Sunday, November 30, 2014

Site Map

DAFTAR ISI

Mobil 2nd vs Negara 2nd

“Mau ngapain lagi ke bengkel, Pak?
“Tu kaki-kakinya belum beres, Ma. Minta dua ratus ribu lagi, deh.”
“Minggu kemarin perasaan udah mbenerin karburator, sekarang kok pindah ke kaki-kaki to, Pak..”
“Yah, namanya mobil second, Ma... “

Saya lantas ngeloyor ke arah mobil yang sudah saya panaskan. Dia hanya memandang kepergian saya dengan wajah lurus, tanpa ekspresi. Jatah belanja bulanannya harus kembali dirongrong oleh kebutuhan perbaikan mobil kami.

Demikianlah memang konsekuensi membeli barang bekas. Tak hanya mobil, rumah, perabot rumah tangga, pakaian. Yap, pakaian. Jas yang saya kenakan waktu menikahinya adalah pakaian impor bekas yang dibelikan oleh calon kakak ipar saya di Jambi sana. Tahun 1998 adalah saat marak-maraknya impor pakaian bekas hingga kemudian pemerintah melarangnya. Rumah yang kami tinggali sekarang kebetulan kami beli bekas seorang pedagang pakaian impor bekas yang usahanya gulung tikar akibat beleid pemerintah itu. Ironis.
Setiba di bengkel langganan, saya terpaksa mengantri. Ada dua mobil lain yang sedang dibongkar kaki-kakinya juga. Mekanik sekaligus pemilik bengkel ini, kang Amin, adalah seorang pria Sunda. Dia tengah bergelut dengan oli gemuk dan kunci ring pass berukuran besar.

Sembari menunggu saya duduk di sudut bengkel dan ngobrol dengan pemilik mobil yang sedang dibongkar rodanya.

“Mbenerin apa, Mas?
“Ini, Mas... Ngganti long tie rod.”

Saya sedikit heran. Mobilnya adalah keluaran baru. Rasanya mustahil sudah harus mengganti part itu.

“Tahun berapa mobilnya, Mas? Kelihatannya masih baru.”
“Baru setahun, Mas. Iya, padahal saya pakainya juga nggak kemana-mana, dalam kota terus. Mobil sekarang nggak awet ya, Mas.”

Saya hanya terseenyum simpul mendengar keluhannya. Dia mungkin lupa bahwa di dunia ini yang jujur hanya satu, yaitu harga.

“Mobil Mas sendiri kenapa?”
“Ah, biasa Mas.. namanya juga mobil tua. Tuh, karet stabilizer-nya ada yang pecah.”
“Tahun berapa mobilnya, Mas?”
“Tahun 1997, Mas. Saya belinya second. Entah sudah tangan ke berapa.”
“Kenapa nggak beli yang baru, Mas? Kerja dimana to?
“Saya kerja di pajak, Mas. Simpel, Mas. Saya nggak punya duit untuk membeli mobil baru, kedua mobil baru itu harganya nggak realistis.”

Teman ngobrol saya itu mengerutkan keningnya.

“Masak orang pajak nggak bisa beli mobil baru, Mas? Kan duitnya banyak, kayak Gayus.”
“Duit saya memang banyak, Mas. Tapi kebutuhan saya juga banyak,” tiba-tiba saya merasa tekanan darah saya naik drastis. Tampaknya lawan bicara saya menyadari hal itu. Dia segera mengalihkan topik pembicaraan.
“Nah, kenapa kata Mas tadi harga mobil baru nggak realistis? Bukankah dengan membeli mobil baru seperti saya kita dijamin bebas perawatan puluhan ribu kilometer dan nggak rewel seperti mobil second punya Mas?”
“Bener sih, Mas. Membeli mobil baru memang membebaskan kita dari urusan service berkala untuk beberapa waktu. Membeli mobil second harus bener-bener teliti. Tapi ada satu alasan saya tadi, coba sekarang sampeyan beli mobil baru, trus sebulan kemudian sampeyan jual, harganya turun berapa? Belum lagi kalo sampeyan jualnya setahun lagi, pas ada seri mobil baru lain keluar, pasti harganya terjun bebas. Itulah yang saya anggap bahwa harga mobil baru itu nggak realistis, Mas. Ada harga yang harus kita bayar atas sebuah status tadi, mobil baru.”

Pria itu tampaknya belum puas dengan argumen saya.

“Tapi mobil second kan resikonya banyak, Mas. Nggak Cuma rewel tapi juga menyangkut legalitasnya. Saya denger banyak mobil bodong tu, Mas. Ngeri, ah.”
“Yah, apapun pilihannya pasti mengandung resiko, Mas. Sekarang kita lihat, mobil baru sampeyan belum setahun sudah harus ganti onderdil juga. Mobil saya udah 10 tahun ya masih bisa jalan. Saya selalu berusaha teliti sebelum membeli mobil second, Mas. Dan saya selalu konsekuen dengan pilihan saya. Saya tidak pernah komplain ke penjual ketika mobil yang saya beli rewel, karena saya tahu ini adalah resiko yang harus saya tanggung sendiri. 
Sama seperti negara ini. Kita lahir dan hidup di negara yang sebenarnya adalah negara second. Apa sebab? Negara ini hanyalah warisan dari nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, yang konon berasal dari Yaman sana, bukan negaranya orang Jawa alau ngLampung sana. Negara ini sejujurnya udah menempuh ratusan bahwkan mungkin jutaan kilometer perjalanannya. Bukan negara yang baru setahun lalu sama-sama-sama kita dirikan. Bukan negara yang fresh from oven. Jadi mbok ya yang proporsional saja ketika suatu saat negara kita harus masuk bengkel seperti mobil kita. Ndak usah terlalu misuh-misuh menyalahkan para pendahulu yang mewariskan negara ini secara gratis kepada kita. Ndak usah juga muring-muring sama sopirnya sekarang, toh di hanyalah sopir tembakan yang suatu saat juga harus diaplus sama sopir lain. Toh kita juga nggak akan selamanya mengangkangi negara ini, seperti juga kita nggak akan selamanya memiliki mobil itu. Paham, Mas?...Paham nggak? Jawab dong, jangan hanya diam aja.”

Tiba-tiba aroma olie gemuk meruah ke hidung saya.

“Pak Slamet, maaf mbangunin tidurnya, mobil mas ini mau keluar tapi kehalang mobil pak Slamet.”

Sialan memang kang Amin ini, jadi mekanik puluhan tahun kok tidak bisa mindahin mobil, pakai acara memutus mimpi indah segala.

Bandung, 30 November 2014.

Friday, November 28, 2014

Cerita Bersambung Bagian Empat - Ketika Zorro Pergi Umroh


Suasana sebuah sore di jalanan belakang Zamzam Tower

Cerita bagian I ada di sini
Cerita bagian II ada di sini
Cerita bagian ke III ada di sini

Ini adalah malam kedua saya di kota Mekkah. Suhu udara terasa masih terasa hangat meski waktu telah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Seusai sholat Isya dan makan malam di foodcourt, saya pamit ke bapak untuk pergi ke ATM terdekat. Sebuah urusan keuangan mengharuskan saya mentransfer sejumlah uang secepatnya.

Dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek di bawah lutut, saya turun ke lantai dasar tower Zamzam. Setelah bertanya kepada petugas keamanan, langkah kaki saya arahkan ke bagian belakang tower ini. Bagian belakang tower ini berupa seutas jalan yang amat ramai oleh pejalan kaki. Jalanan tak pernah lelap selama 24 jam, penuh oleh aktifitas jamaah. Maklum, jalan ini adalah akses utama ke Masjidil Haram dari arah manapun. Aktifitas tersebut beragam, mulai dari hilir mudik jamaah dari dan ke Masjidil Haram, belanja makanan dan oleh-oleh di toko-toko, hingga sekedar duduk-duduk santai.

Di lantai dasar berdiam puluhan jamaah asal Timur Tengah  yang menginap beralaskan selembar tikar. Mereka adalah jamaah musafir yang, meminjam istilah Indonesia, bonek alias modal niat tulus tanpa dukungan keuangan memadai. Mereka berangkat berombongan bahkan ada yang mengajak anak-anak yang masih kecil. Pemandangan ini berkesan kumuh dan jorok. Sampah berserak dimana-mana. Penerangan juga agak minim di sini.

