Candid photo by Harris Rinaldi |
Terhadap hal itu saya bersikap biasa saja.
Bahkan suatu hari ketika menghadap Kakanwil, dengan nada bercanda saya berkata,
“Mohon maaf, Pak. Hari ini Bapak kalah dengan saya, saya berdasi...” Seperti
biasa, pimpinan saya selalu menanggapi santai, “Ah, bisa aja kamu, Met.”
Kalaupun mau dibilang berlebihan mungkin
adalah kegemaran saya mengunggah foto dasi ke dunia maya. Lagi-lagi hal itu pun
sebetulnya juga tak ada maksud tertentu. Yah itung-itung menggerakkan perekonomian
sektor telekomunikasi. Bukankah ketika kita sudah merdeka secara finansial kita
nggak boleh irit?
Saya paham dengan sikap perlawanan
teman-teman terhadap keharusan berdasi ini. Saya paham mereka punya alasan kuat
sekaligus ego yang tak kalah kuat pula. Bagi mereka, dan saya sebelum berdasi,
dasi adalah simbol pengekangan kebebasan, mencekik leher, tak proper untuk cuaca tropis, bukan busana
asli Indonesia, simbol keborjuisan dan primordialisme, dan apalah. Fitrah
manusia memang tak gampang diatur, tak suka dikekang, mendambakan kebebasan seluas-luasnya,
dan seabreg markah lainnya.
******
Sebagai anak mbarep dari empat bersaudara, saya merasa paling dekat secara
psikologis dengan orang tua saya. Bukan berarti ketiga saudara tak dekat, hanya
masing-masing punya pola komunikasi yang berbeda. Meski demikian, saya bukan
anak yang bisa dibilang berbakti. Saya jarang berkomunikasi verbal dengan
mereka, bahkan sekedar menyapa lewat telepon. Sampai suatu hari, adik ketiga
saya, Bowo, mengingatkan akan hal itu.
“Njenengan
itu suka di-arep-arep bapak ibu, lho
Mas. Apa susahnya sih sering-sering telpon mereka?”
“Bukan susah, Wo. Kalo keseringan telpon
mau ngomongin apa dong?”
“Coba deh telpon tiap pagi, paling gampang
minta aja doa restu buat keluarga njenengan…”
Byarrrr…. Kalimat dari bocah ingusan itu
membuat saya terdiam. Anak macam apa saya ini, untuk urusan menyapa orang tua
saja harus diajari.
Sejak saat itu, setidaknya dua hari sekali,
saya selalu menelepon bapak ibu. Kebanyakan yang menerima panggilan saya adalah
ibu. Seperti yang diajarkan Bowo kepada saya, di akhir pembicaraan saya selalu
minta doa restu buat saya sekeluarga. Momen itu senantiasa menyisakan genangan
air mata dan kegarauan suara. Dan ajaib, setelah menutup telepon, ada suntikan energi
yang tak terbeli. Perkara simpel, mudah, dan murah, hanya perlu niat untuk
melakukan suatu hal secara teratur.
******
Dalam teologi Islam, dikenal jembatan yang
amat menakutkan bagi orang yang tipis kadar ketakwaannya seperti saya, Shirathal Mustaqim. Jembatan yang konon
hanya setipis helai rambut dibelah tujuh itu melintang di atas jurang Neraka
dan berujung ke Surga. Tak ada siapapun bisa melintasinya kecuali cukup bekal
amalnya ketika hidup di dunia. Ngeri? Pasti. Namun bukan Tuhan jika Ia tak
menyediakan solusi atas semua masalah. Solusinya pun tak berat-berat amat,
hanya secara teratur “menyapaNya”. Perihal SOP menyapa Tuhan, rasanya ada
beribu kitab yang bisa memandu manusia, tinggal bagaimana manusia tersebut mau
diatur atau tidak, mau teratur atau tidak, mau bebas atau terkekang.
******
Maka, ketika hari ini saya pakai dasi dan
menelepon ibu dan bapak, tentu tidak dalam maksud besar menyiapkan bekal yang
cukup untuk melewati jembatan itu. Saya hanya berusaha menjalani keteraturan,
barang yang seolah identik dengan Orde Baru, hal yang tanpa kita sadari harus kita
lakukan, kecuali saya dan Anda sudah tidak bisa bernafas secara teratur lagi.
Selamat siang.
Bandung, 21 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment