Tuesday, January 5, 2016

Pahlawan Senyap

Selasa, 29 Desember 2015, sepekan pasca operasi
Nyonya menggandeng anak bungsu kami, Abyan, ke dokter bedah anak. Hampir sejam mereka menunggu, namun sosok itu tak segera muncul. Abyan hampir saja menyerah, pulang untuk kembali keesokan harinya, ketika perawat mewartakan bahwa sang dokter telah datang.
“Maaf ya, Bu. Saya ada operasi dadakan, jadi terlambat ke sininya.”
“Nggak apa-apa, Dok. Semoga itu jadi amal Dokter”, ujar nyonya dengan tulus.
“Oh.. tidak, Bu. Itu bukan amal, wong saya dibayar. Saya baru bisa mengklaim apa yang saya lakukan adalah amal jika saya kerjakan dengan sukarela” , tegas pria berbaju pendek itu tanpa ragu. Nyonya hanya bisa diam dan menyimpan ketakjubannya.
Senen, 4 Januari 2016, teras samping Rumah Dinas
Sebuah info grafis tampil dan menjadi diskusi panjang dan menyengat di sebuah group diskusi Facebook. Hampir semua partisipan diskusi itu dilanda emosi. Ya, saya maklum, info grafis itu sekilas memang amat provokatif. Isinya tak lebih dari klaim sebuah hasil perjuangan. Perjuangan apakah? Perjuangan menjaga harmoni keberlangsungan republik ini dalam cawan APBN. Ringkasnya begini, penerimaan negara dari sektor pajak tak mencapai target, sementara belanja negara sudah kebacut dan kudu keluar, maka harus dicarikan sumber penerimaan lain di luar pajak agar tetap bisa menggaji pegawainya sebesar Rp.7 triliun lebih pada tanggal 4 Januari lalu. Dalam info grafis tersebut, kegagalan pencapaian target penerimaan dicetak tebal, sehingga terkesan pengin ditonjolkan. Pun juga di bagian akhir info grafis tersebut, desainer seolah “curhat” betapa peran institusi mereka amat vital dalam menjaga harmoni tersebut. Sekali lagi, sekilas ini memang provokatif.
Lalu sahut-menyahut dalam bahasa yang tak kalah panas terjadi di dua kubu. Masing-masing pihak lantas mengklaim dirinya adalah pahlawan APBN, pihak yang musti dihargai, entah dalam bentuk apa. Saya sendiri senyum-senyum saja melihat perang opini ini. Dalam hati saya berpikir, apa iya, dengan segala yang telah saya lakukan selama ini, saya pantas dibayar sebesar ini? Lha wong kerjaan saya tak lebih dari berselancar di dunia maya, mengais-ngais berita positif tentang perpajakan, lalu membaginya lewat akun media sosial. Atau paling-paling jadi tamen kalau ada LSM menyambangi kantor, atau berpanas-panas ria ngontrol baliho depan kantor,  atau ketika masih musim pulang pukul 19.00, selepas pukul 17.00 saya lebih banyak menghabiskan waktu di meja pingpong dan main paraf berkas anak buah. Pekerjaan yang notabene bisa dilakukan oleh siapa saja, dan (mungkin) sama sekali tak berhubungan dengan angka Rp. 21,6 triliun rupiah yang berhasil dikumpulkan Kanwil kami tahun ini.
Menyebut kata pahlawan bagi saya adalah hal yang amat berat bahkan sakral. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Definisi yang bikin hati saya kian ciut untuk menjadikannya sebagai klaim sepihak. Maka, tanpa bermaksud mengecilkan semangat korps teman-teman sejawat, saya tetap memilih diam.
Bagi saya, pahlawan adalah pejuang senyap, tulus, tak tergantung imbalan, apalagi teriak-teriak hanya karena provokasi pahlawan kesiangan lainnya. Mari tetap berjuang dengan senyap, sesenyap kematian Nabi Akhir Zaman yang hanya ditemani Fatimah seorang.

Bandung, 5 Januari 2015.

No comments: