Friday, November 28, 2014

Cerita Bersambung Bagian Empat - Ketika Zorro Pergi Umroh


Suasana sebuah sore di jalanan belakang Zamzam Tower

Cerita bagian I ada di sini
Cerita bagian II ada di sini
Cerita bagian ke III ada di sini

Ini adalah malam kedua saya di kota Mekkah. Suhu udara terasa masih terasa hangat meski waktu telah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Seusai sholat Isya dan makan malam di foodcourt, saya pamit ke bapak untuk pergi ke ATM terdekat. Sebuah urusan keuangan mengharuskan saya mentransfer sejumlah uang secepatnya.

Dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek di bawah lutut, saya turun ke lantai dasar tower Zamzam. Setelah bertanya kepada petugas keamanan, langkah kaki saya arahkan ke bagian belakang tower ini. Bagian belakang tower ini berupa seutas jalan yang amat ramai oleh pejalan kaki. Jalanan tak pernah lelap selama 24 jam, penuh oleh aktifitas jamaah. Maklum, jalan ini adalah akses utama ke Masjidil Haram dari arah manapun. Aktifitas tersebut beragam, mulai dari hilir mudik jamaah dari dan ke Masjidil Haram, belanja makanan dan oleh-oleh di toko-toko, hingga sekedar duduk-duduk santai.

Di lantai dasar berdiam puluhan jamaah asal Timur Tengah  yang menginap beralaskan selembar tikar. Mereka adalah jamaah musafir yang, meminjam istilah Indonesia, bonek alias modal niat tulus tanpa dukungan keuangan memadai. Mereka berangkat berombongan bahkan ada yang mengajak anak-anak yang masih kecil. Pemandangan ini berkesan kumuh dan jorok. Sampah berserak dimana-mana. Penerangan juga agak minim di sini.

Dengan langkah takut-takut, saya melewati kerumunan jamaah musafir ini. Tepat di dinding lantai dasar tower ini tertempel neon box berukuran besar dan menyolok milik bank Mandiri. Bank plat merah ini menawarkan fasilitas pelayanan nasabahnya selama di Tanah Suci. Dengan bahasa Tarzan saya bertanya ke petugas keamanan tentang letak ATM bank Mandiri tersebut sambil menunjuk-nunjuk neon box itu. Petugas itu menyuruh saya ke lantai 2 tower ini. Di sanalah  katanya letak mesin uang tersebut.

Saya kembali naik ke lantai dua. Di sebuah sudut yang agak tersembunyi dekat dengan eskalator berjejer tiga mesin ATM. Tak ada ATM bank Mandiri di sana. Yang adalah ATM bank setempat. Saya bingung.

“Mau narik uang, Mas?” 
Seorang pemuda tanggung tiba-tiba menyapa saya. Saya tak menduga sama sekali mendapat sapaan itu. Rupanya tampang tak bisa ditipu.
“Enggak, Mas. Saya mau transfer uang ke Indonesia. Bisa pakai ATM ini?”
“Wah, nggak bisa, Mas. Harus ke kantor bank-nya. Kecuali masnya punyak rekening bank sini.”

Kekecewaan melanda. Adalah tak mungkin untuk mendatangi bank tersebut karena jadwal ibadah yang demikian padat. Setelah berucap terima kasih, saya pamit ke pemuda tanggung yang ternyata pekerja di bagian konstruksi itu.

Saya tak langsung kembali ke kamar. Pikiran tegang karena urusan tadi menyulut keinginan untuk nongkrong di jalanan belakang tower tadi.

Sebatang rokok segera saya sulut begitu memasiuki jalan itu. Langkah kaki saya tak tentu arah. Saya hanya berjalan menyusuri trotoar di depan pertokoan yang menjajakan beragam panganan dan oleh-oleh. Sebuah panggilan menghentikan langkah saya.

“Indonesia? Jokowi? Syahrini?”

Edan, bolehlah jika hanya Jokowi yang disebut, saya tak akan terlalu kaget. Tapi begitu nama Syahrini ikut disebut, saya kaget campur heran akan ketenaran artis yang satu ini. Saya menoleh ke arah sumber suara itu. Seorang pemuda berperawakan kekar tersenyum sembari melebarkan kedua tangannya.

