Bulik Win hanya bisa
tersenyum kecil. Dia duduk sembali menyelonjorkan kakinya ke bangku kecil.
Kandungannya telah memasuki bulan ke tujuh. Kondisi badannya sedang meriang. Wanita kelahiran Bantul itu tak bisa membantu suaminya mengemas pakaian.
“Kira-kira berapa lama di
Aceh, Pak?”
“Belum tahu lah, Bu. Aceh
anget lagi.”
“Yo wes, Pak… Moga-moga
bisa nungguin lairan anakmu.”
Lek Medi sibuk
mengeluarkan beberapa lembar pakaian dari lemari usang itu. Dua setel PDL telah
terlipat rapi di ransel loreng kapasitas 20 kilogram. Ruang tas yang tersisa
tinggal buat pakaian harian, tak lebih dari tiga potong.
“Wis yo Bu. Aku berangkat dulu.”
“Iya, Pak. Mugo-mugo
slamet. Doakan anakmu sehat di dalam sini,” ujar bulik Win sembari mengelus
perutnya. Langkahnya rada tertatih ketika mengantar kepergian suaminya ke pintu
rumah.
Lek Medi segera meloncat
ke truk pasukan yang telah sedia di perempatan komplek. Tak ada lambaian tangan,
pun ucap perpisahan dari tetangga kiri kanan. Sore itu berlalu seperti biasa di
jalan Dakota, Halim. Penghuni komplek tak hirau dengan linangan air mata bulik
Win ketika memandangi punggung suaminya.
Demikianlah akhirnya,
sampai kelahiran anak pertamanya, lek Medi belum pulang dari Aceh. Kabar
kelahiran diterimanya lewat pesan dari petugas jaga. Tugas patroli di kawasan Takengon
ini tetap harus dijalankan, tanpa peduli kondisi batin anggota pasukan.
Ketika akhirnya masa
penugasan itu berakhir, jabang bayi itu telah berumur hampir setahun. Anak
pertama pasangan itu diberi nama Sabrina Intan Kinanti.
*****
Perjalanan seregu prajurit
Khas itu tiba-tiba terhenti. Komandan regu memerintahkan anggotanya lekas
menyebar. Rumah yang disasar tinggal setengah kilo lagi. Hari telah diselimuti
senja di sebuah kampung di pedalaman Aceh.
Praka Medi diperintahkan
sebagai pendobrak pintu rumah. Tugas ini tak bisa dipandang sepele. Seorang
pendobrak menghadapi resiko kematian yang amat tinggi, karena posisinya paling
depan dan tanpa perlindungan sama sekali.
Rumah berdinding kayu itu
terletak di sudut kebun. Tak ada cahaya penerangan apapun dari dalam rumah,
gelap gulita. Desa ini memang belum dialiri listrik PLN. Warga desa
mengandalkan penerangan seadanya.
Praka Medi berjalan
mengendap. Senapan SS1 sudah terkokang di tangan. Dengan sekali tendangan,
pintu kayu itu jebol. Tak ada siapa-siapa di dalam situ. Senyap mencekam.
Tiba-tiba ada seberkas
cahaya muncul dari balik dinding ruangan. Praka Medi menajamkan mata. Seorang
perempuan tua berjalan terbungkuk-bungkuk membawa dian. Nyala dian itu hampir
padam oleh hembusan angin yang masuk dari pintu yang telah terdobrak tadi.
Keadaan itu membuat seisi ruangan nyaris tanpa cahaya.
Praka Medi baru saja mau
mendekat ke perempuan tua itu, ketika tiba-tiba dia merasakan panas di paha
kananya. Langkahnya terhuyung, jatuh ke lantai rumah. Darah mengucur deras dari
balik pakaiannya. Dua prajurit yang berada di belakangnya segera memburu ke
arah wanita itu. Percuma, tak ada siapapun di sana. Sniper itu telah menghilang lewat pintu belakang.
