Pria Pengedar Zamzam |
Lupakan
soal pesona jilbob, istilah sarkastis bagi pemakai kedurung tapi tetap megal-megol. Lupakan soal dispute penghormatan terhadap yang
berpuasa atau yang tidak. Ini lebih serius dari hal itu, karena menyangkut,
katanya, dosa yang tak bakal terampuni, yaitu menyekutukan Tuhan. Parahnya lagi
hal ini terjadi di lingkaran Tawaf, tanah tersuci bagi kaum muslim, kiblat bagi
segala rupa sholat.
Ini
adalah hari ke dua di Mekkah. Kami diberikan kelonggaran waktu untuk
mengistirahatkan badan setelah semalam melaksanakan Umroh. Umroh yang
seharusnya selesai sebelum Subuh harus mulur waktunya akibat ibu hilang di
bukit Marwah.
Seusai
sholat Ashar di Masjidil Haram, saya, bapak dan ibu tak pulang ke hotel yang
hanya sejengkal dari tempat ini. Jarak yang demikian dekat memang menjadi
godaan tersendiri bagi saya. Terbayang empuknya kasur hotel berbintang empat
plus kemewahan bisa merokok di dalam kamar. Tapi tidak. Sore itu saya
membulatkan tekad untuk satu dua hal.
Setelah
mendudukkan kedua orang tua saya di tempat yang saya anggap aman, saya pamit ke
bapak. Saya wanti-wanti ke ibu agar tak beranjak se-inci pun dari tempat itu.
Kain sarung saya gulung ke atas agar langkah saya ringkas. Tas berisi 3 pasang sandal
jepit, handphone dan kamera tanpa cermin (pinjaman dari Mas Yusan) saya
sandang dengan ketat. Saya tahu, medan yang saya hadapi tak akan mudah, bahkan
bagi pria setrengginas saya.
Satu
putaran melawan arah jarum jam saya gunakan untuk mensurvei keadaan. Cuaca
panas, ribuan manusia tak henti memutari bangunan kotak ini. Baiklah, saya
segera pasang strategi.
Mendekati
Rukun Yamani untuk kedua kali, saya mulai mepet ke kiri. Pertarungan segera
dimulai. Puluhan orang berjejal, memperebutkan hal yang sama, mencium Hajar
Aswad. Bismillah…. Mantra ajaib segera saya rapal. Mantra itu ternyata tak
cukup manjur. Tubuh saya terpental oleh tubuh-tubuh yang lain. Ya sudah, saya
meneruskan langkah, bergeser ke kanan agar terhindar dari jebakan mematikan
ini. Lolongan perempuan yang terjepit tubuh pria bukan muhrim tak saya hiraukan.
Salah sendiri, pikir saya, siapa suruh nekad kayak gitu.
Ah..
saya melupakan satu hal. Multazam. Saya lihat tempat itu malah agak longgar,
jauh berbeda dengan hajar Aswad. Mantra segera saya rapal lagi, bismillah… Ah,
yang terjadi tak semudah yang tampak. Seorang perempuan bertubuh tambun
menutupi langkah saya. Dia tampak kewalahan melawan muntahan arus manusia. Ketika
dia menoleh ke belakang, saya langsung tahu bahwa dia berasal dari Indonesia.
“Mau
saya bantu, Bu?”
“Boleh,
Mas.”
“Maaf
ya, Bu…”
Saya
segera mendorong, maaf, pantat perempuan itu ke arah dinding Ka’bah. Sekitar dua
menit saya tahan posisi tangan saya di pantatnya agar tubuhnya tak terhempas
oleh lautan manusia.
“Sudah,
Mas.. terima kasih,” ucapnya sembari terisak lalu bergeser ke kanan.
Ruang
kosong yang ditinggalkan perempuan itu segera saya isi. Mendadak Ka’bah ini
terasa kosong, tak ada seorang manusia pun
kecuali saya. Saya tak mampu mengingat berapa lama saya bertahan dan
berdiam di Multazam. Hanya keputusan hati yang menyuruh saya pergi, ada ribuan
manusia di belakang saya yang masih mengantri.
Target
saya selanjutnya adalah sholat di Hijr Ismail. Bidang yang dipagari setengah
lingkarang ini bak kamp pengungsian suku Rohingya. Tak ada sejengkal sudutpun
tersisa, bahkan kursi roda pun masuk ke tempat ini. Seorang wanita Hindustan
tampak meraung-raung sembari menciumi bibir Hijr Ismail. Dalam hari saya
tertawa geli, apa iya dia harus sampai meraung-raung gitu? Okelah, terhanyut
perasaan.. tapi masak sampai mencium tembok sedemikian membabi-buta gitu. Saya yang
biasanya mudah terhanyut dengan tangis orang, kini berubah sinis.
