Ini
adalah hari pertama saya kuliah S2 di Bandung. Ruangan di lantai III itu penuh
sesak oleh mahasiswa dan asap rokok. Dengan langkah sedikit ragu, saya masuk ke
kelas tersebut, sesuai petunjuk bagian Administrasi Kemahasiswaan. Di dalam
kelas, suasananya tak kalah kacau, mirip ruang tahanan penjahat kelas kambing.
Ruangan kelas yang harusnya diisi oleh 25 mahasiswa, kali ini dijejali dengan
60 mahasiswa sekaligus. Sekolah tinggi ini memang tengah kebanjiran mahasiswa
program Paska Sarjana. Bagian Administrasi Kemahasiwaan tadi memberitahu saya
bahwa angkatan ini berjumlah 250 orang. Fastastis.
Setelah celingak-celinguk, akhirnya saya berhasil
menemukan satu kursi yang masih kosong di bagian belakang. Di depan kelas,
dosen wanita berparas ayu nan mlunthuh itu harus melantangkan suaranya. Dia tak peduli
dengan kehadiran saya yang sudah terlambat 45 menit. Saya memerlukan beberapa
menit untuk mengerti apa yang sedang dia bicarakan. Aha.. rupanya dia sedang
memaparkan topik wawancara dalam proses perekrutan SDM.
Rekan sekantor saya yang sama-sama menempuh studi di
sini berbisik kepada saya, “Ati-ati, dia nggak suka sama orang pajak.” Saya
tersenyum saja. Lagian sejak kapan orang pajak disukai?
Kabar gembira datang beberapa saat setelah kami
menempuh Ujian Tengah Semester. Pihak pengelola sekolah tinggi ini memecah
kelas sehingga jumlah penghuninya berkurang separo. Meski masih terasa sesak,
bu dosen ayu itu kini tak perlu lagi melantangkan suaranya. Dia juga makin
sering berjalan-jalan di lorong-lorong kursi, menyapa kami. Untuk wanita
berusia 50an, dia memang masih mempesona.
“Baiklah, sekian dulu untuk hari ini. Minggu depan
giliran kelompok pak Slamet yang presentasi. Pak Slamet sudah janji mau
membagikan hand outnya kepada kita. Siap, pak Slamet?”
“Siap, Bu,” jawab saya singkat. Saya sengaja
menubrukkan pandangan mata ke arahnya. Bisikan teman saya tempo hari membuat
saya tertantang. Wanita bergelar doktor ini harus saya taklukkan.
Halaman Pendahuluan dan Landasan teori itu sudah
selesai terketik. Tiba-tiba saya merasa tak pas mengambil topik komunikasi
internal DJP. Bagi saya hal itu tidak pas saya bicarakan di luar organisasi,
meski hanya sebatas ruang kuliah. Delapan lembar tulisan itu segera saya hapus.
Saya mengubah haluan. Topik teknik komunikasi DJP melalui iklan menjadi tujuan
selanjutnya. Perlu waktu dua hari untuk menyusun makalah dan membuat presentasi
tersebut. Beres, saya tinggal gandakan secukupnya.
Hari yang dinanti telah tiba. Seusai memberikan paparan
sebentar tentang komunikasi, dosen ayu itu mempersilakan saya maju ke depan
kelas. Seperti yang telah terjanjikan, saya membagi hand out presentasi ke seluruh warga kelas. Ini kali pertama warga
kelas menerima hand out dari kelompok
yang bertugas. Bagi saya pembagian hand
out itu penting, agar mereka lebih paham dengan paparan saya. Saya juga
membekali diri dengan laser pointer untuk
menunjang penampilan.
Hampir sejam kelas itu saya jejali dengan presentasi
seputar teknik komunikasi DJP dengan pemangku kepentingannya lewat jalur iklan.
Selain itu, saya juga sisipkan hal-hal seputar pentingnya pajak bagi
kelangsungan pembangunan Indonesia; tentang pelayanan dan penegakan hukum. Sepuluh
halaman hand out itu lantas memancing
beberapa pertanyaan beragam. Ada yang setuju dengan konsep yang saya paparkan,
ada pula yang menyanggah bahkan membantah, termasuk dari rekan sejawat saya.
Tak jadi soal, tujuan presentasi ini memang bukan untuk mendogma mereka dengan
satu hal. Saya punya target tersembunyi.
“Demikian pertemuan hari ini. Terima kasih kepada pak
Slamet dan kawan-kawan DJP yang telah memaparkan banyak hal. Dari kalian saya
menjadi tahu bahwa ternyata peran pajak itu amat penting buat kita. Mulai saat
ini saya akan bantu kalian nyebarin info tentang pentingnya bayar pajak.”
Demikianlah... Johan Budi, mantan Jubir KPK,
mengajarkan kepada saya, bahwa ketika bicara di depan publik tak usah terlalu
peduli dengan pertanyaan mereka. Sampaikan apa yang ingin kita sampaikan meski
itu kadang tak nyambung dengan pertanyaannya. Mata kuliah MSDM bagi saya adalah
sebuah pertanyaan yang tak harus saya jawab dengan topik komunikasi antar
manusia. Saya lebih suka membahas peran DJP di negeri yang katanya loh jinawi ini.
Bandung, 22 Maret 2015
No comments:
Post a Comment