Tanaman singkong di samping rumah dinas saya |
Hal yang kurang lebih sama sedang terjadi juga di
Direktorat Jenderal Pajak. Di berbagai ajang obrolan, baik obrolan langsung
maupun obrolan melalui dunia maya, topik take home pay sedang happening. Cakupan
pembahasannya pun amat luas, mulai dari faktor inflasi, analisis biaya hidup,
posisi organisasi, kepribadian pimpinan, political will pemerintah, sampai peran dan
fungsi fiskus dalam negara ini, seperti dirasakan teman saya tadi.
Saya termasuk yang tidak terlalu antusias menanggapi
seliweran obrolan tersebut. Bagi saya, walaupun terkesan klise, rejeki itu
sudah ada yang mengatur. Saya bukan sok kaya, kenyataannya bulan-bulan
terakhir ini kondisi keuangan keluarga juga sedang amat mepet.
Tulisan ini saya buat bukan untuk mementahkan argumen
teman-teman saya. Bukan pula untuk memupus harapan teman-teman, termasuk
harapan saya sendiri akan perbaikan penghasilan di institusi tempat saya mengabdi.
Saya hanya berusaha bersikap adil terhadap diri saya agar tak terjebak dalam
pragmatisme sikap yang cenderung membabi buta dan mengedepankan emosi
dibandingkan dengan nalar.
Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah institusi yang
tugasnya jelas, mengumpulkan penerimaan negara dari sektor pajak. Targetnya tidak
main-main, di atas 1.100 triliun rupiah. Jumlah tersebut jika dibagi dengan
jumlah hari dalam setahun akan menghasilkan angka sekitar 3 triliun rupiah. Jumlah
itulah yang setiap hari harus dikumpulkan oleh fiskus setiap hari, tanpa
mengenal hari libur. Saya setuju dengan peran seperti itu maka kami berhak
mengakui bahwa kami adalah pahlawan keuangan, sama seperti pengakuan teman saya
tadi yang menjadi pahlawan kantornya dalam bidang olah raga.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan status
tersebut kita lantas berhak menuntut penghasilan sesuai kebutuhan hidup kita? Pernyataan
tentang kebutuhan hidup sendiri sudah sangat absurd, amat longgar batasannya. Kebutuhan
hidup keluarga saya jelas berbeda dengan kebutuhan hidup teman saya yang masih
berstatus bujangan. Kebutuhan hidup keluarga saya dengan dua anak yang telah
bersekolah menengah pertama dan menengah atas jelas berbeda dengan kelaurga
yang anaknya sudah kuliah atau masih duduk di bangku sekolah dasar. Kebutuhan hidup
juga erat kaitannya dengan gaya hidup seseorang.
Jika dikaitkan dengan peran dan fungsi organisasi, apakah
kita juga berhak menuntut imbalan penghasilan sebagai pahlawan keuangan negara?
Mari kita tengok pahlawan-pahlawan lain
di negeri ini. Seorang anggota marinir berpangkat tamtama yang bertugas di
perbatasan berpenghasilan sebulan rata-rata 4 juta rupiah. Fasilitas apa yang
dia peroleh? Yang dia peroleh adalah kesunyian tanpa batas, kesendirian tak
berujung, dan kewajiban siaga 24 jam. Seorang tenaga medis di daerah pedalaman
juga mengalami kondisi tak beda jauh dengan sang serdadu tadi. Pun juga saudara
sekandung kita, aparat Bea dan Cukai yang harus mempertaruhkan nyawa di tengah
gelombang samudera melawan penyelundup yang tak mengenal kata ampun. Juga rekan-rekan
kita di Direktorat Jenderal lain di bawah Kementerian Keuangan. Guru, tentara,
fiskus, tenaga medis, penyuluh pertanian, petugas pemadam kebakaran, atau siapapun
mereka, yang bekerja sebagai aparat pemerintah, adalah pahlawan negara dalam
kapasitasnya masing-masing.