“Indonesia? Belanja boleh, ngobrol boleh. Mari.. mari..”
“Tahu dimana ATM Mandiri, like this?” jawab saya sembari mengeluarkan kartu ATM dari dompet.
Second floor,” jawabnya sambil menunjuk lantai yang baru saja saya datangi.
No, there is no ATM like this. I came to there and didn’t find the ATM for this bank.”
 “Oh... saya tidak tahu.”

Baiklah.. ini mungkin bukan malam saya. Saya merasa lelah. Tiang lampu penerangan jalan di depan toko pria itu segera saya jadikan tempat bersandar.

Where are you from?”
“Burma. 12 tahun sudah di sini. Di mana Indonesianya? Kawan saya istrinya orang Karawang,” katanya sambil mennjuk pria lain yang sedang melayani pembeli di toko  itu.
Are you sure? Karawang?” saya tergelak.
Yes, he says that wife so beautiful.”
“And your own wife?”
“Burma. Saya tak suka perempuan lain (negara).”
Why? Your friend did it.”
“Aha.. he cant find the local girl, so he married your girl.”

Kurang ajar juga si Burma ini. Masak gadis Indonesia dilecehkan begitu setelah dia tadi nyebut-nyebut si bahenol Syahrini.

Tiba-tiba saya teringat dengan stok rokok saya yang sudah menipis. Saya hanya membawa 5 pack rokok Sampoerna Mild dari Indonesia.

Where can I buy it?”
“Oh.. Indonesian cigarettes? You can go to outside market. Ten miles from here.”

Alamak.... jauh amat. Saat itu saya lupa bahwa rokok sebenarnya haram hukumnya di Tanah Suci. Yang mengherankan, meskipun diharamkan, tak sulit mencari perokok di sekitar Masjidil Haram sekalipun. Bahkan tadi sore saya menemui pria Arab tulen dengan acuhnya merokok di dalam mal Zamzam yang jelas-jelas berpendingin udara. Di Indonesia yang terkenal dengan kebandelan perokoknya saja, rasanya sudah tak mungkin menemui orang merokok di dalam mal.

“Assalamualaikum wr wb........................”

Seorang pria paruh baya tinggi besar berjubah menghampiri saya. Di tangannya tertenteng kantong plastik. Hanya salam itu yang bisa saya dengar, kalimat selanjutnya tak bisa saya artikan karena diucapkan dalam bahasa Arab.

Wa alaikum salam wr wb. Yes, anything I can do for you?

Dia nerocos tetap dalam bahasa Arab sambil menunjuk-nunjuk rokok saya. Dengan senang hati saya sodorkan bungkus rokok kepadanya. Di dalamnya masih tersisa beberapa batang. Pria itu menggelengkan kepalanya. Lalu dia melakukan gerakan seolah membuang rokok di jalan lalu menginjaknya dengan telapak kaki. Saya menoleh ke pemuda Burma tadi.

He told you to shut down your cigarettes, Teman.”

Saya terperangah. Semula saya mengira dia minta rokok kepada saya. Dengan takut-takut saya segera membuang rokok yang sedang saya hisap ke hadapannya. Saya sudah membayangkan bakal dipenjara oleh pemerintah setempat gara-gara merokok di Tanah Suci. Dengan sigap dia segera menginjak rokok tersebut sembari tetap berkata-kata dalam bahasa ibunya. Saya kembali menoleh ke si Burma.

“Dia memberi nasehat kepadamu, Teman. Kamu ke sini kan mau ibadah, bukan melancong. Daripada nongkrong di sini mending tidur atau pergi ke masjid.”

Mendengar terjemahan si Burma saya tertunduk malu. Pria tinggi besar itu lantas mohon diri sembari mencium kening jidat saya dengan hangat. Wajahnya amat teduh dan jernih. Dia segera hilang ditelan lautan manusia yang sedang menyemut ke arah Masjidil Haram.

Who is he?”
“Dia orang asli Mekkah. Salah tiap jam 10 malam pasti lewat sini. Dia salah satu Imam Masjidil Haram.”

Saya terbelalak. Urusan rokok ini ternyata membawa keberuntungan buat saya, merasakan kecupan seorang Imam Masjidil Haram.

Bandung, 28 November 2014.