Thursday, July 17, 2014

Cerita Bersambung Bagian 3 - Ketika Zorro Pergi Umroh



Bapak berpose di depan Masjid Nabawi


Kiri ke kanan : Pak Anas, Pak Cucu, Bapak dan Ibu di depan Masjid Terapung, Jeddah

Cerita bagian I ada di sini
Cerita bagian II ada di sini

Akibat kekurangtahuan pengemudi bus tadi menyebabkan kedatangan kami di Madinah terlambat hampir dua jam. Pukul 20.00 waktu setempat kami tiba di kota yang menurut riwayat diberkahi dua kali dibanding Mekkah ini. Cahaya gemerlap lampu malam tampak menyirami kota yang relatif datar ini.
Sebelum turun dari bus, Pak Ansori memberi arahan bahwa tak seperti Masjidil Haram yang buka 24 jam, Masjid Nabawi akan tutup pada pukul 23.00. Jamaah masih bisa masuk tapi hanya melewati pintu-pintu tertentu. Dia juga berpesan bahwa godaan ibadah di Madinah jauh lebih besar daripada di Mekkah. Godaan dimaksud adalah godaan belanja. Tipikal pertokoan di sini memang berbeda dengan di Mekkah. Di Madinah, begitu keluar dari lobi hotel, kita langsung akan dihadang oleh pusat-pusat perbelanjaan, mulai dari kelas butik sampai kelas kaki lima.
Saya segera menuntun bapak dan ibu menuju restoran yang sebentar lagi akan tutup. Berbeda dengan di Mekkah, makan pagi, siang dan malam kami disediakan oleh pihak hotel namun waktunya amat ketat. Rupanya pihak hotel menyewa perusahaan katering khusus untuk jamaah dari Indonesia. Untuk tamu dari Timur Tengah makannya disediakan oleh koki hotel, entah maksudnya apa. Ketika di Mekkah, untuk sarapan kami lakukan di restoran hotel, sedangkan makan siang dan makan malam disediakan di restoran masakan Indonesia yang berada di lantai 3A menara Zamzam. Waktu yang disediakan di restoran itu juga relatif longgar, sehingga kami tak pernah buru-buru.
Seperti biasa, pertama-tama yang saya lakukan adalah mencarikan tempat duduk bagi kedua orang tua saya, barulah saya mengambilkan makanan untuk bapak. Untuk urusan makan, ibu sepenuhnya bisa melakukan sendiri. Pak Anas makan bersama pak Cucu, kesepakatan tak tertulis yang kami buat semenjak di Mekkah, agar saya punya waktu yang cukup untuk membantu orang tua saya.
“Mau makan banyak apa sedikit, Pak?”
“Sing akeh, Le... bapak laper banget.”
Saya maklum adanya. Perjalanan Mekkah ke Madinah memang lumayan menguras energi. Sepanjang perjalanan bapak amat membatasi makan dan minum karena takut harus ke belakang. Hal ini sebenarnya sudah saya larang. Saya tegaskan bahwa bapak tidak perlu menahan lapar dan haus hanya karena takut merepotkan orang lain. Namun begitulah bapak, beliau memang susah dilawan jika sudah memutuskan sesuatu.
Seporsi besar nasi beserta gulai ayam dan lalapan ala kadarnya segera saya sajikan ke meja bapak. Sebetulnya saya menyimpan kecemasan akan kondisi gula darah beliau. Namum kecemasan itu segera saya tepis. Saya kembali terngiang kalimatnya yang menyatakan siap mati di sini. Untunglah adik saya bekerja di perusahaan farmasi, sehingga sekantong obat wajib bapak beserta jadwal minumnya menjadi bekal beliau selama di sini.
Tak berapa lama ibu bergabung di samping bapak. Sembari mengunyah daging ayam, saya diam-diam mengamati dua sosok agung ini. Orang tua saya ini menjadi pasangan suami istri melalui jalur perjodohan.
