Friday, October 23, 2015

ASAP, JOKOWI, DAN MAYAT

Dalam berbagai kesempatan dan persoalan apapun saya berusaha bersikap seobyektif mungkin. Sebagai orang yang lumayan lama menapaki dunia kehumasan, saya paham bahwa seheboh apapun sebuah berita, perlu langkah cek silang sebelum memutuskan sikap atasnya. Baiklah, saya akan bercerita soal sikap saya terhadap Jokowi. Beberapa posting saya tentang sepak terjangnya ketika menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI, dan Presiden RI dilatarbelakangi tesis yang kuat, tak hanya bersandar pada secuil berita.

Ambillah contoh penuturan saya soal pendapat tukang las dan tukang becak di Manahan Solo beberapa tahun yang lalu. Dua golongan kaum jelata itu bertutur kepada saya soal kenapa mereka begitu menyanjung pemimpinnya. “Jokowi itu bukan orang kaya, Pak. Jangan-jangan lebih kaya bupati Wonogiri. Tapi dia nggak doyan duit. Nah kalo walikotanya nggak doyan duit pasti bawahannya juga ndak berani meres kami,” demikian kira-kira kalimat yang mereka sampaikan saat itu. Juga ketika Jokowi blusukan ke Kampung Makasar, tempat tinggal saya di Jakarta Timur. Seumur kota Jakarta baru kali itu kampung kami didatangi gubernur. Tujuan kedatangannya waktu itu adalah untuk melihat langsung penanganan banjir di sana. Sore itu juga dia mengucurkan dana ke kampung kami untuk memperbaiki tanggul yang jebol. Tahun berikutnya banjir memang masih melanda, tapi nggak separah tahun itu karena tanggul telah berfungsi kembali. Peristiwa itu malah luput dari liputan media apapun. Jangankan media, lha wong lurah kami saja tak ada di sana saat itu.

9 Juli 2014 Pilpres berlangsung. Saya sekeluarga tidak ikut nyoblos karena malas harus pergi ke TPS di Jakarta, sementara saat itu kami sudah berdomisili di Bandung. Meski secara pribadi saya mendukung Jokowi tapi hal itu tak cukup kuat mendorong hati saya untuk mengurus formulir A5 ke KPU. Dalam hati saya berpikir, kalau Tuhan sudah berkehendak pasti Dia punya cara, tak melulu mengandalkan coblosan saya. Ya sudah, untuk pertama kalinya secara formal saya golput, sebuah sikap yang mungkin aneh karena pada saat yang bersaman Capresnya adalah idola saya.

Kini setahun sudah rezim itu berkuasa. Publik, termasuk saya, mempunyai catatan tentang kinerja  Jokowi-JK. Dua pria itu menghadapi situasi yang tak mudah, mulai dari permasalahan ekonomi, sosial politik, SARA, sampai soal asap. Lagi-lagi saya berusaha konsisten menjaga sikap. Saya tak ragu untuk mengkritik soal sikapnya terhadap kemandirian institusi pajak dan soal asap. Saya naif saja, di negeri ini sesuatu bisa terjadi atau sirna bukan karena kadar kepentingannya, tapi tergantung siapa yang bicara soal itu. Saya masih ingat ketika proposal pembelian kamera untuk keperluan dokumentasi kegiatan kantor tak segera terealisir. Ketika Direktur Humas bertitah dalam sekejap seperangkat DSLR segera teradakan. Saya yakin jika Jokowi bilang “Heh panglima, suruh anak buahmu ngawal para AR dan juru sita pajak. Tenang saja soal uang rokok, nanti biar diambilkan dari honor narasumber,” maka rekan-rekan saya tak perlu risau dengan intimidasi preman ketika nggali sumber duit negara.

Asap tengah menyerbu, sasaran salah tembaknya tak tanggung-tanggung, jutaan rakyat Indonesia utamanya di Sumatera dan Kalimantan. Saya paham, memadamkan kebakaran lahan gambut memang tak gampang. Saya juga menduga, kebakaran itu ada faktor kesengajaan, ada unsur kecurangan, ada skenario besar terkait perijinan dan lain sebagainya. Tapi saya juga paham bahwa ini adalah soal keselamatan jiwa manusia. Prioritaskanlah terlebih dulu bagaimana menyelamatkan jiwa mereka secepatnya. Saya yakin Jokowi punya kuasa dan sumber daya yang memadai untuk itu. Saya yakin jiwanya tak tergadai kepada cukong dan kepentingan kuasa. Saya yakin sabdanya akan mangkus memompa semangat dan kemauan para petugas lapangan.

Lebih dari itu, memadamkan api itu sepenting segera menguburkan mayat korban pembunuhan. Kesampingkan dulu soal penyebab kematiannya, toh kuburnya masih bisa dibongkar. Ini bukan perkara menafikkan akar persoalan. Ini soal prioritas. Selamat siang.

Perjalanan Bandung - Pangandaran, 23 Oktober 2015

Wednesday, October 21, 2015

DASI, IBU, DAN JEMBATAN SHIRATHAL MUSTAQIM

Candid photo by Harris Rinaldi
Saking hebohnya kelakuan saya dua bulan terakhir ini, banyak pihak yang menanggapi dengan reaksi beragam. Padahal, kalau dipikir-pikir, sama sekali tak ada yang istimewa dari kelakuan saya tersebut. Anda semua pasti setuju bahwa memakai dasi pada hari dan kepentingan tertentu itu bukan barang yang aneh, fantastis, apalagi bid’ah alias mengada-ada. Apalagi bagi pegawai Direktorat Jenderal Pajak, memakai dasi sudah bagai keteraturan nafas. Kenapa lantas publik begitu heboH? Oya, kalau dirangkum komentar mereka berjenis-jenis, keren, berlebihan, nggak pantes, nggak matching, sok gaya, di-endorse pihak tertentu, sampai ditunggangi cukong dasi.
Terhadap hal itu saya bersikap biasa saja. Bahkan suatu hari ketika menghadap Kakanwil, dengan nada bercanda saya berkata, “Mohon maaf, Pak. Hari ini Bapak kalah dengan saya, saya berdasi...” Seperti biasa, pimpinan saya selalu menanggapi santai, “Ah, bisa aja kamu, Met.”
Kalaupun mau dibilang berlebihan mungkin adalah kegemaran saya mengunggah foto dasi ke dunia maya. Lagi-lagi hal itu pun sebetulnya juga tak ada maksud tertentu. Yah itung-itung menggerakkan perekonomian sektor telekomunikasi. Bukankah ketika kita sudah merdeka secara finansial kita nggak boleh irit?
Saya paham dengan sikap perlawanan teman-teman terhadap keharusan berdasi ini. Saya paham mereka punya alasan kuat sekaligus ego yang tak kalah kuat pula. Bagi mereka, dan saya sebelum berdasi, dasi adalah simbol pengekangan kebebasan, mencekik leher, tak proper untuk cuaca tropis, bukan busana asli Indonesia, simbol keborjuisan dan primordialisme, dan apalah. Fitrah manusia memang tak gampang diatur, tak suka dikekang, mendambakan kebebasan seluas-luasnya, dan seabreg markah lainnya.
******
Sebagai anak mbarep dari empat bersaudara, saya merasa paling dekat secara psikologis dengan orang tua saya. Bukan berarti ketiga saudara tak dekat, hanya masing-masing punya pola komunikasi yang berbeda. Meski demikian, saya bukan anak yang bisa dibilang berbakti. Saya jarang berkomunikasi verbal dengan mereka, bahkan sekedar menyapa lewat telepon. Sampai suatu hari, adik ketiga saya, Bowo, mengingatkan akan hal itu.
Njenengan itu suka di­-arep-arep bapak ibu, lho Mas. Apa susahnya sih sering-sering telpon mereka?”
“Bukan susah, Wo. Kalo keseringan telpon mau ngomongin apa dong?”
“Coba deh telpon tiap pagi, paling gampang minta aja doa restu buat keluarga njenengan…”
Byarrrr…. Kalimat dari bocah ingusan itu membuat saya terdiam. Anak macam apa saya ini, untuk urusan menyapa orang tua saja harus diajari.
Sejak saat itu, setidaknya dua hari sekali, saya selalu menelepon bapak ibu. Kebanyakan yang menerima panggilan saya adalah ibu. Seperti yang diajarkan Bowo kepada saya, di akhir pembicaraan saya selalu minta doa restu buat saya sekeluarga. Momen itu senantiasa menyisakan genangan air mata dan kegarauan suara. Dan ajaib, setelah menutup telepon, ada suntikan energi yang tak terbeli. Perkara simpel, mudah, dan murah, hanya perlu niat untuk melakukan suatu hal secara teratur.
******
Dalam teologi Islam, dikenal jembatan yang amat menakutkan bagi orang yang tipis kadar ketakwaannya seperti saya, Shirathal Mustaqim. Jembatan yang konon hanya setipis helai rambut dibelah tujuh itu melintang di atas jurang Neraka dan berujung ke Surga. Tak ada siapapun bisa melintasinya kecuali cukup bekal amalnya ketika hidup di dunia. Ngeri? Pasti. Namun bukan Tuhan jika Ia tak menyediakan solusi atas semua masalah. Solusinya pun tak berat-berat amat, hanya secara teratur “menyapaNya”. Perihal SOP menyapa Tuhan, rasanya ada beribu kitab yang bisa memandu manusia, tinggal bagaimana manusia tersebut mau diatur atau tidak, mau teratur atau tidak, mau bebas atau terkekang.
******
Maka, ketika hari ini saya pakai dasi dan menelepon ibu dan bapak, tentu tidak dalam maksud besar menyiapkan bekal yang cukup untuk melewati jembatan itu. Saya hanya berusaha menjalani keteraturan, barang yang seolah identik dengan Orde Baru, hal yang tanpa kita sadari harus kita lakukan, kecuali saya dan Anda sudah tidak bisa bernafas secara teratur lagi.
Selamat siang.
Bandung, 21 Oktober 2015

