Sekubit cerita tentang Kiki rupanya hanyalah pembuka
dari deretan lakon di rumah kami. Kiki, usai kepergiaannya, meninggalkan
seberkas cerita. Anak itu tak pernah kembali ke rumahnya. Hari-harinya
berlanjut di jalanan Bandung. Entah dan celana itu gimana nasibnya. Kami hanya
berharap, pemberian itu tak mencelakakannya.
Jumat pagi minggu lalu. Nyonya kalang kabut, daging
ayam yang disimpan di lemari pendingin beraroma tak sedap. Walhasil pagi itu
kami sarapan dengan menu ala kadarnya. Rupanya kulkas kami tak berfungsi.
Lemari ajaib yang kami beli 15 tahun lalu itu memang sudah beberapa kali
bermasalah. Permasahannya pun beragam, mulai dari yang sepele, matinya lampu
indikator, hingga yang berat, seperti sekarang ini, tak mampu mendinginkan hawa.
Meski di pintu kulkas itu tertera stiker yang
menjanjikan service gratis selamanya, saya tak pernah menggunakan fasilitas
itu. Bagi saya fasilitas itu terlalu ribet dan costly.
Saya segera bertanya teman-teman sejawat tentang tukang
service elektronik panggilan. Di Jakarta kami punya langganan, kang Min, yang
rumahnya hanya sejengkal dari tempat tinggal saya. Tak lekas mendapat informasi
yang dibutuhkan, saya mengakses padepokan Google. Clap, tak perlu 5 detik untuk
menemukan orang yang saya cari.
“Ya, halo, selamat pagi,” sapa pria di
ujung sana.
“Pagi, Mas. Bener ini tukang service
elektronik?”
“Betul, Pak. Apa yang mau diperbaiki?”
“Kulkas, Mas. Jam berapa bisa datang?”
“Jam 10-an ya, Pak. Kebetulan teknisi
lain sudah berangkat. Ini nunggu teknisi lainnya.”
Keren, pikir saya. Jawaban pria tadi
menunjukkan kredibilitas entitas yang dia promosikan di internet, bukan sekedar
tukang service rumahan ala kang Min.
Dua jam kemudian seorang pria datang
menunggangi motor. Dia menyandang tas yang saya taksir berisi peralatan service
elektronik. Pria itu segera kami arahkan ke kulkas yang telah mangkrak selama 2
hari. Kami lantas membiarkannya membedah lemari pendingin itu; saya sendiri
memilih menyambangi kebun samping rumah.
Tak sampai sejam, pria itu meringkasi
peralatannya.
“Ini, Pak. Sudah beres kulkasnya. Otomatisnya
rusak, sudah saya ganti dengan yang asli. Harganya 400 ribu, Pak.”
“Ya sudah, yang penting beres, Mas.”
“Besok pagi kalo nggak dingin telpon
saya, Pak. Garansi sebulan,” ujarnya sembari pamitan.
Dia juga berpesan agar segelas air
putih yang ditaruh di freezer tidak
dipindahkan ke tempat lain. Gelas tersebut difungsikan sebagai alat penguji
kinerja lemari pendingin ini.
Keesokan harinya, ketika sedang didera
pekerjaan, nyonya mengirim kabar bahwa air di gelas itu tak membeku. Dia juga
sudah berinisiatif untuk menghubungi teknisi tersebut. Kepada nyonya teknisi
itu berjanji akan datang secepatnya.
Sejam kemudian, nyonya memberi kabar
yang kurang mengenakkan. Yang bermasalah ternyata kompressornya. Ah, dalam hati
saya mengumpat. Ora beres orang ini,
pikir saya. Kepada nyonya dia menjanjikan bahwa biaya perbaikan kompressor 500 ribu.
Ya sudah lah, kepalang tanggung. 400 ribu untuk alat pemantik otomatis dan 500
ribu untuk perbaikan kompressor.
Kulkas itu terpaksa dinonaktifkan dulu
karena perbaikan kompressor dilakukan di workshop
mereka. Imbasnya jelas, nyonya tidak bisa lagi menyimpan logistik di lemari
pendingn. Hal ini tentu mengubah pola belanja bahan lauk pauk. Mekanik itu
menjanjikan waktu 2 hari perbaikan.
“Pak, di rumah ada warga baru, tp
ceritanya lewat telp aja ya..” selarik pesan muncul di ponsel saya.
Dilanda penasaran, saya segera
meneleponnya.
“Gini, Pak. Tadi kang Maman dateng ke
rumah, nawarin pembantu..”
Saya mulai menduga-duga arah
pembicaraannya.
“Dia orang Purwakarta. Namanya Sumi,
umurnya baru 20-an. Kabur dari rumahnya karena ribut sama suaminya. Dia tadi
naik angkot dari Leuwipanjang, trus turun di seberang komplek. Dia nanya-nanya
ke kang Maman, siapa yang butuh pembantu. Akhirnya dia dibawa ke rumah kita. Tuh
orangnya barusan bantu kami masak.”
Jreng.....!!! tiba-tiba saya teringat
bapak di Wonogiri sana. Sepanjang hidupnya beberapa orang asing pernah tinggal
di rumah kami untuk jangka waktu yang relatif lama. Terakhir tahun lalu,
sesosok perempuan senja sempat tinggal di rumah bapak selama hampir sebulan,
sebelum akhirnya kembali ke keluarganya.
“Gimana nurut Bapak? Mama sih belum
ngasih keputusan ke dia. Sementara ini hanya memberi tumpangan nginap barang
semalam karena kok kasihan banget liatnya.”
Perlu beberapa saat bagi saya untuk
memberi jawaban.
“Iya, Ma. Gini aja, suruh dia lapor ke
pak RT, atau suruh hubungi orang tuanya, kasih tahu bahwa dia nginap di rumah
kita. Jangan sampai kita dapet masalah, padahal niatnya nolong.”
“Iya, Pa. Katanya anaknya baru umur 11
bulan, tapi sudah nggak netek lagi,
sih.”
“Ya, pokoke gitu deh, Ma.”
Saya menikmati ucapan terakhir itu. “Pokoke”
adalah senjata pamungkas yang tak boleh dilawan oleh siapapun. Di situ letak
taji saya sebagai pria, hahaha...
Pagi kemarin saya memulai aktifitas
kedinasan di Surabaya. Tak seperti dugaan saya, meski sedang musim kering,
Surabaya tak memanggang tubuh saya.
Setelah saling mengabarkan keadaan
masing-masing, nyonya langsung menyampaikan laporannya.
“Pak, Sumi sudah mama suruh pulang.
Mama pesen selesaikan masalahnya dulu, deh. Dan nggak usah dateng dulu, kalo
butuh baru kita hubungi.”
“Ya, Ma,” jawab saya singkat.
“Terus tukang kulkas sudah dateng.
Katanya kulkas kita nggak bisa dibeneri lagi. Dia nyerah. Duit 400 sudah dia
balikin. Dia minta dibayar freon sama tenaga dia bolak balik.”
“Ya, Ma.”
“Trus dia dikasih berapa, Pak?”
Saya dilanda kehampaan ide, kosong. Semilir
angin di masjid kantor ini membuat saya rada melayang.
“100 aja kali, Ma. Lha wong kerjaannya
nggak beres gitu,” saya asal sebut.
“Nggak 50 aja, Pa?”
“Yo wes, terserah Mama, deh,” saya
kian malas.
“Iya, Pa. Freon kulkas kita kan nggak
masalah, kok disuruh bayar. Itu kemarin waktu ngelas juga keluar asep banyak
banget, jadinya belakang kulkas item banget kena jelaga.”
“Iya deh, Ma,” saya menjawab sembari
ngeloyor ke padasan. Waktu sholat Dhuhur sudah tiba sejam yang lalu. Siraman
air suci ini seolah menjadi setip kisah Kiki, Sumi dan kulkas yang
terbengkalai.
No comments:
Post a Comment