Saya baru lunas membelokkan mobil ke arah
tol bandara Soekarno-Hatta, ketika ponsel saya berdering.
“Assalamualaikum, Ma. Mama sudah mendarat?”
“Sudah, Pak. Bapak dimana?”
“Masih di tol bandara, Ma. Tunggu ya.”
Detik berikutnya saya dilanda kegugupan. Jarak
ke bandara masih lumayan jauh, sekitar 25 kilometer, sementara lalu lintas
lumayan padat, padahal waktu telah menunjukkan hampir pukul 11 malam.
Ketika akhirnya mencapai Terminal II D,
saya segera mencari tempat parkir yang sedekat mungkin dengan pintu keluar
terminal kedatangan. Perhitungan saya adalah bawaan nyonya, bunda Heni dan Ibu
mertua akan banyak sekali. Maklum, perjalanan Umroh pasti membuat tas mereka
beranak-pinak.
Saya bersama dua anak saya segera menuju ke
pintu keluar penumpang, tempat ratusan orang sedang berkumpul di situ, untuk
tujuan yang sama, menunggu sanak saudara. Panggilan ke nyonya tak dia respon,
sedang sibuk nunggu bagasi, pikir saya. Kami bertiga segera duduk di lantai
ruang tunggu sembari saya kabarkan ke nyonya via chat bahwa kami sudah sampai
di sini.
“Pak, aku laper, beliin roti dong,” pinta
Abyan.
“Ya sudah, kalian tunggu di sini ya, bapak
beli roti ke mini Alfa,” jawab saya sembari menuju minimarket yang terletak tak
jauh dari tempat kami duduk.
Tiga potong roti dan segelas kopi yang saya
bikin dari mesin pembuat kopi instant segera saya boyong ke kedua anak saya. Pada
saat yang bersamaan tampak rombongan nyonya keluar dari terminal kedatangan. Anak
saya segera lari menghambur ke mereka, sementara saya sibuk memegangi bawaan
dari minimarket itu.
Setelah bersalaman dengan mereka, saya
merogoh saku celana, mencari-cari kunci mobil. Empat kantong celana saya rogoh,
kunci itu tak ada di sana. Saya panik. Saya interogasi kedua anak saya, apakah
melihat atau memegang kunci tersebut. Mereka menjawab tidak tahu. Saya segera
berlari ke tempat kami duduk tadi, tak ada juga.
“Gimana, Pak, belum ketemu kuncinya,” tanya
nyonya dengan wajah letih. Perjalanan selama 9 jam tentu amat berat baginya. Apalagi
ini adalah baru kali kedua dia naik pesawat terbang.
“Nggak ada tu, Ma. Adoooh, jatuh dimana ya…perasaan
tadi bapak kantongin.”
Saya kian panik. STNK ada di dalam dompet
yang saya jadikan gantungan kunci. Ditambah lagi, saya baru ingat, saking
buru-burunya, karcis parkir ada di dalam mobil, tidak saya kantongi. Hal tersebut
sebetulnya bukan kebiasaan saya ketika parkir mobil. Saya amat disiplin soal
tersebut. Karcis parkir pasti saya kantongi di saku belakang bagian kiri.
Pertimbangan saya, saku itu paling jarang saya jamah.
“Mama tunggu sebentar deh, bapak liat di
parkiran dulu, siapa tahu kuncinya ketinggalan di dalam mobil.”
Saya segera berlari ke parkiran mobil. Begitu
sampai di sana, mobil masih berada di tempatnya. Pintunya pun terkunci rapat. Dengan
bantuan senter ponsel, karcis parkir itu tampak tergeletak di konsol tengah,
amat kentara dari luar. Benak saya penuh rasa waswas, jika kunci itu ditemukan
oleh orang jahat, dan dia berhasil menemukan mobil yang cocok plat nomornya
dengan yang tertera di STNK, maka dia bisa melenggang keluar parkiran membawa
mobil ini karena dia memegang dua kunci utama, STNK dan karcis parkir. Saya segera
kembali ke keluarga saya yang masih menunggu di sana.
“Kalian pulang naik taksi aja ya, kuncinya
belum ketemu. Bapak cari dulu di sini,” ujar saya dengan nada pasrah dan
bersalah. Niat menjemput mereka jadi buyar gara-gara kunci mobil ketlisut.
Setelah mereka pergi, saya segera kembali
ke samping mobil. Penjagaan fisiklah satu-satunya benteng terakhir keamanan
mobil ini. Untuk beberapa saat saya tak mampu berbuat, bahkan berfikir apapun. Saya
bisa saya mendobrak kaca mobil ini, tapi alarm pasti akan bekerja, dan saya
juga tidak punya kunci cadangan. Kondisi saya kian buruk ketika ada peringatan
bahwa ponsel saya lowbat. Saya juga tidak membawa power bank.
