Arbain Rambey,
fotografer senior Indonesia, bilang bahwa keberhasilan dan kegagalan dalam
fotografi itu 1:1. Kalimat itu dia gunakan untuk memotivasi semangat pembelajar
fotografi. Kita semua pasti sepakat bahwa dalam perjalanan kehidupan, dua hal
tersebut seolah berjalan beriringan.
Meski demikian, tak
semua orang mampu bersikap bijak terhadap keberhasilan dan kegagalan. Tak sulit
menemukan sosok figur publik yang terpuruk di ujung hidupnya gegara tak siap
menerima rahmat keberhasilan. Tak sulit pula menemukan orang yang putus
asa dengan kegagalannya, bahkan sampai mengakhiri hidupnya.
Bicara keberhasilan dan
kegagalan, kita akan dihadapkan pada beragam penilaian. Apa yang membuat
seseorang dinilai gagal atau berhasil? Parameternya amat subyektif. Seorang
pelajar akan dikatakan berhasil jika bisa lulus dengan nilai yang baik;
demikian sebaliknya. Seorang serdadu dikatakan
berhasil jika bisa mengalahkan musuhnya dengan gemilang; demikian sebaliknya.
Seorang pemasar dikatakan berhasil jika bisa memenuhi target yang diberikan
oleh manajer; demikian sebaliknya. Lalu apa parameter keberhasilan atau
kegagalan Direktorat Jenderal Pajak?
Tak ada yang meragukan peran
dan fungsi unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan ini. Meski bukan
satu-satunya instansi yang bertugas mencarikan duit buat negara, semua pasti
sepakat bahwa perannya dalam mengisi pundi-pundi APBN amat dominan. 76%
penerimaan APBN berasal dari pajak yang dikumpulkan oleh Ditjen Pajak.
Kembali ke pertanyaan
semula, apa parameter keberhasilan atau kegagalan Ditjen Pajak? Apakah ketika
Ditjen Pajak tak berhasil memenuhi target yang diberikan otomatis dikatakan
gagal? Atau apakah ketika Ditjen Pajak bisa melampaui target pajak otomatis
dikatakan berhasil? Pertanyaan sederhana tersebut sebetulnya butuh kajian
mendalam untuk menjawabnya. Mari kita berangkat dari kesepakatan bahwa Ditjen
Pajak adalah bukan tenaga pemasar yang dinilai kinerjanya hanya dari pencapaian
targetnya.
Mengapa demikian?
Bukankah tugas Ditjen Pajak itu memang “memasarkan” pajak ke masyarakat luas
dengan harapan mereka “membelinya”? Pendapat seperti itu sebetulnya tidak
sepenuhnya salah. Dari sisi aspek proses bisnis, Ditjen Pajak memang mirip
pemasar, bahkan pasarnya pun monopolistik, dan berhak memaksa konsumen untuk
membeli barang dagangannya. Lalu apa yang membedakannya?
Sebuah tim pemasar
bekerja dengan target yang terukur dan berimbang antara sumber daya dengan
potensi pasarnya. Ia juga tak menanggung ongkos sosial atas tindakan
pemasarannya, pokoknya yang penting dagangannya laku, tak peduli apakah barang
tersebut dibutuhkan atau tidak, tak peduli apakah untuk itu semua dia merampas
pasar tim lain. Ditjen Pajak adalah alat negara untuk memungut pajak, kepadanya
diberikan keleluasaan untuk bertindak dalam koridor hukum. Selain itu, ada
aspek penting yang juga harus dijaga dalam pemungutan pajak, yaitu aspek regulerend (mengatur).
Ditjen Pajak, meski
menguasai pasar monopolistik, tak bisa seenaknya sendiri menjual dagangannya ke
khalayak. Ada keseimbangan yang harus dijaga, ada suasana kebatinan yang tak
boleh dibuat gaduh. Jika hal itu diabaikan akibatnya bisa serius, pemodal lari,
atau lebih gawat lagi kondisi masyarakat terguncang. Tentu kita semua tahu alasan
kenapa sampai sekarang Ditjen Pajak tidak bebas mengakses rekening bank Wajib
Pajak, hal yang bisa dijadikan lethal
weapon penggalian potensi pajak.
Namun demikian bukan
berarti hal tersebut lantas jadi pembenar bagi ketidakberhasilan Ditjen Pajak
mengamankan penerimaan negara. Institusi besar ini senantiasa berbenah diri.
Reformasi birokrasi telah dicanangkan 14 tahun lalu, sebagai bentuk tekad bahwa
pemungutan pajak di negeri ini tak semudah yang terlihat. Tak ada klaim
keberhasilan, tapi jangan pula gampang menorehkan stempel kegagalan, karena
proses perbaikan butuh waktu.
Saya hanya pengin
mengajak kita semua adil dalam menilai persoalan. Bukankah Tuhan tak pernah
menyalahkan nabi Nuh yang sepanjang karir kenabiannya hanya bisa mengajak puluhan
orang untuk jadi pengikutnya?
Bandung, 6 Oktober 2015
Bandung, 6 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment