Sunday, November 16, 2014

Ngayani, Nganaki, Ngeloni

Kandang Ayam itu
Hari telah larut malam ketika mobil yang membawa kami tiba di Jarum, kampung kelahiran saya. Penumpang mobil tersebut hanya saya dan bapak. Adalah Evi, teman SMA yang bermurah hati meminjamkan mobil beserta sopirnya kepada kami. Rute Solo - Jarum sejauh 74 kilometer  kami tempuh dalam dua jam.

Begitu pintu rumah saya buka, tampak empat orang berada di dalamnya. Mereka adalah pakde Saman, lek Tuki, sepupu bapak, dan kang Giyo bersama istrinya. Memang beginilah kebiasaan keluarga kami, ketika ada salah satu saudara yang sedang mengalami kesedihan, kami saling membantu sebisanya. Bapak dan pakde Saman tak pernah sendirian berada di rumah selama ibu dirawat inap di Solo.

Setelah berbincang sejenak, mereka bertiga kemudian pamit pulang ke rumah masing-masing. Kang Giyo dan istrinya pulang ke kampung seberang sungai, sementara lek Tuki pulang ke rumahnya yang terletak di sebelah timur rumah kami. Posisi rumahya lebih tinggi daripada rumah bapak karea kontur desa saya memang berbukit-bukit. Rumah kami dengan rumah lek Tuki dipisahkan oleh kebun kunyit dan singkong milik bapak.

"Anterin aku sampai tanjakan yo, To... Gelap," pinta lek Tuki kepada saya. Suami lek Tuki baru saja meninggal dunia menjelang lebaran lalu.

Saya segera mengambil senter untuk menerangi perjalanan kami. Hawa musim kemarau amat terasa di sini. Kelembaban amat minim pun juga suhu udara yang dingin ketika malam tiba. Rerumputan dan perdu pun tampak kusam mengering.

"Udah, To.. Nganternya sampai sini wae. Sana cepet istirahat yo.." ujar lek Tuki ketika langkah kami sampai di mulut tanjakan.

Saya tak segera kembali ke rumah. Di samping kandang ayam ini terdapat petakan lahan berisi tanaman singkong dan pisang. Saya sorot tanaman yang tetap tumbuh subur itu meski terpanggang terik kemarau itu dengan senter. Saya kagum dengan kerapihan petakan itu. Tak tampak perdu di sela-sela tanaman, pertanda bapak amat memperhatikan kualitas lahannya.

Suara langkah bapak mengagetkan saya. Semula saya mengira dia langsung sare ketika saya tinggal mengantar lek Tuki tadi.

"Gimana taneman singkongmu, To?"
"Wah... Nggak kalah subur lho sama taneman Bapak."
"Iyo, Le. Segala sesuatu itu asal ditekuni dengan serius pasti hasilnya bagus."
"Inggih, Pak."

Kami lantas berjalan beriringan ke kandang ayam. Kandang berukurang 7 x 5 meter itu disekat menjadi dua bagian. Bagian sebelah barat dibiarkan tanpa dinding. Di tengah-tengahnya terdapat dua tungku yang terbuat dari batu padas. Pada saat-saat tertentu, ketika kapasitas kompor gas sudah penuh, dua tungku itu diberdayakan. Bagian timur kandang ini disekat dengan dinding bambu. Di sini lah puluhan ayam milik bapak berdiam. Tampaknya dinding itu baru saja dibenahi. Hal itu terlihat dari bilah-bilah bambu itu masih rapi terpaku di tiang-tiang rumah. Tak hanya itu, di sekeliling ruangan ini bapak membuat tempat plangkringan ayamnya dengan bentuk mengitari ruangan. Posisinya setinggi dua meter dari lantai tanah.

"Kenapa dibuat melingkar, Pak?"

"Lha ini ada maksudnya, Le. Lihatlah ayam-ayam itu. Masing-masing bergerombol dengan induknya. Dengan bentuk melingkar seperti ini, maka mereka tidak berdesak-desakan. Ayam itu seperti manusia, hidupnya tak nyaman jika rumah tinggalnya sempit."