Dengan langkah takut-takut, saya melewati kerumunan jamaah musafir ini. Tepat di dinding lantai dasar tower ini tertempel neon box berukuran besar dan menyolok milik bank Mandiri. Bank plat merah ini menawarkan fasilitas pelayanan nasabahnya selama di Tanah Suci. Dengan bahasa Tarzan saya bertanya ke petugas keamanan tentang letak ATM bank Mandiri tersebut sambil menunjuk-nunjuk neon box itu. Petugas itu menyuruh saya ke lantai 2 tower ini. Di sanalah  katanya letak mesin uang tersebut.

Saya kembali naik ke lantai dua. Di sebuah sudut yang agak tersembunyi dekat dengan eskalator berjejer tiga mesin ATM. Tak ada ATM bank Mandiri di sana. Yang adalah ATM bank setempat. Saya bingung.

“Mau narik uang, Mas?” 
Seorang pemuda tanggung tiba-tiba menyapa saya. Saya tak menduga sama sekali mendapat sapaan itu. Rupanya tampang tak bisa ditipu.
“Enggak, Mas. Saya mau transfer uang ke Indonesia. Bisa pakai ATM ini?”
“Wah, nggak bisa, Mas. Harus ke kantor bank-nya. Kecuali masnya punyak rekening bank sini.”

Kekecewaan melanda. Adalah tak mungkin untuk mendatangi bank tersebut karena jadwal ibadah yang demikian padat. Setelah berucap terima kasih, saya pamit ke pemuda tanggung yang ternyata pekerja di bagian konstruksi itu.

Saya tak langsung kembali ke kamar. Pikiran tegang karena urusan tadi menyulut keinginan untuk nongkrong di jalanan belakang tower tadi.

Sebatang rokok segera saya sulut begitu memasiuki jalan itu. Langkah kaki saya tak tentu arah. Saya hanya berjalan menyusuri trotoar di depan pertokoan yang menjajakan beragam panganan dan oleh-oleh. Sebuah panggilan menghentikan langkah saya.

“Indonesia? Jokowi? Syahrini?”

Edan, bolehlah jika hanya Jokowi yang disebut, saya tak akan terlalu kaget. Tapi begitu nama Syahrini ikut disebut, saya kaget campur heran akan ketenaran artis yang satu ini. Saya menoleh ke arah sumber suara itu. Seorang pemuda berperawakan kekar tersenyum sembari melebarkan kedua tangannya.

“Indonesia? Belanja boleh, ngobrol boleh. Mari.. mari..”
“Tahu dimana ATM Mandiri, like this?” jawab saya sembari mengeluarkan kartu ATM dari dompet.
Second floor,” jawabnya sambil menunjuk lantai yang baru saja saya datangi.
No, there is no ATM like this. I came to there and didn’t find the ATM for this bank.”
 “Oh... saya tidak tahu.”

Baiklah.. ini mungkin bukan malam saya. Saya merasa lelah. Tiang lampu penerangan jalan di depan toko pria itu segera saya jadikan tempat bersandar.

Where are you from?”
“Burma. 12 tahun sudah di sini. Di mana Indonesianya? Kawan saya istrinya orang Karawang,” katanya sambil mennjuk pria lain yang sedang melayani pembeli di toko  itu.
Are you sure? Karawang?” saya tergelak.
Yes, he says that wife so beautiful.”
“And your own wife?”
“Burma. Saya tak suka perempuan lain (negara).”
Why? Your friend did it.”
“Aha.. he cant find the local girl, so he married your girl.”

Kurang ajar juga si Burma ini. Masak gadis Indonesia dilecehkan begitu setelah dia tadi nyebut-nyebut si bahenol Syahrini.

Tiba-tiba saya teringat dengan stok rokok saya yang sudah menipis. Saya hanya membawa 5 pack rokok Sampoerna Mild dari Indonesia.

Where can I buy it?”
“Oh.. Indonesian cigarettes? You can go to outside market. Ten miles from here.”

