Kerumunan manusia itu duduk bersila di atas tikar daun mendhong. Posisi mereka itu kian merapat
ketika aroma srundeng dan ayam
panggang mulai merebak. Lek Jogotirto, sejatinya bernama Semin, adalah tetua
dusun kami. Dia selalu diberi mandat untuk ngujudne
(pembaca doa) setiap ada kendurian di kampung saya, pelosok Wonogiri sana. Tunggu
dulu, bukan doa bernbunyi “Robbana attinin
fi dunya hasanah... “ dan seterusnya yang bakal dia lantunkan, tapi doa
berbahasa Jawa, atau kami biasa menyebutnya dengan Ujud-Ujud. Saya menduga Ujud-ujud
mengandung makna sebagai permohonan agar permintaan di-wujud-kan. Biasa
lah, bukan orang Jawa jika tak pintar men-semiotika-kan keadaan.
Hebohnya lagi, sahutan jamaah kendurian bukan “Aamiin”
(cara penulisan kata ini sempat menimbulkan perbedaan), tapi “Inggih/Nggih”
yang artinya “ya, saya setuju.” Kata Nggih
akan terucap dalam intonasi yang amat takzim, setakzim ucapan seorang hamba
yang menerima titah dari sang raja. Atheis, komunis, tak beragama, kafir, atau
apalah yang mungkin terbersit di benak Anda setelah membaca sepenggal tullisan
saya di atas. Ndak apa-apa.
Selesai? Belum. Sesudah lek Jogo selesai mengimami Ujud-ujud, ritual kenduri akan
dilanjutkan dengan pembacaan doa ala Islam. Sebagai catatan, hingga saat ini
seluruh warga desa Sidorejo beragama Islam, lho. Nakhoda doa pun beralih ke
mbah Modin, yang nama aslinya Nasirun. Tentu mbah Modin bukan sosok
sembarangan. Pengetahuan agamanya sangat linuwih.
Dia adalah satu dari sedikit orang di kampung kami yang sudah menjalankan
ibadah lima waktu. Maka dengan suara yang sedikit bergetar dan logat yang
nJawani, dia mulai mengimami doa yang “benar” sesuai syariat Islam. Robbana ngatina
fi dunya kasanah, wa fil akhirati kasanah wakina ngadabannar... dan
seterusnya.
Syahdan lebaran tahun 2000, untuk pertama kalinya saya
mengajak pasangan hidup saya mudik ke Wonogiri. Itu adalah tahun ke dua
pernikahan kami. Seperti yang berlangsung hingga kini, menjelang Lebaran tiba,
setiap rumah mengadakan kenduri. Nyonya saya terkekeh-kekeh ketika mendengar
logat Jawa dalam doa berbahasa Arab tadi. Tak Cuma logat, cara pengucapannya
pun sangat nJawani. Huruf ‘a pada kata ‘atina diucapkan “nga”, sehingga
berbunyi “ngatina”. Pun ketika mengucapkan “robbil ‘alamin” menjadi “robbil ngalamin”.
“Mbah Modin habis ngalamin kejadian apa tu, Pa?”
candanya kepada saya. Saya hanya menyunggingkan senyum tipis demi mendengar
reaksi orang yang dari kecil dibesarkan di lingkungan yang lumayan agamis itu.
Bagaimana kondisi saat ini? Desa kami tetap terpencil,
untuk menjangkaunya butuh persiapan fisik dan mental yang membaja. Jarak sejauh
80 kilometer dari pusat kota Solo harus ditempuh dalam waktu lebih dari 3 jam
berkendara mobil. Anda harus melewati jalan beraspal namun sudah rusak berat
sejauh 10 kilometer sebelum mencapai desa saya.
Lek Jogo telah tiada sejak dua tahun yang lalu. Tak ada
pula yang meneruskan karirnya sebagai imam Ujud-ujud.
Namun bukan karena kematiannya yang memunahkan doa ala Jawa itu. Islam telah
merangsek dengan lembut di hati warga kami. Sosok kaum jorok, padasan yang
berbau pesing dan ladang yang dibiarkan bero
(tak terawat) pelan-pelan mulai sirna. Goirah
beribadah dengan benar mewabah di desa kami. Bapak, Ibu dan kerabat dekat sudah
mau sholat lima waktu. Tak ada lagi semerbak kemenyan di senthong tengah sebagai pertanda dibacakannya mantra kepada arwah
leluhur, di bawah meja sesaji berisi makanan dan minuman kesukaan mereka.
Kendurian itu masih lestari hingga kini. Bahkan setiap
mudik, tak peduli mudik dalam rangka Lebaran atau bukan, saya suka ditodong
untuk mengadakan kenduri di rumah bapak. Ndak apa-apa, itung-itung nraktir
tetangga kiri kanan makan enak, hehe. Setiap 35 hari sekali, malam menjelang
hari kelahiran saya, ibu selalu mengadakan kenduri. Kali ini tidak
dilangsungkan di rumah, tapi nampan nasi dengan lauk ala kadarnya itu diboyong
ke mushola depan rumah.
Ujud-ujud yang penggalannya berbunyi “dulur papat limo pancer
sing njogo ngrekso awakku iki, rewangono njaga keslametanku, kang lagi golek
sandang pangan rino kalawan wingi kanggo ngibadah marang Gusti Kang Moho Kuwoso....” telah sirna, menyisakan doa ngatina
dan seterusnya. Tak pernah ada protes atau diskusi mengenai logat dan cara
pengucapan itu, apalagi menjadi kusir di ajang debat pernyataan Teuku Wisnu tentang bacaan Al-Fatihah.
Tak sempat, tak peduli, bukan karena fakir ilmu, tapi lebih kepada menyalurkan energi untuk hal-hal yang tak bersifat khilafiyah atau kurang esensial. Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Welas Asih, itu mungkin pikir mereka.
Tak sempat, tak peduli, bukan karena fakir ilmu, tapi lebih kepada menyalurkan energi untuk hal-hal yang tak bersifat khilafiyah atau kurang esensial. Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Welas Asih, itu mungkin pikir mereka.
Kantin Bandara Juanda Surabaya, 11 September 2015
No comments:
Post a Comment