”
Watu
Platar adalah nama sebuah onggokan batu andesit sebesar tiga kali rumah
limasan. Batu itu terletak di lereng bukit, dimana di bawahnya dibikin jalan
penghubung dua desa. Konon di daerah situ suka ada penampakan hantu glundhung pringis. Hantu itu berupa
kepala manusia yang terlepas dari lehernya, berguling-guling dari puncak batu
ke arah jalan sambil meringis menyeramkan. Sampai sekarang cerita itu lekat
dengan masyarakat desa kami.
“Walah,
kita ini kan makhluk Tuhan yang paling tinggi derajadnya to, Le.. Masak takut
sama hantu.”
“Rasa
takut itu kan manusiawi, Pak.”
“Lha
iya.. Kamu boleh takut, tapi sak madya saja, seukuran, jangan berlebihan. Rasa
takut itu hanya ada di pikiranmu, bukan sesuatu yang benar-benar nyata.”
Saya
terdiam. Kopi instant itu masih separo mug kecil. Saya memang suka menghabiskan
kopi berlama-lama. Sebatang rokok lantas saya sulut. Apa daya, larangan merokok
di Tanah Suci ini tak bisa saya patuhi. Di tas saya tersimpan lima bungkus
rokok bawaan dari Indonesia.
“Kamu
tahu, kenapa Bapak nggak ngrokok?”
Pertanyaan
itu amat mengagetkan saya. Sepanjang hidup, saya memang belum pernah menjumpai
bapak menghisap rokok. Hal itu sebenarnya amat mengundang rasa penasaran saya,
namun entah kenapa saya belum pernah berani menanyakannya.
“Haha...
kenapa, Pak? Dulu nggak punya uang , ya?”
“Wah,
salah kamu, To. Bapakmu dulu kalo mau ngrokok tidak harus beli. Kan suka dapet
jatah setiap nemenin Mbahmu keliling desa.”
“Wah..
gratifikasi itu, Pak.. Hahaha..”
“Lha
embuh.. pokoke Bapak nggak pernah nolak setiap dikasih apapun sama rakyatnya
Mbahmu. Mereka tulus kok.”
“Lalu
apa yang membuat Bapak nggak pernah merokok?”
“Gini,
Le.. Waktu itu Bapak disuruh Mbahmu untuk mewakili beliau jagong manten ke
dusun Pakelan. Bapak dandan rapi banget, pakai pakaian putih-putih, dan seperti
biasa naik kuda.”
Dusun
Pakelan adalah bagian dari desa Sidorejo. Letaknya paling timur, berbatasan
langsung dengan desa Penggung kecamatan Nawangan Kabupaten Pacitan. Dusun itu
berada di atas ketinggian bukit sehingga senantiasa diselimuti hawa dingin.
Seumur-umur saya baru sekali ke dusun itu, lebaran tahun lalu. Medannya amat
sulit, melewati lereng perbukitan dan jurang di sisi kanannya.
“Bapak
berangkat tengah hari karena takut kemalaman, Le. Sampai sana Bapak disuruh
duduk di barisan depan, lha wakil Kepala Desa, je..”
“Wah,
Bapak naik derajad, dong?”
“Lh
iyo, kapan lagi Bapakmu ini bisa duduk di depan. Lha wong biasane kalo ngawal
Mbahmu duduknya campur dengan para rakyat jelata itu, je..”
Dalam
hati saya berpikir, rupanya bapak ini punya keinginan jadi priyayi juga. Semula
saya pikir beliau adalah sosok lempeng tanpa ambisi. Rupanya...
“Nah...
pulangnya Bapak dibawain nasi, cemilan, sama dua bungkus rokok yang sudah
kebuka kotaknya, Le.. Rokok itu Bapak simpan di saku baju depan. Karena hari
sudah sore, Bapak segera pamit ke tuan rumah, takut kemalaman di jalan.”
“Eh,
Bapak waktu itu sudah menikah belum, ya?”
“Ya
belum... Bapak masih bujangan. Inilah pertama kalinya Bapak disuruh jadi wakil
Mbahmu.”
“Apa
nggak ngeri naik kuda ke Pakelan, Pak? Jalannya kan curam banget. Lebaran
kemarin saya bermotor aja rasanya takut banget.”
“Kuda
itu kan tergantung jokinya, Le. Kalau sudah sehati dia kayak ngerti dengan
bahasa kita. Ya memang perlu latihan, nggak asal naik.”
Sisa
keperkasaan bapak saya memang masih ada hingga kini. Usianya sudah mencapai 72
tahun, namun berdasarkan pemeriksaan terakhir, detak jantungnya amat stabil.
Maklumlah, bapak bukan manusia yang suka berdiam lama-lama. Apa saja beliau
kerjakan, mulai dari menyapu halaman sampai menggarap ladang.
“Nah,
di tengah jalan turun hujan lebat, Le. Karena sudah senja, Bapak nekad
meneruskan perjalanan. Pakaian Bapak basah kuyup, termasuk nasi dan lauknya
yang dibungkus pakai daun pisang itu.”
“Nggak
bawa payung to, Pak?”
“Payung
gundulmu.. pernah liat orang naik kuda pakai payung?”
Saya
tertawa ngakak. Meskipun saya berbahasa krama inggil ke beliau tak berarti saya
merasa segan untuk mencandainya.
“Nah,
begitu sampai rumah Bapak baru sadar, rupanya rokok yang Bapak kantongin itu
luntur kehujanan. Lunturannya mengenai baju kebesaran Bapak itu. Buru-buru
Bapak rendam dan cuci pakai biji klerak. Berulang-ulang Bapak sikat, tetap saja
kotorannya nggak bisa ilang.”
“Walah, tragis sekali ya, Pak?”
“Nggak
Cuma tragis, Le.. Menyakitkan.. Baju itu Bapak beli dari hasil ngumpulin
sedikit demi sedikit selama hampir setahun. Eh, lha kok gara-gara rokok jadi
nggak pantes lagi dipakai. Ya sudah, sejak saat itu Bapak bertekad nggak akan
nyentuh apalagi ngisep rokok.”
Sebatang
rokok yang masih separo ini tiba-tiba terasa hambar di mulut saya. Buru-buru
saya matikan di washtafel kamar mandi. Meski hotel ini tidak melarang merokok
di dalam kamar, namun manajemen tidak menyediakan asbak di kamar, sehingga
terpaksa saya matikan di washtafel.
Saya
lirik jam tangan, waktu telah menunjukkan pukul 12.00 waktu Mekkah. Saya bergegas
mengajak bapak ke kamar mandi untuk bersuci. Kran toilet saya arahkan ke
telapak tangan bapak agar beliau bisa bersuci dari pancuran air. Perlu waktu
agak lama untuk menyelesaikan ritual ini. Tubuh renta sang Zorro itu tak kuasa
lagi berdiri tegak, bahkan untuk sekedar bersuci.
Bandung, 14 Juli 2014
####Bersambung#####
No comments:
Post a Comment