Alamak.... jauh amat. Saat itu saya lupa bahwa rokok sebenarnya haram hukumnya di Tanah Suci. Yang mengherankan, meskipun diharamkan, tak sulit mencari perokok di sekitar Masjidil Haram sekalipun. Bahkan tadi sore saya menemui pria Arab tulen dengan acuhnya merokok di dalam mal Zamzam yang jelas-jelas berpendingin udara. Di Indonesia yang terkenal dengan kebandelan perokoknya saja, rasanya sudah tak mungkin menemui orang merokok di dalam mal.

“Assalamualaikum wr wb........................”

Seorang pria paruh baya tinggi besar berjubah menghampiri saya. Di tangannya tertenteng kantong plastik. Hanya salam itu yang bisa saya dengar, kalimat selanjutnya tak bisa saya artikan karena diucapkan dalam bahasa Arab.

Wa alaikum salam wr wb. Yes, anything I can do for you?

Dia nerocos tetap dalam bahasa Arab sambil menunjuk-nunjuk rokok saya. Dengan senang hati saya sodorkan bungkus rokok kepadanya. Di dalamnya masih tersisa beberapa batang. Pria itu menggelengkan kepalanya. Lalu dia melakukan gerakan seolah membuang rokok di jalan lalu menginjaknya dengan telapak kaki. Saya menoleh ke pemuda Burma tadi.

He told you to shut down your cigarettes, Teman.”

Saya terperangah. Semula saya mengira dia minta rokok kepada saya. Dengan takut-takut saya segera membuang rokok yang sedang saya hisap ke hadapannya. Saya sudah membayangkan bakal dipenjara oleh pemerintah setempat gara-gara merokok di Tanah Suci. Dengan sigap dia segera menginjak rokok tersebut sembari tetap berkata-kata dalam bahasa ibunya. Saya kembali menoleh ke si Burma.

“Dia memberi nasehat kepadamu, Teman. Kamu ke sini kan mau ibadah, bukan melancong. Daripada nongkrong di sini mending tidur atau pergi ke masjid.”

Mendengar terjemahan si Burma saya tertunduk malu. Pria tinggi besar itu lantas mohon diri sembari mencium kening jidat saya dengan hangat. Wajahnya amat teduh dan jernih. Dia segera hilang ditelan lautan manusia yang sedang menyemut ke arah Masjidil Haram.

Who is he?”
“Dia orang asli Mekkah. Salah tiap jam 10 malam pasti lewat sini. Dia salah satu Imam Masjidil Haram.”

Saya terbelalak. Urusan rokok ini ternyata membawa keberuntungan buat saya, merasakan kecupan seorang Imam Masjidil Haram.

Bandung, 28 November 2014.

Sunday, November 16, 2014

Ngayani, Nganaki, Ngeloni

Kandang Ayam itu
Hari telah larut malam ketika mobil yang membawa kami tiba di Jarum, kampung kelahiran saya. Penumpang mobil tersebut hanya saya dan bapak. Adalah Evi, teman SMA yang bermurah hati meminjamkan mobil beserta sopirnya kepada kami. Rute Solo - Jarum sejauh 74 kilometer  kami tempuh dalam dua jam.

Begitu pintu rumah saya buka, tampak empat orang berada di dalamnya. Mereka adalah pakde Saman, lek Tuki, sepupu bapak, dan kang Giyo bersama istrinya. Memang beginilah kebiasaan keluarga kami, ketika ada salah satu saudara yang sedang mengalami kesedihan, kami saling membantu sebisanya. Bapak dan pakde Saman tak pernah sendirian berada di rumah selama ibu dirawat inap di Solo.

Setelah berbincang sejenak, mereka bertiga kemudian pamit pulang ke rumah masing-masing. Kang Giyo dan istrinya pulang ke kampung seberang sungai, sementara lek Tuki pulang ke rumahnya yang terletak di sebelah timur rumah kami. Posisi rumahya lebih tinggi daripada rumah bapak karea kontur desa saya memang berbukit-bukit. Rumah kami dengan rumah lek Tuki dipisahkan oleh kebun kunyit dan singkong milik bapak.

"Anterin aku sampai tanjakan yo, To... Gelap," pinta lek Tuki kepada saya. Suami lek Tuki baru saja meninggal dunia menjelang lebaran lalu.