Wednesday, October 14, 2015

MENAKAR SEORANG PRASTOWO JUSTINUS

Prastowo menerangkan soal skema Tax Amnesty

Saya sama sekali tidak menyangka bakal ketemu dengan sosok yang satu ini di kegiatan yang diadakan oleh Ditjen Pajak. Selama ini namanya memang telah malang melintang di benak saya. Beragam pertanyaan muncul setiap membaca namanya yang sering melintasi media massa. Siapa sih orang ini? Siapa sih yang membiayai kegiatannya? Siapa sih pangsa pasarnya? Kenapa sih media begitu mendewakannya ketika bicara soal pajak? Kenapa pula (Kayaknya) Jokowi pun percaya kepadanya? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain.
Sosoknya yang tak terlalu tinggi membuat saya percaya diri ketika dia menyalami saya dengan hangat di dermaga Marina.
“Apa kabar, mas Slamet?”
“Kabar baik, mas Pras. Njenengan apa kabar?”
Sejujurnya saya tidak terlalu yakin dia orang mana, tapi dari namanya, saya menebak dari orang Jawa. Pembicaraan di dermaga itu harus kami pungkasi karena kami berangkat ke pulau Ayer dengan kapal yang berbeda. Sepanjang perjalanan mengarungi teluk Jakarta pikiran saya tak bisa lepas dari sosok tadi. Kemisteriusan itu kian dalam.
Perjalanan dari dermaga Marina ke pulau Ayer hanya memakan waktu 30 menit. Setelah beristirahat sejenak, kami dipersilahkan memasuki ruang pertemuan. Saya segera menaruh seminar kit berupa kaos dan tas slempang di meja paling depan, lalu keluar ruangan lagi untuk ngrokok. Otak ini butuh asupan. Ketika pintu ruang pertemuan itu ditutup, sebagai pertanda acara akan segera dimulai, saya baru beranjak masuk.
Saya kaget ketika seminar kit tadi sudah bergeser tempat. Meja yang saya booking tadi sudah ditempati laptop merk Apel Krowak. Dalam hati saya muring-muring,  kurang ajar banget nih orang, berani nggeser tempat duduk pejabat prestisius. Belum usai saya ngumpat, tiba-tiba sosok penggusur itu datang. Saya tarik sisa-sisa umpatan yang belum sempat terkeluarkan. Ah… untunglah dia yang menggusur saya.
Panitia segera menggebrak kami dengan ice breaking ala P2Humas. Saya akui, mengadakan acara yang melibatkan wartawan itu nggak gampang. Memastikan kehadiran mereka saja sudah menjadi persoalan tersendiri, apalagi membuat mereka nyaman di acara berformat pertemuan agak resmi seperti ini. Makhluk yang satu ini memang dikenal rada tengil, susah di atur, dan susah diajak kompromi. Stigma itu akan kian kuat jika tidak pernah bergaul langsung dengan mereka. Menilai wartawan dari berita yang ditulisnya menurut saya kurang adil, karena dalam sebuah tulisan ada editor dan pemimpin redaksi yang terlibat. Belum lagi jika memperhitungkan kepentingan pemilik media. Menilai wartawan memang harus kenal dekat dengannya. Syukurlah teman-teman dari P2Humas punya kemampuan lunak yang baik, sehingga acara tersebut berjalan dengan cair.
Pria di samping saya itu sesekali ngajak ngobrol. Topiknya tak jauh dari isu yang sedang dibicarakan oleh narasumber yang sedang berbicara di depan. Mulai dari Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, Tax Holiday, sampai Tax Amnesty. Terus terang pengetahuan saya tentang Tax Amnesty amat cetek. Oleh karenanya saya memilih manggut-manggut biar dikira paham. Beberapa istilah yang dia sampaikan semisal AEOI dan BEPS  sama sekali tak mampu saya mengerti. Analisis berbau penolakannya terhadap rencana Tax Amnesty dalam waktu dekat ini didukung oleh data dan fakta yang komperehensif.