Koneksi data segera saya matikan agar
konsumsi daya irit. Saya segera menghubungi adik saya yang tinggal di Bogor
untuk mengabarkan kondisi saya. Kepadanya saya berpesan jika sampai besok pagi
saya tak memberi kabar tolong susul ke sini. Setelah itu saya hanya bisa duduk
termangu di samping mobil. Di sebelah saya tampak dua pria sedang ngobrol. Tampaknya
mereka tengah menunggu seseorang. Saya timbul ide.
“Permisi, Pak, boleh minta tolong nitip
mobil saya sebentar, kuncinya jatuh, saya mau lapor ke satpam dulu.”
“Oh iya, Mas. Kami masih lama di sini, kok.”
Saya segera berlari lagi ke pintu terminal
tadi. Kepada petugas keamanan yang ada di situ saya utarakan masalah saya.
“Coba Bapak hubungi kantor kami. Kalo ada
barang ditemukan biasanya disimpan di sana.”
Saya segera menuju ke kantor dimaksud. Ruangan
itu sepi, perlu beberapa kali uluk salam sebelum akhirnya muncul sesosok pria
yang tampaknya tengah tidur.
“Nggak ada kunci diserahkan ke sini, tu
Pak. Coba Bapak hubungi pos polisi di lantai dua. Kadang diserahkan ke sana
juga.”
Sembari berjalan ke pos dimaksud, saya
terpikir satu hal.
“Permisi, Pak. Saya kehilangan kunci dan
STNK mobil, apa ada yang menemukan dan menyerahkan ke sini, Pak?”
“Kapan hilangnya, Pak?”
“Kira-kira sejam yang lalu, Pak.”
“Nggak ada tu, Pak,” jawabnya sembari tetap
meluruskan pandangan ke arah layar kaca yang ada di depannya.
“Kalo gitu, apa saya bisa minta tolong
hubungi ke kantor parkir bandara agar mereka ngeblok parkir mobil saya sehingga
nggak bisa keluar parkiran, Pak. Soalnya karcis parkirnya ada di dalam mobil,”
“Wah, kami nggak punya nomor telponnya,
Pak. Bapak datang langsung saja ke sana. Tuh kantornya di samping pintu keluar
parkir.”
Gleg… saya tercekat. Jawaban itu tak saya
duga sama sekali. Untuk obyek sevital ini masak mereka tak saling punya nomor
kontak.
“Atau barangkali bisa Bapak kontak ke
mereka dengan HT, Pak. Saya kawatir dengan mobil saya.”
“Nggak nyambung juga HT kami dengan mereka,
Pak.”
Tanpa berucap apapun, saya tinggalkan
petugas itu dengan perasaan kesal. Saya kembali berlari ke arah mobil. Saya bernafas
lega, mobil dan dua orang pria tadi masih ada di situ. Saya segera pamitan ke
mereka untuk melanjutkan urusan.
Kantor operasional parkir bandara itu
terletak di dekat pintu keluar parkir. Seorang anak muda menyambut saya dengan
raut sumringah.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Kepadanya segera saya ceritakan
permasalahan yang membelit saya.
“Oh, baik, Pak. Saya bantu blokir nomor
mobilnya biar nggak bisa dibawa keluar parkir. Untuk lebih amannya sebaiknya
bapak hubungi sekuriti bandara biar ban mobil Bapak digembok.”
Saya turuti saran tersebut. Saat yang
bersamaan ponsel saya sudah mati. Saya segera mendatangi seorang sekuriti yang
sedang berjaga di tempat parkir. Dia segera mengontak kantornya untuk memanggil
mobil yang membawa gembok raksasa.
Gembok yang biasa digunakan untuk menyegel
ban mobil yang parkir sembarangan itu akhirnya dipasang di mobil saya. Saya juga
harus menandantangi beberapa surat terkait hal itu. Barulah saya bisa bernafas
lega.
“Kalo mau bikin laporan kehilangan STNK
kemana, ya Mas?” tanya saya ke mereka.
“Ke Polres Bandara, Pak. Kantornya di deket
ATC. Bapak bisa naik taksi ke sana.”
Saya segera mencari taksi. Meski dilanda
letih yang luar biasa, pikiran saya mulai tenang. saya bahkan belum sempat
mengabarkan apakah rombongan keluarga saya tadi sudah sampai rumah atau belum. Jam
sudah menunjukkan waktu pukul 3 dinihari.
Gerbang polres itu tertutup rapat,
untunglah tidak terkunci. Tak ada satu orang manusiapun di pos penjagaan. Dengan
langkah celingukan saya menelusuri sudut-sudut kantor untuk menemukan petugas. Akhirnya
saya menemukannya di balik pintu yang setengah terbuka.
“Ada apa, Pak?”