Saya segera mengambil senter untuk menerangi perjalanan kami. Hawa musim kemarau amat terasa di sini. Kelembaban amat minim pun juga suhu udara yang dingin ketika malam tiba. Rerumputan dan perdu pun tampak kusam mengering.

"Udah, To.. Nganternya sampai sini wae. Sana cepet istirahat yo.." ujar lek Tuki ketika langkah kami sampai di mulut tanjakan.

Saya tak segera kembali ke rumah. Di samping kandang ayam ini terdapat petakan lahan berisi tanaman singkong dan pisang. Saya sorot tanaman yang tetap tumbuh subur itu meski terpanggang terik kemarau itu dengan senter. Saya kagum dengan kerapihan petakan itu. Tak tampak perdu di sela-sela tanaman, pertanda bapak amat memperhatikan kualitas lahannya.

Suara langkah bapak mengagetkan saya. Semula saya mengira dia langsung sare ketika saya tinggal mengantar lek Tuki tadi.

"Gimana taneman singkongmu, To?"
"Wah... Nggak kalah subur lho sama taneman Bapak."
"Iyo, Le. Segala sesuatu itu asal ditekuni dengan serius pasti hasilnya bagus."
"Inggih, Pak."

Kami lantas berjalan beriringan ke kandang ayam. Kandang berukurang 7 x 5 meter itu disekat menjadi dua bagian. Bagian sebelah barat dibiarkan tanpa dinding. Di tengah-tengahnya terdapat dua tungku yang terbuat dari batu padas. Pada saat-saat tertentu, ketika kapasitas kompor gas sudah penuh, dua tungku itu diberdayakan. Bagian timur kandang ini disekat dengan dinding bambu. Di sini lah puluhan ayam milik bapak berdiam. Tampaknya dinding itu baru saja dibenahi. Hal itu terlihat dari bilah-bilah bambu itu masih rapi terpaku di tiang-tiang rumah. Tak hanya itu, di sekeliling ruangan ini bapak membuat tempat plangkringan ayamnya dengan bentuk mengitari ruangan. Posisinya setinggi dua meter dari lantai tanah.

"Kenapa dibuat melingkar, Pak?"

"Lha ini ada maksudnya, Le. Lihatlah ayam-ayam itu. Masing-masing bergerombol dengan induknya. Dengan bentuk melingkar seperti ini, maka mereka tidak berdesak-desakan. Ayam itu seperti manusia, hidupnya tak nyaman jika rumah tinggalnya sempit."

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan yang sangat ilmiah dari pria ini. Kami masuk ke ruangan itu. Lantai tanah terasa lembab. Meski di atasnya berdiam puluhan ayam, lantai kandang ini lumayan bersih dari kotoran ayam. Setiap pagi bapak membersihkan kotoran ayamnya lantas dia kumpulkan di sudut ruangan untuk suatu saat digunakan untuk memupuk tanaman. Sungguh sebuah siklus makanan yang tak ada putusnya.

"Dengan bentuk melingkar seperti ini jadi kayak ruang sidang DPR yo, To...hahaha..."

Saya ikut tergelak. Meski tak pernah baca koran, namun bapak amat rajin mengikuti perkembangan politik negeri ini lewat siaran televisi. Topik politik memang sering menjadi bahan obrolan kami.

Kami telah berada di dalam rumah. Bapak sudah berbaring di kasur yang tergelar di tengah ruangan sembari mendengarkan siaran wayang kulit. Sayup-sayup suluk ki Anom Suroto terdengar gandem mengalun di keheningan malam. Saya membawa teh panas yang barusan saya seduh ke samping bapak. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan malam ini juga, karena besok pagi saya harus kembali ke Bandung.

"Jadi pripun, Pak? Apa ibu boleh kami bawa ke Bogor biar berobat di sana?"


Kami adalah empat bersaudara. Saat ini saya sekeluarga tinggal di Bandung. Adik saya nomor dua, Titik, tinggal di Jarum. Bowo, adik saya nomor tiga tinggal di Bogor, sedangkan si bontot, Indarto, tinggal di Jakarta. Bapak bangun dari tidurnya. Dia lantas duduk bersila berhadapan dengan saya.

"Gini lho, To. Bukannya Bapak nggak ngijinin niat baik kalian merawat ibumu. Bapak hanya pengin menunaikan kewajiban Bapak sebagai suaminya."

Saya terhenyak mendengar perkataan bapak barusan.

"Mmmm... maksudnya pripun, Pak?"
"Jadi wong lanang itu tugasnya tiga, Le. Ngayani, nganaki lan ngeloni."

"Hahahaha... Bapak ini ada-ada saja. Bukankah tiga hal itu sudah lunas Bapak lakukan ke Ibu? Bapak sudah ngayani Ibu, terbukti sudah mandiri sejak lama, nggak ngenger mertua lagi. Bapak sudah nganaki Ibu, terbukti sudah menurunkan kami berempat. Pun Bapak sudah ngeloni Ibu, terbukti Bapak dan Ibu selalu bersama baik dalam suka maupun duka."

"Iyo, Kamu bener. Cuma saat ini kan Ibumu beda sakitnya. Stroke itu pasti berimbas ke mentalnya. Aku nggak mau kalian yang masih ribet urusan anak-anak kalian itu jadi terganggu dengan urusan ngrukti Ibumu. Biarlah aku dan adikmu, Titik, yang ngrawat Ibumu. Kalian bertiga di Jakarta dan Bandung cukup nyumbang doa saja."

Siaran wayang kulit itu telah memasuki babak perang kembang. Patih Sengkuni sedang dihajar oleh Bima karena mencoba mengganggu keluarga Pandawa. Lolongannya tak digubris oleh putra kedua Pandu Dewanata.

"Bumi gonjang-ganjing langit kelap- kelap katon, lir kincanging alis, risang mawèh gandrung, Oooong. Sabarang kadulu. Wukir moyag mayig saking tyas baliwur, Ooooong.."

Suluk itu seolah menggambarkan suasana batin saya yang tengah terombang-ambing. Di satu sisi kami pengin merawat ibu agar kondisinya lekas pulih, namun di sisi lain bapak bersikukuh pada pendiriannya.

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh."

Hanya sekelumit kalimat itulah yang mampu saya ucapkan. Saya segera berbaring di sampingnya. Suara beragam serangga malam bersahut-sahutan di luar sana. Saya sedikit merapatkan posisi badan ke arah bapak. Saya kangen hembusan nafasnya yang dahulu selalu membelai tengkuk saya setiap malam.

wae : saja
pripun : bagaimana
wong lanang : pria
ngayani : menafkahi
nganaki : memberi keturunan
ngeloni : merawat
ngenger : numpang hidup
ngrukti : mewawat
sendika dawuh : siap sedia

Yogyakarta - Bandung, 16 November 2014.

Sunday, November 2, 2014

Membakar Singkong di Pantai Kuta

Tanaman singkong di samping rumah dinas saya
Seorang kawan tiba-tiba menggerutu. Dia dan timnya baru saja menerima hadiah lomba tennis lapangan dalam rangka hari Oeang ke 68. Timnya berhasil menjuarai pertandingan tersebut dan memenangkan hadiah berupa handuk kecil. Apa yang membuatnya menggerutu? Rupanya dia iri dengan hadiah door prize yang lebih wah; mulai dari piring dan gelas sampai laptop dan sepeda gunung. Baginya hal itu merupakan bentuk ketidakadilan. Dia dan timnya merasa sudah berjuang membela institusi namun hanya dihargai sebuah handuk kecil; sementara yang bermodal keberuntungan bisa mendapatkan laptop anyar.

Hal yang kurang lebih sama sedang terjadi juga di Direktorat Jenderal Pajak. Di berbagai ajang obrolan, baik obrolan langsung maupun obrolan melalui dunia maya, topik take home pay sedang happening. Cakupan pembahasannya pun amat luas, mulai dari faktor inflasi, analisis biaya hidup, posisi organisasi, kepribadian pimpinan,  political will pemerintah, sampai peran dan fungsi fiskus dalam negara ini, seperti dirasakan teman saya tadi.