Kesinisan
saya kian berlanjut ketika saya berhasil mendapat tempat di dalam Hijr Ismail. Saya
harus menunda sholat karena oleh sepasang muda-mudi asyik bergantian foto di tempat ini, tepat di
depan saya. Masya Allah… gejala apa lagi
ini? Yowes lah, Tuhan mungkin menciptakan beragam cobaan buat saya yang penuh
dosa ini. Bahkan untuk sholat pun saya mengalami hal yang tak mudah.
Cukup
dua rekaat dan sebaris doa pendek. Doa titipan dari teman-teman yang sudah saya
catat di selembar kertas. Saya lalu meneruskan langkah, melangkahi jamaah yang
memenuhi tempat ini. Saya masih punya obsesi, mencium batu Aswad.
Sudut
Yamani telah lewat, saya kembali merangsek ke kiri. Kali ini saya tak sekedar
melafadz niat bismillah. Saya dorong badan sekuat tenaga, menyibak sela-sela
tubuh manusia. Sekali gagal, dua kali tubuh saya kian tertolak. Dalam hati saya
berpikir, jangan-jangan batu itu tak menerima kehadiran saya. Ah, saya tak mau
terlalu lama tenggelam dalam prasangka. Bismillah, celah sempit itu seolah
terkuak dengan mudah. Maha Suci Tuhan, Penguasa hidup dan mati seluruh alam.
Tangah kanan saya akhirnya bisa menyentuh batu dingin itu. Kesempatan itu hanya
sekejap, sebelum akhirnya tubuh saya terhimpit dan tertolak ke luar lingkaran.
Saya pasrah, tak melawan , tak pula bersikukuh pada ego. Saya biarkan tubuh
langsing ini terbawa keluar dengan sendirinya. Saya tak pedulikan beberapa siku
tangan manusia yang menyerempet wajah saya. Saya juga tak kuasa menolong,
lagi-lagi, perempuan yang terhimpit badan-badan kekar. Salah sendiri, pikir
saya.
Setelah
menuntaskan niat, saya beristirahat sejenak di Maqam Ibrahim. Tempat ini
menyisakan banyak ruang kelegaan. Saya berdiri menghadap Ka’bah. Bangunan
berselimut kain hitam itu saya amati dengan seksama. Tiba-tiba seluruh tempat
ini seolah terhenti, semua terhenti pada posisinya masing-masing. Tak ada suara
apapun, senyap. Kain kiswah itu jatuh ke lantai marmer, meninggalkan Ka’bah
dalam sebentuk bangunan telanjang, kotak, tersusun dari batu hitam. Seluruh mata
memandang ke arahnya, tak berkedip. Saya dibawa terbang ke atasnya, mengitari pusaka
Ibrahim dalam sekali tarikan nafas.
Saya memandang ke bawah dengan rasa heran; apa
yang dilakukan ribuan manusia itu? Berjalan mengitari bongkahan batu dengan
beragam ekspresi penuh taklid, ratap, dan emosi. Bersikutan hanya untuk sekedar
memuaskan ego sendiri sehingga tak hirau dengan keselamatan jiwa orang lain,
bahkan ketika pemilik jiwa itu adalah sesosok perempuan. Hati
saya ditawar setan. “Met, lihatlah ke bawah sana. Apa bedanya mereka dengan
kaum yang suka meratap di Tembok Ratapan? Apa bedanya dengan penyembah Latta
dan Udza? Apa bedanya dengan mbahmu yang suka pasang sajen? Apa bedanya dengan penggila selfie di depan Eiffel? Sudah, jangan lama-lama berada di tempat
ini, kembalilah segera ke bapak ibumu, mereka sedang membutuhkanmu!!!”
Saya
tergagap. Ketika saya membuka mata saya sudah berada di depan orang tua saya.
Ibu menyambut saya denga wajah kawatir.
“Kemana
saya to, Le?”
“Ngapunten, Bu. Tadi ke depan sebentar.
Lho ini kok ada air zamzam sama kurma, dapet dari mana, Bu?”
“Itu
lho, dikasih sama orang bertopi itu,” ujar bapak sembari menunjuk pria bertubuh
gemuk berkaos oblong lusuh. Pria itu sedang berkeliling sembari membagikan
segelas air Zamzam yang dia ambil dari kran terdekat.
Saya
terkesima. Niat awal untuk minta difoto bareng bapak ibu dengan latar belakang
Ka’bah saya urungkan. Dalam hati saya berpikir, jikapun saya tak mampu berbuat
seperti pria bertopi itu, saya masih mampu tak selfie di depan Ka’bah.
Bandung,
15 Juni 2015.
No comments:
Post a Comment