Karakter keduanya sebetulnya amat bertolak belakang. Ibu adalah sosok melankolis, berpendidikan hanya sampai kelas 4 SD, anak bungsu dari lima bersaudara. Kesehariannya ibu adalah sosok yang tak jauh dari urusan dapur, kasur dan sumur. Sepanjang hidupnya memang tidak pernah  menjalani pekerjaan formal. Dahulu beliau pernah berdagang beras di pasar kampung dan membuka warung makan.Belakangan setelah anak-anaknya dewasa, beliau memutuskan konsentrasi menjadi ibu rumah tangga. Naluri keibuannya amat kuat. Pernah suatu malam, sudah amat larut malam, adik perempuan saya yang tinggal berdekatan dengan mereka, menelepon saya. Adik saya hanya memastikan apakah saya sehat-sehat saja. Rupanya seharian tadi setiap makan ibu tersedak. Saya sampaikan ke adik saya, bahwa saya sekeluarga baik-baik saja. Saya tidak sampaikan bahwa anak sulung saya sedang kambuh sinusnya, karena jika sampai itu terjadi, mereka pasti akan segera meluncur ke Jakarta. Sampai sekarang, setiap malam Senen Legi yang merupakan weton saya, ibu selalu membuat nasi lengkap dengan urap dan lauk ala kadarnya. Setampan nasi itu kemudian dibawanya ke mushola depan rumah untuk dibacakan doa buat saya dan adik ketiga saya yang kebetulan lahir pada hari dan pasaran yang sama.
Sedangkan bapak adalah sosok pria tangguh. Masa kecilnya yang dihabiskan bersama pamannya melahirkan sosok mandiri hingga kini. Meskipun berprofesi sebagai pegawai negeri, bapak amat giat berladang. Baginya tak boleh ada sejengkal tanahpun yang lepas dari hantaman cangkulnya. Pekarangan rumah kami di kampung sana tertata rapi, penuh dengan tanaman yang amat terawat. Kini, di masa pensiunnya, bapak memilih memelihara ayam kampung daripada sapi atau kambing. Disamping lebih mudah merawatnya, ternyata peliharaan itu disediakan buat anak cucunya ketika mudik. Selain mandiri, bapak juga sosok yang tegas namun bijak menyikapi setiap persoalan. Banyak yang mendorong beliau untuk maju sebagai kepala desa menggantikan ayahnya, tapi dengan tegas beliau menolak. Baginya menjadi rakyat kebanyakan jauh lebih nyaman dibanding harus memikul tanggung jawab besar sebagai punggawa rakyat. Satu hal yang saya tiru adalah bahwa bapak tidak pernah ikut campur masalah keuangan keluarga. Seluruh gajinya dari dulu sampai sekarang sepenuhnya dikelola oleh ibu. Bapak pernah bilang bahwa jadi pria itu jangan cengeng, jangan mengandalkan gaji untuk membeli rokok, cangkul, dan bibit tanaman.
Meski saling bertolak belakang, kedua insan ini tidak pernah terlibat dalam keributan besar. Sepanjang hidup saya, saya hanya sekali menemui kejadian yang membuat ibu menangis. Kejadiannya pun sudah lama sekali, saya bahkan tak sanggup mengingat apa penyebab peristiwa itu. Bapak memang memilih untuk mengalah ketika ibu mulai tersulut emosi. Baginya wanita memang bukan lawan tandingnya.
Kami harus segera beranjak dari restoran itu, karena lampu penerangan sudah dimatikan. Saya segera menuntun bapak dan ibu ke kamar kami yang terletak di lantai 5. Kali ini kamar kami terpisah agak jauh meskipun berada di lantai yang sama. Kepada teman sekamarnyalah saya menitipkan ibu agar ibu bisa sholat berjamaah di masjid Nabawi. Berbeda dengan Masjidil Haram, di Nabawi pintu masuk laki-laki dan perempuan terpisah sehingga saya tidak bisa mendudukkan ibu pada sebuah posisi. Hal ini sebetulnya amat merisaukan perasaaan bapak. Hilangnya ibu di bukit Marwah tempo hari rupanya amat membekas di hati beliau.
Kami baru saja selesai menunaikan sholat Jumat ketika terbetik kabar bahwa ada anggota rombongan kami yang meninggal dunia karena sakit. Kabar tersebut menyentak kami semua. Syukurlah suaminya ikut serta dalam rombongan ini sehingga proses penguburan jenazah bisa segera dilaksanakan. Rupanya pihak rumah sakit di sini tidak akan melakukan apapun terhadap jenazah apabila belum mendapat ijin dari keluarganya.
“Orang seperti aku dan ibumu ini tinggal menikmati bonus umur lho, Le,” ujar bapak sembari tiduran di ranjang sebelah. Saya asyik membalas beberapa pesan di ponsel sembari duduk membelakanginya.
“Pak, boleh saya nanya?”
Meh takon apa, Le?”