Saya termasuk yang tidak terlalu antusias menanggapi seliweran obrolan tersebut. Bagi saya, walaupun terkesan klise, rejeki itu sudah ada yang mengatur. Saya bukan sok kaya, kenyataannya bulan-bulan terakhir ini kondisi keuangan keluarga juga sedang amat mepet.
Tulisan ini saya buat bukan untuk mementahkan argumen teman-teman saya. Bukan pula untuk memupus harapan teman-teman, termasuk harapan saya sendiri akan perbaikan penghasilan di institusi tempat saya mengabdi. Saya hanya berusaha bersikap adil terhadap diri saya agar tak terjebak dalam pragmatisme sikap yang cenderung membabi buta dan mengedepankan emosi dibandingkan dengan nalar.

Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah institusi yang tugasnya jelas, mengumpulkan penerimaan negara dari sektor pajak. Targetnya tidak main-main, di atas 1.100 triliun rupiah. Jumlah tersebut jika dibagi dengan jumlah hari dalam setahun akan menghasilkan angka sekitar 3 triliun rupiah. Jumlah itulah yang setiap hari harus dikumpulkan oleh fiskus setiap hari, tanpa mengenal hari libur. Saya setuju dengan peran seperti itu maka kami berhak mengakui bahwa kami adalah pahlawan keuangan, sama seperti pengakuan teman saya tadi yang menjadi pahlawan kantornya dalam bidang olah raga.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan status tersebut kita lantas berhak menuntut penghasilan sesuai kebutuhan hidup kita? Pernyataan tentang kebutuhan hidup sendiri sudah sangat absurd, amat longgar batasannya. Kebutuhan hidup keluarga saya jelas berbeda dengan kebutuhan hidup teman saya yang masih berstatus bujangan. Kebutuhan hidup keluarga saya dengan dua anak yang telah bersekolah menengah pertama dan menengah atas jelas berbeda dengan kelaurga yang anaknya sudah kuliah atau masih duduk di bangku sekolah dasar. Kebutuhan hidup juga erat kaitannya dengan gaya hidup seseorang.

Jika dikaitkan dengan peran dan fungsi organisasi, apakah kita juga berhak menuntut imbalan penghasilan sebagai pahlawan keuangan negara? Mari kita tengok pahlawan-pahlawan  lain di negeri ini. Seorang anggota marinir berpangkat tamtama yang bertugas di perbatasan berpenghasilan sebulan rata-rata 4 juta rupiah. Fasilitas apa yang dia peroleh? Yang dia peroleh adalah kesunyian tanpa batas, kesendirian tak berujung, dan kewajiban siaga 24 jam. Seorang tenaga medis di daerah pedalaman juga mengalami kondisi tak beda jauh dengan sang serdadu tadi. Pun juga saudara sekandung kita, aparat Bea dan Cukai yang harus mempertaruhkan nyawa di tengah gelombang samudera melawan penyelundup yang tak mengenal kata ampun. Juga rekan-rekan kita di Direktorat Jenderal lain di bawah Kementerian Keuangan. Guru, tentara, fiskus, tenaga medis, penyuluh pertanian, petugas pemadam kebakaran, atau siapapun mereka, yang bekerja sebagai aparat pemerintah, adalah pahlawan negara dalam kapasitasnya masing-masing.

Remunerasi yang diterapkan di Ditjen Pajak sejak tahun 2007 sampai sekarang memang tak pernah mengalami kenaikan. Jika dikaitkan dengan faktor inflasi, katakanlah rata-rata 6% per tahun, maka dalam kurun waktu 7 tahun penghasilan riil kita telah tergerus 42%. Artinya penghasilan riil fiskus sekarang ini hanya naik 58% dari penghasilan sebelum diterapkan remunerasi. Jika dibandingkan dengan beban kerja fiskus hasilnya akan lebih dahsyat lagi. Tahun 2007 realisasi penerimaan pajak adalah 425 triliun rupiah, sementara jumlah fiskus saat itu adalah 32 ribu orang. Artinya satu orang fiskus berperan sebesar 13 milyar rupiah dalam pengumpulan pajak. Tahun 2013 realisasi peneriman pajak adalah 995 triliun rupiah, sedangkan jumlah fiskus saat ini sama dengan saat itu, yaitu 32 ribu orang. Artinya setiap fiskus berperan sebanyak 31 milyar rupiah dalam pengumpulan pajak tahun 2013. Jumlah itu artinya peran serta fiskus naik hampir 300% selama kurun waktu 7 tahun. Sungguh ironis, jumlah output makin naik tetapi jumlah imbalan naik dengan prosentase yang amat tak berimbang. Bandingkan dengan konsep pemberian penghasilan kepada tenaga pemasar sebuah perusahaan yang berbasis produktifitas, maka hasilnya  sangat kontradiktif.