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan yang sangat ilmiah dari pria ini. Kami masuk ke ruangan itu. Lantai tanah terasa lembab. Meski di atasnya berdiam puluhan ayam, lantai kandang ini lumayan bersih dari kotoran ayam. Setiap pagi bapak membersihkan kotoran ayamnya lantas dia kumpulkan di sudut ruangan untuk suatu saat digunakan untuk memupuk tanaman. Sungguh sebuah siklus makanan yang tak ada putusnya.

"Dengan bentuk melingkar seperti ini jadi kayak ruang sidang DPR yo, To...hahaha..."

Saya ikut tergelak. Meski tak pernah baca koran, namun bapak amat rajin mengikuti perkembangan politik negeri ini lewat siaran televisi. Topik politik memang sering menjadi bahan obrolan kami.

Kami telah berada di dalam rumah. Bapak sudah berbaring di kasur yang tergelar di tengah ruangan sembari mendengarkan siaran wayang kulit. Sayup-sayup suluk ki Anom Suroto terdengar gandem mengalun di keheningan malam. Saya membawa teh panas yang barusan saya seduh ke samping bapak. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan malam ini juga, karena besok pagi saya harus kembali ke Bandung.

"Jadi pripun, Pak? Apa ibu boleh kami bawa ke Bogor biar berobat di sana?"


Kami adalah empat bersaudara. Saat ini saya sekeluarga tinggal di Bandung. Adik saya nomor dua, Titik, tinggal di Jarum. Bowo, adik saya nomor tiga tinggal di Bogor, sedangkan si bontot, Indarto, tinggal di Jakarta. Bapak bangun dari tidurnya. Dia lantas duduk bersila berhadapan dengan saya.

"Gini lho, To. Bukannya Bapak nggak ngijinin niat baik kalian merawat ibumu. Bapak hanya pengin menunaikan kewajiban Bapak sebagai suaminya."

Saya terhenyak mendengar perkataan bapak barusan.

"Mmmm... maksudnya pripun, Pak?"
"Jadi wong lanang itu tugasnya tiga, Le. Ngayani, nganaki lan ngeloni."

"Hahahaha... Bapak ini ada-ada saja. Bukankah tiga hal itu sudah lunas Bapak lakukan ke Ibu? Bapak sudah ngayani Ibu, terbukti sudah mandiri sejak lama, nggak ngenger mertua lagi. Bapak sudah nganaki Ibu, terbukti sudah menurunkan kami berempat. Pun Bapak sudah ngeloni Ibu, terbukti Bapak dan Ibu selalu bersama baik dalam suka maupun duka."

"Iyo, Kamu bener. Cuma saat ini kan Ibumu beda sakitnya. Stroke itu pasti berimbas ke mentalnya. Aku nggak mau kalian yang masih ribet urusan anak-anak kalian itu jadi terganggu dengan urusan ngrukti Ibumu. Biarlah aku dan adikmu, Titik, yang ngrawat Ibumu. Kalian bertiga di Jakarta dan Bandung cukup nyumbang doa saja."

Siaran wayang kulit itu telah memasuki babak perang kembang. Patih Sengkuni sedang dihajar oleh Bima karena mencoba mengganggu keluarga Pandawa. Lolongannya tak digubris oleh putra kedua Pandu Dewanata.

"Bumi gonjang-ganjing langit kelap- kelap katon, lir kincanging alis, risang mawèh gandrung, Oooong. Sabarang kadulu. Wukir moyag mayig saking tyas baliwur, Ooooong.."

Suluk itu seolah menggambarkan suasana batin saya yang tengah terombang-ambing. Di satu sisi kami pengin merawat ibu agar kondisinya lekas pulih, namun di sisi lain bapak bersikukuh pada pendiriannya.

"Inggih, Pak. Sendiko dawuh."

Hanya sekelumit kalimat itulah yang mampu saya ucapkan. Saya segera berbaring di sampingnya. Suara beragam serangga malam bersahut-sahutan di luar sana. Saya sedikit merapatkan posisi badan ke arah bapak. Saya kangen hembusan nafasnya yang dahulu selalu membelai tengkuk saya setiap malam.

wae : saja
pripun : bagaimana
wong lanang : pria
ngayani : menafkahi
nganaki : memberi keturunan
ngeloni : merawat
ngenger : numpang hidup
ngrukti : mewawat
sendika dawuh : siap sedia

Yogyakarta - Bandung, 16 November 2014.

1 comment:

Unknown said...

mantab istilahe Masbro....ngayani, nganaki, ngeloni....
Macho bingits