“Gini lho, Pak. Anak bapak ini kan sebagian besar hidup di Jakarta, hanya satu yang di Wonogiri. Nah, suatu saat nanti ketika Bapak dipanggil Yang Maha Kuasa, apa harapan Njenengan terhadap kami?”
“Ada dua, Le. Yang pertama, kalian tak usah menahan jenazah bapak atau ibumu. Biarkan kami langsung diurus sama yang di rumah. Selesaikan urusan kalian terlebih dahulu, baru pulang.”
Saya menghela nafas dalam-dalam. Telepon seluler itu segera saya letakkan di atas meja. Saya tiba-tiba menyesal telah bertanya seperti itu.
“Bapak nggak pengin merepotkan tetangga kiri kanan, mengurus jenazah sambil menunggu kedatangan kalian. Bapak kok ngga sreg ngeliat jenazah harus nginap hanya gara-gara nunggu anaknya belum datang.”
“Inggih, Pak. Insya Allah nanti saya sampaikan ke adik-adik.”
“Yang ke dua. Tolong nanti sholatkan bapak di mushola depan rumah. Biarlah bapak jadi contoh buat tetangga, bahwa seyogyanya menyolatkan jenazah itu ya di masjid atau mushola.”
Tiba-tiba telepon seluler saya menampilkan pesan baru. Rupanya ibu pengin bergabung bersama kami. Saya segera menjemput ibu di kamar seberang.
Setibanya di kamar kami, ibu duduk di ranjang saya.
“Katanya ada yang ninggal, Le?”
Inggih, Bu. Rombongan bus dua.”
“Gek piye urusane? Dikubur dimana?”
“Biasanya sih dikubur di sini, Bu. Bisa sih dibawa pulang ke Indonesia, tapi urusannya panjang.”
“Yuuuh, kasihan anak-anaknya ya. Kalau mereka mau nyekar terus gimana?”
“Ngirim doa buat arwah itu bisa dari mana saja, Bu. Dari Indonesia juga nyampe ke Gusti Allah, kok,” ujar Bapak menyela obrolan kami.
“Gini, Bu. Barusan Bapak pesen bahwa jika suatu saat nanti Bapak atau Ibu dipanggil Allah, jenazahnya nggak usah nunggu kami. Nurut Ibu, gimana?”
“Aku yo setuju kok, Le. Mesakne, orang udah mati kok sampai nginap. Medeni.....”
“Nah, sekarang saya mau nanya, Pak, Bu. Jika nanti Bapak Ibu meninggal pas hari Selasa Kliwon, kuburannya minta ditungguin, nggak?”
Bapak yang pertama kali menjawab, “Bapak nggak minta ditungguin, Le. Kasihan jadi merepotkan tetangga harus nungguin siang malam di kuburan selama 40 hari.”
“Lah, kalau aku ya minta ditungguin, Le. Bukan apa-apa. Adat di desa kita kan seperti itu, setiap yang mati hari Selasa Kliwon katanya mayatnya diambil sama orang jahat. Bagian tubuhnya dipakai untuk jimat. Sebetulnya Ibu nggak percaya sama semua itu, tapi ini adat, Le. Nanti kita diomongin orang nggak punya adat. Lagian kamu apa nggak malu jadi omongan orang nantinya. Tuh, anaknya pak Santoso gagah-gagah, masak orang tuanya mati hari Selasa Kliwon kuburannya nggak ditungguin, emang nggak punya duit, apa?”
Begitulah Ibu jika sudah bersabda. Pertimbangannya bukan hal rasional lagi, tapi lebih ke emosional.
Saya terdiam. Sampai sekarang saya memang masih mengalami perang batin untuk satu hal ini. Di satu sisi saya tidak terlalu percaya dengan hal-hal semacam itu. Namun di sisi lain saya juga tidak bisa begitu saja mengabaikan kenyataan yang ada.
Kakak sepupu saya, Kang Giyo, pernah berkata, “Kamu rela anggota badan orang tuamu dicuri orang?”
Saya terdiam ketika itu. Menurut cerita yang beredar di daerah saya, konon jenazah orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon memang ampuh dijadikan jimat. Sudah banyak dijumpai kuburan yang berlubang karena tidak ditunggui selama 40 hari 40 malam.
Nggih, Bu. Untuk satu hal ini saya belum bisa ngambil keputusan. Semoga Bapak Ibu nanti dipanggilnya nggak pas hari itu..hahaha...”
Sembari menyajikan cemilan kurma dan menuangkan air Zamzam yang saya bawa dari Mekkah, saya ngunandiko, bahkan Tanah Suci ini belum mampu membuat saya lepas dari pengaruh takhayul di desa kami.

Bandung, 17 Juli 2014
######Bersambung######

1 comment:

arifkancil said...

apik mas.
bosone penak, njowo banget.