Sesi acara formal berlangsung hingga pukul 16.00 WIB. Sebagian besar peserta menghambur ke kamar masing-masing. Secara tak sengaja saya terlibat obrolan ringan dengan teman sebelah meja tadi. Terkuaklah kampung halamannya, Gunung Kidul. Oalaaaaah… ternyata ndeso to… obrolan itu pelan-pelan juga menyingkap ingatan saya kepadanya. Kawan ini kalo tidak salah pernah tampil di opera Natal DJP beberapa tahun lalu. Namanya memang mencirikan dia seorang Katolik. Ah… harus hati-hati ini.. Jangan sampai saya dijadikan domba olehnya.
Malam harinya kami kembali duduk satu meja. Acara inti sudah usai, menyisakan beberapa gelintir panitia yang masih sibuk meringkasi property dan kami berenam, saya, Ani, Timbul (Kompas), Agus (CNN Indonesia), Prastowo, dan satu orang wartawan lagi yang saya lupa namanya. Obrolan kami tak tentu topik, loncat-loncat kian kemari. Saya membuka wacana soal bencana Mina, Hajar Aswad, Islam garis keras, dan sejarah komunisme. Hal yang terakhir itu saya contek dari Gita Wiryawan dan Tauiq ketika minggu lalu nginap di rumah saya. Saya memang punya rencana, menghadapi mereka yang notabene tak beragama Islam harus dimulai dengan hal yang ringan-ringan soal Islam. Tujuan saya agar mereka rileks sehingga tak defensif. Ani menimpali dengan cerita soal gesekan Islam – Nasrani di kampus STAN periode masa pendidikan kami. Cerita tentang seorang kawan yang harus turun dari jabatan ketua kelas karena dia seorang Nasrani kami ungkit lagi. Pun kesaksian saya soal betapa tantangan keimanan sebenarnya itu bukan saat di kampus, tapi di dunia kerja.
Prastowo lalu menceritakan tentang bapaknya yang amat teguh soal agama. Meski bukan pemuka agama, kegiatan dakwahnya melebihi seorang pastor. Pras juga bercerita bahwa bapaknya berani mendatangi masjid untuk memutar arah speaker agar tak mengarah ke rumahnya. Keren, kata saya.  Dia juga bercerita tentang omelan istrinya ketika dia malah menantang debat dengan pengikut sekte Saksi Jehovah di rumahnya. Pun juga kerelaannya untuk menyumbang buku-buku agama Islam dengan maksud yang tak saya duga. “Saya hanya pengin mereka pintar beragama, Mas Slamet. Dengan begitu mereka tak menjadi bodoh dan merepotkan lingkungan,” ujarnya memberi penjelasan. Saya berani taruhan, bahkan di kalangan muslim pun pemilik ide seperti itu tak banyak. Lha wong anak kecil ribut di masjid aja malah diusir….
Ketika akhirnya kantuk dan lelah mendera, saya berinisiatif membubarkan persekutuan itu. Jam telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Misteri soal CITA dan sebagainya masih buram. Biarlah itu jadi PR saya.
Angin teluk Jakarta begitu sumuk. Cemilan berupa kambing guling saya tinggal begitu saja di meja. Jika pun bukan pelayan restoran yang mengambilnya, saya rela itu jadi makanan carnivora daripada membusuk percuma. Menakar seorang Prastowo Justinus memang ibarat membaca ensiklopedia yang butuh waktu berhari-hari lamanya.

Bandung, 14 Oktober 2015.

Tuesday, October 6, 2015

REFORMASI PAJAK, JAMINAN KEBERHASILAN?