Topik obrolan lain seputar penghasilan fiskus adalah dengan mengaitkan penghasilan kami dengan penghasilan yang diterima profesi lain yang sejenis, misalnya pegawai Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Dinas Pajak Pemda DKI atau BUMN. Memang amat tidak adil, dari 138 BUMN pada tahun 2013 hanya menyetorkan deviden ke pemerintah sebesar 38 triliun rupiah. Ketidakadilan itu jika dibandingkan dengan tingkat penghasilan pegawainya yang rata-rata di atas penghasilan PNS. Belum lagi jika penghasilan fiskus dibandingkan dengan penghasilan pegawai BI dan OJK, plus fasilitas yang mereka terima. Saya setuju bahwa itu tidak adil. Namun keadaan tersebut tidak lantas membuat saya bersikap sporadis. Tengoklah penghasilan pilot pesawat tempur F-16 yang berada di kisaran 5 juta rupiah, lalu bandingkan dengan profesi sejenis di Garuda Indonesia yang memberikan penghasilan 8 kali lipatnya. Apakah itu adil?

Pemerintahan baru Jokowi-JK sempat membuncahkan harapan bagi fiskus. Kami semua berharap posisi organisasi Ditjen Pajak mengalami kenaikan pangkat, dari Eselon I menjadi sebuah badan yang mandiri dan terpisah dari Kementerian Keuangan. Harapannya dengan terpisah dari Kemenkeu dan berada langsung di bawah Presiden, penghasilan fiskus akan lebih fleksibel, tak terganggu oleh keirian saudara sekandung kami di Direktorat Jenderal lain di bawah Kemenkeu. Apa lacur, sampai saat ini semua itu masih samar-samar. Rejim baru tidak/belum menampakkan niat yang kuat untuk memperkuat posisi Ditjen Pajak. Saya makfum saja. Mengubah struktur organisasi pemerintahan jelas bukan perkara sederhana dan mudah. Rentetan pekerjaan klerikalnya amat panjang dan rumit. Jangan-jangan waktu dua tahun masih terlalu singkat. Berbeda dengan proses melahirkan lembaga baru semisal Mahkamah Konsitutisi atau OJK. Saya tahu persis bahwa proses merenovasi rumah secara besar-besaran akan lebih rumit dibandingkan dengan membangun konstruksi rumah baru.

Maka di ujung tulisan ini saya memilih jalan logika yang mungkin tidak populer. Jalan logika itu adalah ruang fiskal, istilah yang harusnya tidak asing bagi semua fiskus. Mungkin penjelasan saya berikut ini akan seperti menggarami samudra bagi fiskus. Tengoklah posisi APBN kita per Oktober 2014. Defisit APBN per 13 Oktober 2014 adalah 107 triliun rupiah dan sampai akhir tahun diproyeksikan akan mencapai 241,5 triliun rupiah. Saya tak akan menjelaskan penyebab hal itu. Saya hanya akan menganalogikan kondisi tersebut secara sederhana. Ketika hal itu terjadi pada kondisi keuangan rumah tangga saya, maka alternatif saya hanya ada dua, berhutang untuk memenuhi kebutuhan yang sudah dianggarkan atau memangkas pengeluaran yang tidak terlalu diperlukan.

Saya tak akan pernah berandai-andai memesan tiket liburan akhir tahun ke Bali. Membakar singkong hasil panenan kebun di rumah dinas sembari menikmati semilir angin di halaman rumah pasti lebih realistis bagi saya.

Sumber:
1.    Website Ditjen Pajak
2.    Website Badan Pusat Statistik
3.    Wikipedia

Bandung, 2 Nopember 2014, 21.0 WIB