Melalui radio komunikasi,
komandan regu memerintahkan pengejaran ke arah kebun belakang rumah. Sisanya diperintahkan
segera mengevakuasi Praka Sumedi. Pendarahan itu harus segera dihentikan.
Tiga minggu kemudian Praka
Medi diperbolehkan pulang ke Jakarta. Dia diterbangkan dari Medan, setelah
menjalani operasi penyembuhan luka tembus di paha kanan.
*****
Pagi itu saya minta ijin
kepada atasan untuk terlambat datang. Bekas luka operasi usus buntu nyonya saya
harus diperiksakan ke dokter. Saya mengambil rute melewati komplek TNI AU Halim
Perdanakusuma untuk menghindari macet di jalan Kerja Bakti. Mobil saya lolos
dari pemeriksaan Provost berkat stiker sakti yang menempel di kaca depan. Tanpa
stiker tersebut jangan harap bisa melewati pos penjagaan. Provost itu bahkan memberi
hormat kepada saya. Punya tampang mirip serdadu itu selain ditakuti preman
terminal, juga dihormati provost, hahaha…...
Di lapangan sebelah
bandara, tampak puluhan tenda pasukan terpasang rapi. Ratusan prajurit sedang
senam pagi. Mereka adalah anggota Kontingen Garuda yang akan diberangkatkan ke
Yordania. Menilik tampangnya, saya yakin
mereka belum genap berumur 25 tahun. Tak ada gurat kesenduan sedikitpun
terpancar dari sorot mata mereka. Senam senjata itu diperagakan dengan sikap
sempurna, tanpa cela.
Selepas melewati barak
lapangan tersebut, saya harus memelankan laju mobil. Di sebelah kanan jalan
adalah markas Paskhas 461. Bangunan bercat hijau itu tampak angker. Pasukan
khusus ini memang bukan sembarang pasukan. Hanya prajurit terpilihlah yang
berhak menyandang baret orange.
Dari kejauhan tampak dua
orang prajurit sedang memotong rumput di sebelah kiri jalan, tepat di seberang
gerbang markas. Saya hafal dengan sosok salah satu pemotong rumput itu.
“Woooi….Mbah Medi…. Sarapan
dulu….. pagi-pagi udah motong rumput ajaaa….” seru saya sambil tetap melajukan
mobil.
Saya memang memanggilnya
dengan sebutan “Mbah” bukan “Lek”, semenjak saya punya anak. Hal itu sebagai
bahan pengajaran kepada anak saya, bahwa dia harus memanggil “Mbah” ke pria
ini. Pria berkaos loreng itu hanya melambaikan tangan ke arah kami lalu kembali
asyik mengarahkan mata pisau mesin pemotong rumput. Luka tembak di paha
kanannya telah membatasi aktifitas kemiliterannya. Meski masih aktif sebagai
anggota pasukan khusus, dia sudah tidak lagi diterjunkan ke daerah operasi
militer. Sebagai gantinya, dia lebih sering mengokang mesin pemotong rumput dibanding
senapan serbu. Saya kadang bertanya-tanya, di markas tentara ini sebenarnya
punya tenaga kebersihan nggak, sih? Masak tentara disuruh motong rumput. Saya
tidak bisa membayangkan jika disuruh membersihkan kantor, saya pasti misuh-misuh.
Lha wong disuruh pulang jam 7 malam
saja serasa disiksa dunia akherat.
“Le, kapan sih mentrimu naikin remun kami? Kamu kan sering moto dia, mbok kamu tanyain, to. Mosok sudah 3 tahun nerima cuma 30% terus?”
tanyanya suatu sore.
“Hehe… nggih Mbah… nanti tak tanyain yaaa…”
Hanya kalimat itu yang
bisa saya utarakan. Saya lalu mengalihkan topik pembicaraan ke urusan lain.
Bandung, 8 April 2015.
No comments:
Post a Comment