Arbain Rambey, fotografer senior Indonesia, bilang bahwa keberhasilan dan kegagalan dalam fotografi itu 1:1. Kalimat itu dia gunakan untuk memotivasi semangat pembelajar fotografi. Kita semua pasti sepakat bahwa dalam perjalanan kehidupan, dua hal tersebut seolah berjalan beriringan.
Meski demikian, tak semua orang mampu bersikap bijak terhadap keberhasilan dan kegagalan. Tak sulit menemukan sosok figur publik yang terpuruk di ujung hidupnya gegara tak siap menerima rahmat keberhasilan. Tak sulit pula menemukan orang yang putus asa dengan kegagalannya, bahkan sampai mengakhiri hidupnya.
Bicara keberhasilan dan kegagalan, kita akan dihadapkan pada beragam penilaian. Apa yang membuat seseorang dinilai gagal atau berhasil? Parameternya amat subyektif. Seorang pelajar akan dikatakan berhasil jika bisa lulus dengan nilai yang baik; demikian sebaliknya. Seorang  serdadu dikatakan berhasil jika bisa mengalahkan musuhnya dengan gemilang; demikian sebaliknya. Seorang pemasar dikatakan berhasil jika bisa memenuhi target yang diberikan oleh manajer; demikian sebaliknya. Lalu apa parameter keberhasilan atau kegagalan Direktorat Jenderal Pajak?
Tak ada yang meragukan peran dan fungsi unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan ini. Meski bukan satu-satunya instansi yang bertugas mencarikan duit buat negara, semua pasti sepakat bahwa perannya dalam mengisi pundi-pundi APBN amat dominan. 76% penerimaan APBN berasal dari pajak yang dikumpulkan oleh Ditjen Pajak.
Kembali ke pertanyaan semula, apa parameter keberhasilan atau kegagalan Ditjen Pajak? Apakah ketika Ditjen Pajak tak berhasil memenuhi target yang diberikan otomatis dikatakan gagal? Atau apakah ketika Ditjen Pajak bisa melampaui target pajak otomatis dikatakan berhasil? Pertanyaan sederhana tersebut sebetulnya butuh kajian mendalam untuk menjawabnya. Mari kita berangkat dari kesepakatan bahwa Ditjen Pajak adalah bukan tenaga pemasar yang dinilai kinerjanya hanya dari pencapaian targetnya.
Mengapa demikian? Bukankah tugas Ditjen Pajak itu memang “memasarkan” pajak ke masyarakat luas dengan harapan mereka “membelinya”? Pendapat seperti itu sebetulnya tidak sepenuhnya salah. Dari sisi aspek proses bisnis, Ditjen Pajak memang mirip pemasar, bahkan pasarnya pun monopolistik, dan berhak memaksa konsumen untuk membeli barang dagangannya. Lalu apa yang membedakannya?
Sebuah tim pemasar bekerja dengan target yang terukur dan berimbang antara sumber daya dengan potensi pasarnya. Ia juga tak menanggung ongkos sosial atas tindakan pemasarannya, pokoknya yang penting dagangannya laku, tak peduli apakah barang tersebut dibutuhkan atau tidak, tak peduli apakah untuk itu semua dia merampas pasar tim lain. Ditjen Pajak adalah alat negara untuk memungut pajak, kepadanya diberikan keleluasaan untuk bertindak dalam koridor hukum. Selain itu, ada aspek penting yang juga harus dijaga dalam pemungutan pajak, yaitu aspek regulerend (mengatur).
Ditjen Pajak, meski menguasai pasar monopolistik, tak bisa seenaknya sendiri menjual dagangannya ke khalayak. Ada keseimbangan yang harus dijaga, ada suasana kebatinan yang tak boleh dibuat gaduh. Jika hal itu diabaikan akibatnya bisa serius, pemodal lari, atau lebih gawat lagi kondisi masyarakat terguncang. Tentu kita semua tahu alasan kenapa sampai sekarang Ditjen Pajak tidak bebas mengakses rekening bank Wajib Pajak, hal yang bisa dijadikan lethal weapon penggalian potensi pajak.
Namun demikian bukan berarti hal tersebut lantas jadi pembenar bagi ketidakberhasilan Ditjen Pajak mengamankan penerimaan negara. Institusi besar ini senantiasa berbenah diri. Reformasi birokrasi telah dicanangkan 14 tahun lalu, sebagai bentuk tekad bahwa pemungutan pajak di negeri ini tak semudah yang terlihat. Tak ada klaim keberhasilan, tapi jangan pula gampang menorehkan stempel kegagalan, karena proses perbaikan butuh waktu.

Saya hanya pengin mengajak kita semua adil dalam menilai persoalan. Bukankah Tuhan tak pernah menyalahkan nabi Nuh yang sepanjang karir kenabiannya hanya bisa mengajak puluhan orang untuk jadi pengikutnya?

Bandung, 6 Oktober 2015