Remunerasi yang diterapkan di Ditjen Pajak sejak tahun
2007 sampai sekarang memang tak pernah mengalami kenaikan. Jika dikaitkan dengan
faktor inflasi, katakanlah rata-rata 6% per tahun, maka dalam kurun waktu 7
tahun penghasilan riil kita telah tergerus 42%. Artinya penghasilan riil fiskus
sekarang ini hanya naik 58% dari penghasilan sebelum diterapkan remunerasi. Jika
dibandingkan dengan beban kerja fiskus hasilnya akan lebih dahsyat lagi. Tahun 2007
realisasi penerimaan pajak adalah 425 triliun rupiah, sementara jumlah fiskus
saat itu adalah 32 ribu orang. Artinya satu orang fiskus berperan sebesar 13 milyar rupiah dalam pengumpulan pajak. Tahun 2013 realisasi peneriman pajak
adalah 995 triliun rupiah, sedangkan jumlah fiskus saat ini sama dengan saat
itu, yaitu 32 ribu orang. Artinya setiap fiskus berperan sebanyak 31 milyar rupiah dalam pengumpulan pajak tahun 2013. Jumlah itu artinya peran serta
fiskus naik hampir 300% selama kurun waktu 7 tahun. Sungguh ironis, jumlah
output makin naik tetapi jumlah imbalan naik dengan prosentase yang amat tak
berimbang. Bandingkan dengan konsep pemberian penghasilan kepada tenaga pemasar
sebuah perusahaan yang berbasis produktifitas, maka hasilnya sangat kontradiktif.
Topik obrolan lain seputar penghasilan fiskus adalah
dengan mengaitkan penghasilan kami dengan penghasilan yang diterima profesi
lain yang sejenis, misalnya pegawai Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan,
Dinas Pajak Pemda DKI atau BUMN. Memang amat tidak adil, dari 138 BUMN pada
tahun 2013 hanya menyetorkan deviden ke pemerintah sebesar 38 triliun rupiah. Ketidakadilan
itu jika dibandingkan dengan tingkat penghasilan pegawainya yang rata-rata di
atas penghasilan PNS. Belum lagi jika penghasilan fiskus dibandingkan dengan
penghasilan pegawai BI dan OJK, plus fasilitas yang mereka terima. Saya setuju
bahwa itu tidak adil. Namun keadaan tersebut tidak lantas membuat saya bersikap
sporadis. Tengoklah penghasilan pilot pesawat tempur F-16 yang berada di
kisaran 5 juta rupiah, lalu bandingkan dengan profesi sejenis di Garuda
Indonesia yang memberikan penghasilan 8 kali lipatnya. Apakah itu adil?
Pemerintahan baru Jokowi-JK sempat membuncahkan harapan
bagi fiskus. Kami semua berharap posisi organisasi Ditjen Pajak mengalami
kenaikan pangkat, dari Eselon I menjadi sebuah badan yang mandiri dan terpisah
dari Kementerian Keuangan. Harapannya dengan terpisah dari Kemenkeu dan berada
langsung di bawah Presiden, penghasilan fiskus akan lebih fleksibel, tak
terganggu oleh keirian saudara sekandung kami di Direktorat Jenderal lain di
bawah Kemenkeu. Apa lacur, sampai saat ini semua itu masih samar-samar. Rejim
baru tidak/belum menampakkan niat yang kuat untuk memperkuat posisi Ditjen
Pajak. Saya makfum saja. Mengubah struktur organisasi pemerintahan jelas bukan
perkara sederhana dan mudah. Rentetan pekerjaan klerikalnya amat panjang dan
rumit. Jangan-jangan waktu dua tahun masih terlalu singkat. Berbeda dengan
proses melahirkan lembaga baru semisal Mahkamah Konsitutisi atau OJK. Saya tahu
persis bahwa proses merenovasi rumah secara besar-besaran akan lebih rumit
dibandingkan dengan membangun konstruksi rumah baru.
Maka di ujung tulisan ini saya memilih jalan logika yang
mungkin tidak populer. Jalan logika itu adalah ruang fiskal, istilah yang
harusnya tidak asing bagi semua fiskus. Mungkin penjelasan saya berikut ini
akan seperti menggarami samudra bagi fiskus. Tengoklah posisi APBN kita per
Oktober 2014. Defisit APBN per 13 Oktober 2014 adalah 107 triliun rupiah dan
sampai akhir tahun diproyeksikan akan mencapai 241,5 triliun rupiah. Saya tak
akan menjelaskan penyebab hal itu. Saya hanya akan menganalogikan kondisi tersebut
secara sederhana. Ketika hal itu terjadi pada kondisi keuangan rumah tangga
saya, maka alternatif saya hanya ada dua, berhutang untuk memenuhi kebutuhan
yang sudah dianggarkan atau memangkas pengeluaran yang tidak terlalu
diperlukan.
Saya tak akan pernah berandai-andai memesan tiket liburan
akhir tahun ke Bali. Membakar singkong hasil panenan kebun di rumah dinas sembari
menikmati semilir angin di halaman rumah pasti lebih realistis bagi saya.
Sumber:
1. Website
Ditjen Pajak
2. Website
Badan Pusat Statistik
3. Wikipedia
Bandung, 2 Nopember 2014, 21.0 WIB
Bandung, 2 Nopember 2014, 21.0 WIB
No comments:
Post a Comment