“Mau lapor kehilangan STNK, Mas.”
“Tunggu ya, Pak. Bagian reserse sedang ke
lapangan. Ada penemuan mayat.”
Gleg. Saya kembali tercekat.
Lima belas menit kemudian tiga orang
berjaket hitam masuk ke ruangan itu sambil menenteng senter. Di pinggang mereka
tersembul senjata api.
“Macem-macem aja, jam segini ada mayat,”
ujar mereka dengan nada menggerutu. Saya diam terpekur.
“Ada apa, Mas?”
“Mau lapor kehilangan STNK dan kunci mobil,
Pak.”
“Pinjam KTP sama fotokopi STNK atau
BPKB-nya.”
“KTP ada, Pak. Kalo fotokopi STNK dan BPKB
nggak bawa lah. Kan hilangnya di parkiran bandara.”
“Wah, nggak bisa, Mas. Harus melampirkan
dua dokumen itu.”
“Terus gimana dong, Pak? “
“Lapor aja di pos polisi dekat rumah Mas
sambil bawa dokumen itu.”
Dengan langkah gontai saya tinggalkan
kantor gelap gulita itu, menuju taksi yang menunggu di luar pagar.
“Ke Halim ya, Pak,” ujar saya memberi
perintah.
Sepanjang perjalanan ke rumah saya tak
habis pikir dengan alur birokrasi dan lemahnya koordinasi di republik ini. Saya
tak bisa membayangkan seandainya kejadian ini menimpa orang yang tidak lincah
secara fisik seperti saya. Akhirnya saya tertidur sepanjang perjalanan.
Pagi itu saya bangun dengan kepala berat. Saya juga masih dilanda kantuk dan letih. Siang
itu orang tua saya mau pulang kampung setelah seminggu yang lalu pulang umroh
bersama saya. Seharusnya orang tua dan mertua serta kakak ipar saya berangkat
umroh bareng. Karena permasalahan penerbitan visa akhirnya keberangkatan mereka
tak bisa berbarengan. Saya bersama orang tua berangkat duluan, sementara ibu
mertua dan kakak ipar berangkat belakangan. Dengan pertimbangan tertentu
akhirya nyonya ikut berangkat umroh bersama rombongan ke dua ini.
Setelah mengantarkan kedua orang tua ke
terminal bus Pinang Ranti, saya bersama adik saya pergi ke pos polisi Cililitan
untuk mengurus laporan kehilangan. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke
bandara. Untuk mengantisipasi keadaan, saya juga mengajak tukang kunci yang
mangkal di Cililitan. Jasanya mungkin akan saya perlukan untuk membobol pintu
mobil karena saya tak punya kunci mobil cadangan.
Sebelum berangkat tadi nyonya berpesan agar
saya mencari kunci mobil itu di minimarket tempat saya membeli roti dan kopi. Siapa
tahu tertinggal di situ, katanya. Pesan itu setengah saya abaikan karena saya
tak merasa membawa kunci tersebut ke situ.
Begitu tiba di bandara saya kembali
mendatangi petugas yang berjaga di meja kecil dekat pintu keluar. Jawabannya
tetap sama, tak ada penemuan kunci mobil. Saya segera menuju ke minimarket,
hitung-hitung iseng saja, walau saya amat tak yakin.
Saya segera mengelilingi minimarket yang
tak berapa luas tersebut. Tempat-tempat yang semalam saya sambangi tak
menampakkan kunci mobil itu. Saya mampir ke kasir.
“Mbak, apa ada kunci ketinggalan di sini?”
“Ada, Pak. Kunci mobil ya? Nih…”
Jreng……!!!!!! Mata saya hampir meloncat
dari kelopaknya. Di tangan gadis berambut ekor kuda itu tergenggam barang milik
saya. Saya segera menyambarnya, memeriksa isi dompet dan menemukan STNK di
sana. Kasir itu bercerita bahwa temannya yang shift malam menemukan dompet itu
di dekat mesin pembuat kopi. Sampai akhir masa dinasnya pagi tadi tak ada
seorangpun yang menghubunginya, makanya dia menitipkan barang tersebut ke
penggantinya.
“Terima kasih, Mbak. Tolong saya titip ini
ke mas yang nemuin dompet ini,’ ujar saya sembari menyelipkan uang tak
seberapa.
Dengan langkah ringan saya segera menuju ke
kantor pengamanan bandara untuk membebaskan belenggu roda mobil saya. Seiring dengan
tergelincirnya matahari ke ufuk barat, belenggu seberat puluhan kilo itu
dilukar dari roda mobil. Lukar pula kepenatan saya. Tukang kunci yang saya bawa
dari Cililitan itu hanya duduk termangu sembari memegangi seperangkat alat
pembobol kunci mobil.
Bandung, 23 September 2015.
No comments:
Post a Comment